Kisah di Belakang Perang Hantu vs Kiai yang Mewarnai Film Horor Indonesia

Kisah di Belakang Perang Hantu vs Kiai yang Mewarnai Film Horor Indonesia
info gambar utama

Tersebutlah sebuah desa di Pantai Selatan, seorang perempuan bernama Wulan kerasukan Nyi Roro Kidul. Akibat kerasukan, suaminya sendiri dicakarnya di tempat tidur. Wulan kawin lagi kemudian membunuh suaminya yang baru ini.

Tiba-tiba di akhir cerita datang seorang kiai muda yang bertugas membasmi kutukan itu dan akhirnya mengawini Wulan. Cuplikan adegan ini terdapat dalam film horor Indonesia berjudul Kutukan Nyai Roro Kidul (1979).

Pada film horor Indonesia, tokoh kiai atau pemuka agama selalu saja ditampilkan sebagai pahlawan pada menit akhir. Kecenderungan ini juga bisa dilihat misalnya dalam film Kafir (2002) besutan Mardali Syarif.

Film yang dibintangi Sujiwo Tejo sebagai pemeran utama ini mengisahkan tentang seorang dukun yang mayatnya tak diterima tanah. Lalu salah satu solusi dari masyarakat sekitar adalah meminta bantuan seorang kiai.

Penikmat film horor Indonesia juga pastinya masih ingat dengan film-film--yang dibintangi--Suzanna. Salah satunya yang ikonik adalah ketika dirinya memerankan hantu sundel bolong dalam film Sundelbolong (1981) yang meminta 200 tusuk sate dan memakannya sekaligus.

Suzanna yang memerankan tokoh Alisa ini dikisahkan diperkosa hingga hamil oleh orang suruhan Rudi (Rudy Salam). Dirinya kemudian menjadi depresi dan meminta bantuan seorang dokter untuk melakukan tindakan aborsi.

Suzzanna, Ratu Film Horor yang Bikin Merinding Penonton Bioskop Indonesia

Tetapi dokter menolak karena Alisa telah melakukan aborsi sebanyak 5 kali semasa menjadi pelacur. Karena depresi berat dan putus asa, Alisa akhirnya melakukan tindakan aborsi sendiri di kamar mandi yang membuatnya meninggal karena pendarahan.

Sejak itu arwah Alisa gentayangan dalam wujud sundel bolong dan ingin membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah merusak kehidupannya. Satu per satu orang yang telak merusak kehidupannya meninggal dengan misterius.

Sembari membalas dendam, hantu ini bergentayangan dengan gaun putih yang dihiasi bercak darah, rambut panjang terurai tak beraturan, dan punggung berlubang yang dihuni ulat. Sundel bolong sering mengganggu pejalan yang lewat salah satunya pegadang sate.

Tentunya hal yang menarik dari film ini adalah endingnya yang klasik, seorang sosok ulama atau kiai dengan otoritas keagamaannya muncul lalu menghentikan teror sundel bolong. Agamawan selalu ditampilkan sebagai sosok pemecah persoalan.

Bukan hanya ada dalam ketiga film di atas, unsur ini juga muncul di berbagai film horor yang berjaya pada masa-masa tersebut, termasuk Pengabdi Setan (1982), Telaga Angker (1984), Malam Satu Suro (1988), atau Pembalasan Ratu Laut Selatan (1994).

Kehadiran negara dalam sinema

Munculnya sosok kiai dalam film ini menjadi bagian dari karakteristik yang melekat pada film horor di era orde baru. Kiai dengan segala atribut religiusnya diposisikan sebagai tokoh protagonis yang melambangkan kemenangan kebaikan atas kejahatan.

Mantan produser PT Cancer Mas, Ali Tein menyebut film horor yang harus diakhiri dengan munculnya pemuka agama adalah aturan dari lembaga sensor nasional. Hal ini katanya merupakan perintah dari Menteri Penerangan Ali Murtopo.

“Hasil perumusan senimar ini akan dibawa ke Sidang Majelis Musyawarah Perfilman Indonesia agar terutama Badan Sensor Film (BSF) dapat bekerja. Dilihat dari kepentingan pemerintah, dengan adanya kode etik, kemungkinan silang selisih pembuat film dengan masyarakat dapat dikurangi seminimal mungkin,” tuturnya yang dimuat di buku Fenomena Film Horor Indonesia-Dari Babi Ngepet hingga Jelangkung terbitan Tempo.

Kode etik itu disusun oleh delapan komisi dari komisi film dan kesadaran disiplin nasoional hingga komisi film dalam hubungannya dengan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Komisi II memang membahas hubungan film dan ketakwaan.

Dalam catatan Tempo, komisi ini merekomendasikan banyak poin, di antaranya dialog, adegan, visualisasi, dan konflik-konflik protagonis dan antagonis, dalam alur cerita yang seharusnya menuju ke arah ketakwaan dan penganggungan terhadap Tuhan YME.

Ferry Angriawan dari PT Virgo Putra Film menyebut pada saat itu negara yang dalam hal ini diwakili oleh BSF sangat mencampuri isi jalannya sebuah film. Bila tidak menampilkan kiai atau pemuka agama, filmnya bakal dibredel.

Legiun Canthang Balung, Pasukan Pengusir Lelembut dari Keraton Surakarta

“Untuk menyelamatkan diri, ya, kami terpaksa membikin-bikin munculnya tokoh kiai. Kadang-kadang memang tak masuk akal, tahu-tahu tokoh itu masuk dan menyelesaikan masalah,” tutur sosok yang pernah memproduksi berbagai film seperti Perjanjian Terlarang (1990) dan Wanita Jelmaan, Nyupang (1991).

Budiati Abiyoga yang merupakan produser dari PT Prasidi Teta masih mengingat ketika dirinya menjadi anggota juri Festival Film Indonesia (FFI). Ketika itu--katanya--banyak film horor yang jadinya asal-asalan menempelkan agama.

Misalnya ada sebuah adegan seks dalam film horor, tetapi kemudian di layar muncul ayat Alquran, ditambah kalimat, adegan ini tak benar menurut ajaran Islam. Menurutnya gaya hitam putih dan simplistik ini terus menurun pada sineas film horor berikutnya.

“Saat saya menggarap film horor, saya hanya berpatokan pada hitam dan putih, yang baik mengalahkan yang jahat. Itu saja intinya,” tutur Atok Suharto, sutradara Si Manis Jembatan Ancol (1994).

Titik balik

Nanang Krisdianto dalam artikel Bagaimana “Perang” Hantu vs Kiai Mewarnai Film Horor Indonesia Sejak Rezim Orde Baru menyatakan tokoh agama dianggap sebagai figur yang tepat untuk menjaga ketertiban atau bisa dilihat sebagai perpanjangan tangan negara.

“Kehadiran kiai ini bisa juga dipahami sebagai strategi kebudayaan atau kontrol pemerintah Orde Baru untuk melanggengkan kepatuhan warga negara terhadap segala bentuk otoritas,” ucapnya dalam The Conservation.

Menurut Nanang, fenomena ini sejajar dengan sering munculnya tokoh kepala desa, hansip, atau polisi dalam film-film bergenre lain, yang selalu digambarkan sebagai pemulih ketertiban dan pembawa pesan pembangunan.

Setelah keruntuhan rezim Orba, ikut mengubah kecenderungan ini. Narasi-narasi ketertiban, kepatuhan atau pembangunan dari pemerintah tidak lagi bisa dititipkan ke dalam film. Produser atau sutradara tidak lagi merasa ada kewajiban seperti masa lalu.

Ketika Kali Bekasi Berwarna Merah: Arwah Serdadu Jepang yang Meneror Warga

Dicatat oleh Nanang, tokoh agama atau atribut keagamaan memang masih muncul di sejumlah film-film horor di era reformasi. Tetapi mereka tak lagi digambarkan sebagai sosok atau atribut yang sakral.

Salah satu yang paling berbeda tentunya adalah produksi ulang (remake) Pengabdi Setan tahun 2017 oleh Joko Anwar. Pada film itu sang kiai malah keok di tangan para hantu. Orang-orang salat bisa kerasukan dan doa atau tasbih tidak lagi mempan mengusir setan.

Di film ini, kata Nanang, tokoh agama tak lagi punya punya posisi sebagai otoritas tunggal terkait gangguan setan atau persoalan metafisika. Ritual atau atribut keagamaan dalam film horor zaman sekarang bukan lagi bagian penting cerita.

“Mereka bukan tokoh sentral dari akhir kisah “kemenangan kebaikan atas kejahatan.”

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini