Danau Lindu, Jelajah Budaya dan Mitologi dengan Kekayaan Ikan Air Tawar

Danau Lindu, Jelajah Budaya dan Mitologi dengan Kekayaan Ikan Air Tawar
info gambar utama

Danau Lindu merupakan danau yang terletak di Kecamatan Lindu, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, Indonesia dan berada di dalam Taman Nasional Lore Lindu. Danau ini yang terbesar kedua di Provinsi Sulteng, setelah Danau Poso.

Danau ini luasnya diperkirakan sekitar 3.488 hektare dan konon terbentuk sekitar 3.000 tahun silam. Disebutkan danau tektonik ini terbentuk akibat proses alam berupa kekuatan geologis dahsyat yang diyakini sebagai gempa bumi.

Secara geologi danau ini berada di Sesar Palu-Koro. Sesar ini adalah patahan yang membelah Sulawesi menjadi dua, dimulai dari batas perairan Laut Sulawesi dengan Selat Makassar hingga ke Teluk Bone.

Sesar ini dikatakan sangat aktif hingga pergerakannya mencapai 35 sampai 44 milimeter per tahun. Selain versi ilmiahnya, Danau Lindu ternyata memiliki mitos tersendiri mengenai proses terbentuknya.

Tetua adat Lindu, Samuel Tolei bercerita bahwa nama Lindu sendiri memiliki arti belut. Dalam hikayat, Danau Lindu ini digambarkan sebagai belut yang berukuran besar dan mengelilingi kampung.

Dikisahkan pada zaman dahulu, seorang pemangku adat Anca memelihara banyak kerbau. Anehnya setiap hari tetap saja ada kerbau yang hilang. Para warga pun mengikuti kerbau tersebut yang biasanya berkeliaran di Danau Lindu yang dahulunya rawa.

“Ketika kerbau sedang minum dekat rawa tiba-tiba ada makhluk besar menerkam dan menelannya bulat-bulat. Ia mencoba mendekat untuk mengetahui makhluk tersebut, yang ternyata seekor Lindu atau belut yang berukuran raksasa.” paparnya yang dimuat Mongabay Indonesia.

Danau-danau Penuh Pesona di Atas Gunung

Kejadian itu membuat warga kampung lantas memburu belut raksasa tersebut dengan membawa anjing. Perburuan berlangsung hingga 7 hari 7 malam. Lindu yang dikejar anjing ini berhasil menembus gunung yang ada di sekitar muara.

Tetapi pada hari ketujuh itu tiba-tiba terdengar suara ledakan besar dan gemuruh. Gemuruh itu adalah suara air yang kemudian memenuhi rawa sehingga terbentuklah danau yang sekarang dikenal sebagai Danau Lindu.

Setelah danau terbentuk, orang-orang mulai turun dari pegunungan ke sekitar danau, kemudian membangun pemukiman. Orang Anca membuat perkampungan yang disebut kora, orang Langko membentuk Taubatuleo, orang Bonkodono membangun Bontlunca.

“Cerita ini hanya dongeng, kita mungkin sulit percaya tetapi begitulah cerita dari turun temurun,” ujar Samuel tertawa lepas.

Kearifan lokal

Danau Lindu dikelilingi oleh sejumlah gunung seperti Gunung Nokilalaki (2.357 m), Gunung Lantawungu (2.270 m) dan Gunung Tumawu (2.120 m). Terdapat 16 sungai utama yang mengalirkan sungai ke danau ini.

Danau Lindu ini terletak di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Lokasinya bisa ditempuh dengan sepeda motor dan cocok pula untuk penyuka olahraga bermotor di alam bebas. Apalagi para penyuka fotografi dan penikmat seni budaya.

Di Danau Lindu, ada lima desa yakni Puro’o, Langko, Tomado, Anca, dan Olu. Berdasarkan catatan sejarah, desa-desa di kawasan Danau Lindu ini sudah mulai terbentuk sejak abad ke 17 masehi.

“Saat itu pemerintah kolonial Belanda menguasai beberapa wilayah di Sulawesi Tengah termasuk wilayah yang kini masuk dalam kawasan Kecamatan Lindu ini,” ujar jurnalis senior, Jafar Bua dalam blog pribadinya.

Dijelaskan Jafar, pada 1900-an, desa-desa di wilayah itu kemudian ditata kembali sehingga terbentuk menjadi empat desa dan kini kemudian lima desa. Kawasan ini merupakan permukiman dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu.

Sebagai wilayah dengan kekerabatan adat budaya, maka berbagai atraksi budaya bisa disaksikan. Apalagi saat datang bersama orang yang mereka tuakan. Salah satunya adalah tradisi penyambutan tamu Potandui.

“Di mana tetamu akan dikenakan siga atau ikat kepala adat. Lalu disambut dengan nyanyian lagu-lagu setempat oleh para pemuda-pemuda To Lindu atau anak-anak,” paparnya.

Di desa itu juga terdapat Makam Maradindo, leluhur Suku Lindu yang panjangnya tujuh meteran. Konon, leluhur To Lindu ini memiliki tinggi 7 meter. Dia dimakamkan di sisi danau bagian selatan di dalam peti kayu bulat.

Mengungkap Peradaban Pandai Besi Tertua yang Tenggelam di Danau Matano

Gunci Rante Pelungi yang merupakan pemegang kunci makam bercerita bahwa makam itu hanya dibuka di waktu tertentu, seperti adanya kunjungan tamu dari luar ataupun ketika akan diadakan acara besar.

“Kalau ada acara besar malah harus potong kerbau. Akan ada pesta di Tomada, Anca dan Langgo,” tambahnya.

Sosok ini dipercaya sebagai seorang pemberani yang tampil setiap terjadi kerusuhan. Dia sangat dihormati hingga sekarang oleh tujuh sub suku yakni Langko, Uno, Luo, Palili, Anca dan Bamba.

Ketujuh sub suku tersebut masih eksis hingga sekarang, tetapi batas-batas wilayahnya sudah berubah sejak masuknya pemerintah Belanda. Belanda tidak hanya mengubah batas-batas wilayah tetapi juga struktur pemerintahan adat menjadi modern.

“Struktur pemerintahan adat itu tidak bekerja seperti dahulu lagi, Kalau kelembagaan adat masih ada sampai sekarang. Di tingkat desa ada lembaga Adat Desa sementara di tingkat kecamatan. Pemangku adatnya disebut Tetua adat.”

Melimpahnya ikan

Selain memiliki kekayaan budaya, Danau Lindu menyimpan potensi sumber protein, berupa ikan mujair, nila, dan berbagai ikan lokal lainya. Hutan-hutan di sekitarnya juga menyimpan keragaman flora dan fauna endemik.

Danau ini memang berada di garis Wallace, kawasan peralihan antara zona Asia dan Australia, hingga menjadikan wilayah Danau Lindu sebagai pusat penelitian karena kaya akan ragam hayati endemik.

Danau Lindu memang terkenal dengan ikan air tawar nan melimpah. Danau ini memiliki lebih 10 spesies ikan, empat endemik Lindu seperti sidat dan Oryzias sarasinorum. Orang Lindu menyebutnya gapi atau rono, sejenis teri laut.

Gapi sekarang sudah jarang di dapat. Kalau dulu banyak. Apalagi bulan muda (merujuk penanggalan hijriyah) panennya,” kata Nurdin Yabe, Ketua Majelis Adat Lindu yang dimuat Mongabay Indonesia.

Pesona Danau, Teluk, dan Sungai di Indonesia dengan Perairan Jernih Sebening Cermin

Gapi memang telah masuk daftar merah terancam punah pada tahun 1996 dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN). Selain gapi, ada juga sugili yaitu endemik ikan Lindu yang juga jarang ditemukan.

Saking langkanya, sidat ini dipercaya hanya bisa ditemukan saat ritual adat dan hari-hari besar keagamaan. Bila tertangkap tanpa sengaja, warga akan memilih untuk mengkonsumsi ikan ini daripada dijual.

Peneliti LIPI mencatat dalam perpustakaan Limnologi hasil perikanan Danau Lindu pada 2001 bisa mencapai 134 ton. Sedangkan pada catatan tahun 1973, produksi ril Danau Lindu pada rentang 1967-1971 diperkirakan 380 ton per tahun.

Tetapi pada penelitian sekarang, rata-rata produksi nelayan hanya berada di angka 43,920 kg per tahun. Bahkan beberapa tahun terakhir jumlahnya jauh lebih menurun. Disebutkan ada faktor luar yang memberikan efek negatif hingga produksi ikan rendah.

Tingginya penggunaan herbisida menjadi indikator kuat dugaan tercemarnya Daerah Aliran Sungai (DAS) Lindu. Dari empat jenis herbisida yang digunakan, kandungan unsur kimia Glyposat menjadi paling dominan.

“Kandungan Glyposat pada sedimen danau mengindikasikan penggunaan herbisida di kawasan tangkapan telah terhanyut ke perairan. Kondisi ini perlahan mematikan seperti tumbuhan air dan anakan ikan,” tulis Minnie Rivai dalam Danau Lindu Kini Tak Seperti Dulu.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini