Singkawang, Kota Toleransi dari Kalimantan dengan Panorama Seribu Kelenteng

Singkawang, Kota Toleransi dari Kalimantan dengan Panorama Seribu Kelenteng
info gambar utama

Singkawang, merupakan kota tua yang berada di Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang terkenal dengan perayaan Cap Go Meh nya ini memiliki banyak sekali bangunan tuanya yang masih terawat dengan baik. Bahkan banyak bangunan tuanya yang masih digunakan sebagai sekolah, gereja, rumah sakit, perkantoran dan café.

Kota ini terlihat sepintas ada di Negeri Tirai Bambu. Kalau namanya mirip-mirip dengan Bahasa Tionghoa karena memang kota ini tidak bisa dilepaskan dari keberadaan orang-orang China pada masa lampau.

Dikutip dari buku Zaenuddin HM dalam buku Asal Usul Kota-Kota Di Indonesia Tempo Doeloe asal usul Singkawang tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pasukan Tionghoa yang terdampar di kawasan itu sekitar 1293, ketika meninggalkan Pulau Jawa. Dalam pelayaran kembali ke China itulah dalam kondisi kelelahan, kapal mereka diserang badai.

“Perantau ini terpaksa menepi di pantai barat Kalimantan untuk memperbaiki kapal. Pada waktu berlayar kembali, 7 orang opsir ternyata tidak terbawa serta. Ketujuh opsir itu kemudian hidup menetap di Singkawang dan menikah dengan gadis-gadis setempat, hingga memiliki keturunan,” tulis Zaenuddin.

Kemayau, Buah Unik Bercita Rasa Mentega Khas Kalimantan

Zaenuddin menulis bahwa nama Singkawang bedasarkan kepercayaan orang-orang Tionghoa dari suku Hakka yang tinggal di daerah itu berasal dari kata Sau Kew Jong yang memiliki arti: kota yang terletak di antara laut, muara, gunung, dan sungai.

Menurutnya ini sangat beralasan, karena di sebelah barat kota itu berbatasan dengan Laut Natuna, sebelah timurnya berbatasan dengan Gunung Roban, Pasi, Raya dan Gunung Poteng. Sedangkan di tengah-tengah kota mengalir sungai yang bermuara ke Laut Natuna.

Singkawang mulai dikenal oleh orang Eropa sejak tahun 1834 yang tercantum dalam buku tulisan George Windsor Earl berjudul The Eastern Seas yang dalam buku itu disebut dengan nama “Sinkawan”. Pada masa itu, Singkawang memang lebih dikenal sebagai daerah koloni Tiongkok pada masa kongsi penambang emas.

Ketika itu Montrado merupakan pusat kekuasaan para penambang tersebut. Dalam tulisan sejarah Sambas, pemimpin mereka disebut Kung She yang ketika itu memilki kuasa penuh terhadap kebijakan suatu Kongsi.

Catatan lainnya juga didapat dari salah satu tulisan G.F. De Brujin yang termuat dalam De Volken Van Nederlandsch Indie (1920) yang berjudul De Maleiers yang terjemahannya berbunyi:”….beberapa puluh mil di sebelah selatan kerajaan (Sambas) dibangun sebuah kota yang dimaksud sebagai kota pemerintahan (Belanda).

Bagian dari Kerajaan Sambas

Ditulis oleh Zaenuddin, Singkawang pada masa lalu juga merupakan bagian dari Kerajaan Sambas. Tetapi pusat kekuasaan dan kegiatannya belum sampai menjamah daerah itu, pasalnya ketika itu kuasa ekonominya masih dominan di tangan kongsi Montrado.

Tetapi kekuasaan raja-raja Sambas, masih mampu mengatasi berbagai pemberontakan termasuk bantuan yang diberikan pemerintah Kolonial Belanda. Tetapi beberapa kejadian itu tidak membuat Kerajaan Sambas memerlukan Singkawang terutama pelabuhannya, karena Sambas sendiri memiliki pelabuhan yang cukup baik dan memenuhi syarat.

Pemerintah kolonial Belanda mulai melirik lokasi di luar Jawa, seperti Singkawang. Karena itu pada 1819 mulai dibuka jalur pelayaran pantai terutama yang berdekatan dengan Singapura yang ketika itu merupakan gerbang keluar masuknya kapal-kapal terutama setelah dibangunnya terusa Suez.

Di Singkawang lalu dibangun pelabuhan lengkap dengan cabang (agen) Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Demikian pula pendukung modal asing Belanda yang diberikan kesempatan beroperasi, yakni perusahaan listrik Algemene Nederlands Indiesche Elecktriesche Maatscaahppij (ANIEM).

“Belanda juga membangun jalan-jalan darat pada 1912, meliputi jalur Pemangkat, Singkawang, dan Bengkayang yang dikenal dengn mendareng,” catat Zaenuddin.

Pada tahun 1938, Pemerintah Hindia Belanda mengelurkan peaturan nomor 352 yang termuat di Staasblad. Pada peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Borneo (Kalimantan) ditetapkan sebagai wilayah administratif dengan Banjarmasin sebagai ibu kota.

Data Danau Diperbarui, Kini Ada 5.807 Danau yang Tersebar di Indonesia

Secara administratif, Borneo dibagi dalam dua karesidenan yakni Borneo bagian selatan dan timur. Saat itu Singkawang masuk sebagai kawedanan yang berada di samping kawedanan Pemangkat dan Bengkayang.

Dirujuk dari Singkawangkota.go.id, Singkawang disebutkan sebagai sebuah desa di wilayah Kesultanan Sambas. Tempat ini kerap dijadikan lokasi singgah para pedagang dan penambang emas dari Montrado.

Para penambang dan pedagang yang singgah lebih banyak berasal dari China. Selain dijadikan tempat singgah untuk melepas Lelah. Singkawang yang dijadikan tempat transit tambang emas dinilai strategis sehingga banyak penambang yang beralih profesi.

Melihat perkembangan Singkawang yang dinilai oleh mereka cukup menjanjikan, sehingga mereka memilih menjadi petani dan pedagang. Pada akhirnya para penambang tersebut tinggal dan menetap di Singkawang.

Pada tahun 1959, Singkawang merupakan kecamatan bagian dari Kabupaten Sambas. Lalu pada tahun 1981, kota ini menjadi Kota Administratif Singkawang. Setelah melewati jalan panjang, akhirnya Singkawang ditetapkan sebagai daerah otonom bedasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Singkawang.

Kota toleransi dengan seribu kelenteng

Kota Singkawang memiliki kerukunan antarumat beragama yang sangat tinggi. Penduduknya mayoritas Tionghoa, Dayak, dan Melayu, sehingga sering disingkat menjadi Tidayu. Mereka semua hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Pada tahun 2018, Kota Singkawang dinobatkan sebagai Kota Paling Toleran di Indonesia oleh Setara Institute. Hal ini karena kehidupan harmonis masyarakatnya yang mejemuk.

Wujud dari tingginya tingkat toleransi beragama di Kota Singkawang adalah keberadaan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang dikenal dengan sebutan Pekong Toa yang konon telah berusia 200 tahun. Sedangkan di sisi lain ada Masjid Raya yang merupakan masjid terbesar yang telah berdiri sejak tahun 1885 di Kota Amoy.

Merujuk dari buku Nasrudin Ansori yang berjudul Jelajah Kalimantan, salah satu Kawasan yang banyak mengoleksi bangunan-bangunan tua di Singkawang adalah Jalan Pangeran Diponegoro. Di sini berjejer rumah sakit, sekolah, dan lain-lain.

Dijelaskan oleh Nasrudin, wujud Singkawang sebagai Kota Tua-nya Kalimantan adalah berjejernya toko-toko milik orang Tionghoa di setiap sudut kota. Sebut saja di Kawasan Pasar Hongkong, di sini berjejer bangunan toko dan rumah tua berdesain vintage ala peranakan.

Menyelisik Asal Usul Gajah Kerdil yang Disebut Berasal dari Jawa

“Tak sekedar bangunan begitu saja, tetapi rata-rata masih dihuni oleh generasi pewaris dari bangunan-bangunan kuno tersebut,” catatnya.

Dipaparkan oleh Liputan6, masyarakat Tionghoa, khususnya etnis Hakka adalah penyebar kepercayaan konfusianisme. Sehingga tergambar dari banyaknya kelenteng yang tersebar di Kota Singkawang. Tidak heran jika kota Singkawang dijuluki sebagai Kota Seribu Kelenteng.

Akan terlihat sejumlah gambar dewa maupun dewi yang terpajang di dinding. Selain itu pula ada ruang yang memperlihatkan perbuatan apa saja yang dilakukan manusia saat masih hidup di dunia. Ada juga bilik yang berfungsi untuk memberikan falsafah hidup.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini