Indonesia Kaya Sumber Air Tapi Terancam Krisis Air Bersih, Apa Penyebabnya?

Indonesia Kaya Sumber Air Tapi Terancam Krisis Air Bersih, Apa Penyebabnya?
info gambar utama

Selama ini kita mengetahui bahwa Indonesia termasuk negara dengan sumber daya air yang melimpah. Bahkan, Indonesia menyimpan enam persen potensi air dunia. Dengan curah hujan tinggi, bahkan rutin diguyur hujan selama 4-6 bulan per tahun, sangat memungkinkan bagi penduduk untuk bertani dan berkebun.

Namun, pernahkah terlintas di benak kita jika suatu saat nanti negeri ini mengalami krisis air? Bayangkan jika air bersih akan menjadi sesuatu yang sulit didapatkan dan bagaimana kita akan hidup dalam situasi seperti itu.

Pertanyaan itu mungkin terdengar kurang masuk akal mengingat negeri ini kaya akan air. Nyatanya, beberapa penelitian memprediksi Indonesia akan mengalami krisis air beberapa tahun mendatang. Menurut studi World Resource Institute(2015), Indonesia termasuk negara yang berisiko tinggi mengalami krisis air pada tahun 2040.

Pada Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang dikeluarkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, memperkirakan bahwa kelangkaan air di Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara akan meningkat hingga tahun 2030.

Proporsi luas wilayah yang mengalami krisis air pun ikut meningkat, dari 6 persen pada tahun 2000 menjadi 9,6 persen pada tahun 2045. “Jawa diprediksi akan mengalami peningkatan defisit air sampai tahun 2070,” ujar Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Limbah Tinja Menghantui Kebersihan Air Minum di Indonesia

Memahami permasalahan air di Indonesia

Ilustrasi krisis air | @avijit bouri Shutterstock
info gambar

Apakah permasalahan air di Indonesia itu nyata? Ya. Menurut catatan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2019 ada 26,35 persen rumah tangga yang tidak memiliki akses air minum layak atau sumber air minum yang berasal dari perpipaan, kran umum, sumur bor/pompa, mata air terlindung, air kemasan, air yang dijual eceran atau keliling, dan air hujan.

Jangan bayangkan kondisi semacam itu berada di tempat nun jauh di sana. Bahkan, tahun 2018, masih ada 40 persen warga DKI Jakarta yang belum memiliki akses terhadap sumber air minum. Berdasarkan hasil survei kualitas air minum oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2021, hanya 17 persen rumah tangga di Indonesia yang mendapatkan akses air yang aman. Dan 1 dari 5 rumah tangga menggunakan air minum yang terkontaminasi tinja.

Kemudian menurut data World Wide Fund for Nature Indonesia pada tahun 2019 menunjukan bahwa 82 persen dari 550 sungai yang tersebar di seluruh Indonesia kondisinya tercemar dan kritis. Misalnya di Pulau Jawa, Sungai Citarum dan Sungai Ciliwung merupakan dua sungai sumber air minum terbesar sekaligus menjadi sungai paling tercemar.

Permasalahan air lain yang terjadi di Indonesia adalah air hujan tidak terserap tanah. Sebagian rumah, bahkan perkantoran, dan gedung-gedung komersial masih menggunakan air tanah. Namun, air hujan justru banyak yang tidak terserap ke tanah karena pembetonan dan pembangunan yang membuat air langsung mengalir ke sungai kemudian ke laut.

Ditambah dengan kesadaran membuat sumur resapan atau biopori masih rendah. Padahal biopori adalah teknik sederhana untuk menampung air hujan supaya lebih mudah terserap ke dalam tanah dan membuat air tanah akan selalu ada meski musim kemarau.

Di satu sisi, kita begitu rentan terancam kekeringan ketika musim kemarau, tetapi juga rawan banjir saat memasuki musim hujan. Ini disebabkan oleh curah hujan tinggi, penyerapan air ke tanah dan drainase yang buruk. Dari tahun ke tahun, banjir selalu menjadi masalah besar dan berisiko semakin parah. Bahkan, Jakarta diprediksi akan tenggelam pada tahun 2050.

Siat Yeh, Tradisi Perang Air Sebagai Sarana Penyucian Diri di Bali

Tanda-tanda terjadinya krisis air

Warga mencuci dan mandi di sungai | @Farida Ridhwan Shutterstock
info gambar

Menyoal pernyataan mengenai prediksi krisis air bersih di Indonesia, sebenarnya sudah ada beberapa tanda-tandanya yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pertama, cadangan air mulai menyusut dan kualitasnya pun menurun.

Menurut riset Asian Development Bank (ADB) tahun 2016, sekitar 110 ribu penduduk perkotaan di Indonesia setiap harinya membuang air limbah domestik, tetapi hanya satu persen yang terkelola sebelum dibuang. Maka 99 persen limbah dibuang begitu saja. Kemudian, di Jakarta, 45 persen air tanah tercemar bakteri tinja dengan 80 persen di antaranya mengandung bakteri E.coli yang membuat masyarakat rentan terkena penyakit disentri, tifus, dan hepatitis.

Selain itu, kebutuhan air juga ikut meningkat di perkotaan dan ketersediaan air semakin menipis di pedesaan. Urbanisasi yang memindahkan populasi penduduk ke perkotaan menyebabkan kebutuhan air di kota besar semakin tinggi.

ADB juga menjelaskan secara rinci mengenai peningkatan permintaan air di Indonesia. Tahun 2015, total kebutuhan air di perkotaan mencapai 205.000 liter per detik dan akan menjadi 283.000 liter per detik pada tahun 2030. Hal yang jadi masalah adalah, menambah pasokan air bersih di perkotaan bukan pekerjaan mudah.

Sedangkan untuk kebutuhan air industri berkisar pada 20.100 liter per detik per tahun 2020 dan akan melonjak hingga 28.700 liter per detik pada tahun 2030. Air yang juga jadi tulang punggung pembangkit listrik juga akan menambah peningkatan kebutuhan. Jika pada tahun 2020, kebutuhan air untuk pembangkit listrik mencapai 141.000 liter per detik, tahun 2030 akan melonjak ke angka 265.000 liter per detik dan diperkirakan akan naik sampai 737.000 liter per detik pada 2050.

Sementara itu, Heru dari LIPI menjelaskan faktor terbesar yang menjadi penyebab krisis air di Pulau Jawa adalah perubahan iklim. “Ada perubahan siklus air yang membuat lebih banyak air yang menguap ke udara karena peningkatan temperatur akibat perubahan iklim,” jelasnya.

Pihak Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) juga mengingatkan dampak serius perubahan iklim terhadap ketersediaan air bersih. Perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu, kenaikan muka air, dan kejadian iklim ekstrem dapat menyebabkan krisis air di Indonesia jika perubahan iklim tidak ditangani secara serius.

Berdasarkan hasil kajian dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, dampak perubahan iklim juga berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 544 triliun selama 2020-2024, jika intervensi kebijakan tidak dilakukan atau business as usual.

“Secara ekonomi, kerugian sektor air yang dapat dikurangi dengan upaya adaptasi maksimal sebesar 17,77 T selama periode 2020-2024,” jelas Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Ia menambahkan bahwa krisis air bersih terjadi karena tingginya kebutuhan air baku, terutama di perkotaan dan wilayah padat penduduk. Sedangkan perubahan iklim dapat mengakibatkan kekeringan dan pencemaran air yang berpengaruh pada ketersediaan air bersih untuk minum dan sanitasi.

Mengenal Bucephalandra, Tanaman Air Endemik Kalimantan yang Jadi Primadona Akuaskap

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini