Ragam Gerakan Cintai Produk dalam Negeri di Tengah Surga Impor

Ragam Gerakan Cintai Produk dalam Negeri di Tengah Surga Impor
info gambar utama

Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu marah ketika instansi pemerintah banyak membeli barang-barang impor. Seharusnya, kata Jokowi, anggaran digunakan untuk membeli barang dalam negeri. Dirinya bahkan menyebut bodoh sekali bila langkah itu tidak dilakukan.

“Sedih saya belinya barang-barang impor semuanya. Padahal kita memiliki pengadaan barang dan jasa anggaran modal pusat itu Rp526 triliun, daerah, Pak Gub, Pak Bupati, Pak Wali, Rp535 triliun. Lebih gede daerah,” ucap Jokowi dalam pengarahan tentang aksi afirmasi bangga buatan Indonesia yang disiarkan di kanal Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (25/3/2022).

Jokowi menegaskan seharusnya instansi pemerintah hingga BUMN harus konsisten membeli barang-barang yang diproduksi dalam negeri. Dirinya malah heran mengapa hal ini tidak dilakukan. Baginya perilaku ini tidak bisa terus dilakukan.

Pasalnya, jelas Jokowi, bila terus membeli barang impor berarti memberikan pekerjaan kepada negara lain. Sedangkan, katanya, uang yang digunakan adalah uang rakyat. Jokowi pun kembali membawa-bawa kata bodoh.

“Pekerjaan ada di sana, bukan di sini. Coba kita belokkan semuanya ke sini. Barang yang kita beli barang dalam negeri, berarti akan ada investasi, berarti membuka lapangan pekerjaan. Tadi sudah dihitung bisa membuka 2 juta lapangan pekerjaan. Kalau ini tidak dilakukan, sekali lagi, bodoh banget kita ini,” ujar Jokowi yang disambut tepuk tangan peserta kegiatan.

60% Pasar Global Impor Barang Ini Dari Indonesia

Indonesia surga impor

Dengan populasi yang begitu besar, Indonesia telah menjadi surga bagi para produk impor. Setelah kemerdekaan, produk luar negeri telah mulai muncul di Indonesia. Pada 1950 an, barang-barang impor itu datang memenuhi kebutuhan rumah tangga dan perkantoran.

Firman Lubis dalam bukunya Jakarta 1950 - 1970 (2018) menulis sejak 1950 an, lemari es sudah dikenal di Jakarta. Mesin pendingin itu produksi dari General Electric merek Frigidaire asal dari Amerika Serikat.

Dirinya juga sudah menyaksikan radio berbentuk kotak berukuran besar yang menggunakan tenaga listrik. Produk ini diimpor dari Belanda, Jerman, dan Amerika Serikat. Jalan-jalan di Jakarta pada era 1950 an juga hilir mudik mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Inggris.

“Paling banyak adalah buatan Amerika Serikat, seperti Ford, Chevrolet, Dodge, Chrysler, Studebaker, Oldsmobile, dan Buick,” tulis Firman.

Tidak hanya buatan AS, namun juga ada buatan Inggris, antara lain merek Austin, Morris, dan Land Rover. Ada pula buatan Italia merek Fiat, serta dari Jerman dengan merk Volkswagen dan Opel.

“Mobil buatan Jepang mulai merajalela pada masa Orde Baru, akhir 1960-an, dan berbagai produk barang made in Japan lainnya,” kata Firman.

Kampanye cintai produk-produk lokal

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, semangat cinta produk dalam negeri terus didengungkan melalui konsep berdikari - berdiri di atas kaki sendiri –. Dalam setiap perjalanan ke daerah-daerah, Bung Karno terus mengingatkan tentang hal ini.

Bung Karno menjelaskan bahwa bila ada sebuah negara yang makmur, tetapi hidup dari pertolongan atau bantuan dari negara lain, negara itu suatu saat akan hancur lebur ketika tidak menerima bantuan lagi.

Karena itulah, Bung Karno menganjurkan rakyat Indonesia bisa menolong diri sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, dan terus bergantung kepada tenaga sendiri. Berulang kali, bila Soekarno berpidato, dirinya terus mengulang-ulang konsep berdikari.

“Berdikari, percaya kepada kekuatan sendiri, tidak mengemis-ngemis,” kata Bung Karno, seperti ditulis ajudannya Mangil Martowidjojo di buku Kesaksian tentang Bung Karno 1945-1967 yang disadur dari Alinea.

Pada 20 November 1965, dalam sebuah pidato dalam acara ramah tamah dengan wartawan di Istana Bogor, Soekarno lagi-lagi menyebut konsep berdikari. Salah satunya dirinya menyindir pengeluaran devisa negara untuk impor pupuk.

Padahal menurutnya Indonesia bisa memproduksi pupuk sendiri, Bukan saja tweede klas (kelas dua), namun juga pupuk kelas satu sedang diproduksi. Dirinya ketika itu juga menyindir Indonesia sebagai negeri mangga dan karet malah harus mengimpor dari luar negeri.

Lha kok barang-barang karet yang kecil-kecil itu kita harus beli dari luar negeri!”

Film Janur Kuning, Pencitraan Soeharto dalam Serangan Umum 1 Maret 1949

Berganti ke zaman orde baru, Presiden Soeharto menganjurkan gerakan cinta produk dalam negeri. Pada 1985, ketika membuka pameran produksi Indonesia di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Soeharto cukup bangga.

Ketika itu, Soeharto bahkan sampai membentuk Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri di Kabinet Pembangunan IV (1983-1988), posisi itu ditempati oleh Ginandjar Kartasasmita.

Pada tahun 1990 an, Soeharto kembali menyinggung mengenai cinta produk Indonesia, menjelang era perdagangan bebas tahun 2000. Pada 10 Desember 1995, dirinya mengaku bimbang dengan sistem perdagangan bebas yang sudah di depan mata.

Baginya, saat perdagangan bebas diberlakukan, produk asing akan membanjiri negeri ini, Bila hal tersebut terjadi sedangkan produk buatan sendiri ditinggalkan, maka industri akan tutup dan pengangguran merajalela.

Karena itulah, bagi Soeharto, membeli dan menggunakan produk sendiri merupakan salah satu cermin sikap mental yang nasionalis. Menghadapi perdagangan bebas, dia berpesan agar rakyat menahan diri untuk membeli produk luar negeri.

“Kita ingin menjadi bangsa yang mandiri,” katanya dalam pidato di hadapan 150 peserta Musyawarah Nasional Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) di Tapos Bogor, Jawa Barat.

Rezim Orba kemudian diganti zaman reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri kembali menggaungkan gerakan cinta produk dalam negeri. Pada 2003, digelar kembali Pameran Produk Indonesia (PPI) yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ke 95.

Gerakan mencintai produk dalam negeri juga kembali digagas pada 2009 di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dirinya meresmikan kampanye cinta barang dalam negeri bertajuk 100% Cinta Indonesia beserta logonya.

Pada acara yang bersamaan dengan pameran kerajinan Inacraft yang digelar di Jakarta Convention Center, 22 April 2009 ini SBY mendorong, semua perusahaan, produk, dan merek dalam negeri mencantumkan logo 100% cinta Indonesia pada kemasan, iklan, dan materi promosi.

Kampanye yang usang?

Sebelum geram dengan kebijakan impor produk luar negeri, Presiden Jokowi juga pernah melontarkan hal serupa. Misalnya ketika April 2017, saat meresmikan perluasan pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah.

Jokowi menginginkan masyarakat bangga dan cinta terhadap produk dalam negeri. Dia mengingatkan agar masyarakat menghentikan kebanggan membeli barang impor. Dirinya bahkan menekan Keppres Nomor 24 tahun 2018 tentang Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (Tim Nasional P3DN).

Selanjutnya, pada 14 Mei 2020, seperti dilansir dari situs web setkab.go.id, Jokowi juga mencanangkan Bangga Buatan Indonesia yang digerakan 14 kementerian/lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Membaca Sarinah, Pemikiran Soekarno Terhadap Perjuangan Perempuan

Gerakan ini disebut sebagai wujud gotong royong agar mendorong ekonomi nasional melalui penyediaan ruang yang lebih besar bagi para pelaku usaha untuk berkarya dan memasarkan produknya.

Namun, gerakan ini menjadi ironi karena pada catatan Badan Pusat Statistik (BPS) kebutuhan komoditas impor malah terus meningkat di tahun kedua pandemi.

Hal ini bisa terlihat dari realisasi barang impor konsumsi yang mencapai 20.182,8 juta dolar selama Januari-Desember 2021, naik dari periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 14.656,0 juta dolar

Data BPS juga menunjukan, Indonesia masih mengimpor barang migas, pupuk, minyak nabati, kulit, hingga tekstil. Juga mengimpor kaca dan tembikar, dari peralatan makan hingga traktor, bahkan peralatan dan komponen alat mesin pertanian (alsintan).

Pada Februari 2022, Indonesia juga mengimpor laptop maupun notebook dan subnotebook 171,37 juta dolar, meski industrinya sudah tersedia di dalam negeri. Terkenal dengan rempahnya, Indonesia juga masih mengimpor lada sebanyak 318,68 ribu kilogram dengan nilai 1,52 juta dolar.

Tentunya melihat realita ini, gerakan cinta produk Indonesia yang didengungkan sejak pemerintahan Soekarno hingga kini seperti pepesan kosong. Karena hanya terdengar lugas saat dilontarkan, namun kemudian hilang seiring waktu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini