Keberadaan Barisan Tjakra: Melihat Sisi Masyarakat Madura dalam Pelukan Belanda

Keberadaan Barisan Tjakra: Melihat Sisi Masyarakat Madura dalam Pelukan Belanda
info gambar utama

Belanda membentuk Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL) sejak tahun 1931 yang bertujuan menjaga ketertiban di wilayah Hindia Belanda. KNIL tidak menggunakan kekuatan orang Belanda saja, tetapi juga pribumi.

Adapun beberapa barisan atau korps yaitu Korps Prajoerit, pasukan Piekenirs, Korps Marsoes, Korps Schutterjen, Legiun Mangkunegara dan Korps Barisan Madura. Pasukan yang terakhir disebut dibentuk di tahun yang sama dengan KNIL.

Wilayah Madura dipilih sebagai salah satu tempat untuk dimanfaatkan masyarakatnya sebagai korps bukanlah tanpa sebab. Masyarakat Madura dalam setiap kerajaan yang berkuasa dianggap sebagai masyarakat militer.

“...Yang tidak terikat pada pertanian dan dapat melakukan perang kapan saja,” papar Aminudin Kasdi dalam Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa.

Dirinya menyatakan ketika pemerintah kolonial Belanda berhasil menduduki wilayah Madura, tradisi militer diteruskan dalam dinas ketentaraan Belanda. Masyarakat Madura, jelas Aminudin dianggap sebagai orang ulet dan berkemauan keras.

Korps Barisan Madura merupakan prajurit KNIL yang sering disebut sebagai tentara bayaran, hal ini didasari oleh fakta bahwasannya seseorang yang bergabung di dalamnya akan diberikan imbalan atau gaji.

Pulau Sapudi, Kisah Dewa dan Dewi Sapi yang Jadi Simbol Kehormatan

“Bagi orang-orang kebanyakan bergabung dengan barisan akan berarti pula memiliki pekerjaan, penghasilan, penghargaan dan yang terpenting berkesempatan untuk mobilitas sosial,” tulis D.J Poullus dalam Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) 1830.

Pasukan ini dibentuk dengan tujuan sebagai perpanjangan kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Madura dan membantu tentara reguler menumpas pemberontakan. Misalnya pada Perang Jawa (1825-1830), Perang Bali (1864), dan Perang Aceh (1873-1903).

Namun setelah kedatangan Jepang pada tahun 1943 ke wilayah Nusantara, mengakibatkan menyerahnya Belanda. Sehingga terjadilah penghapusan segala hal yang berbau Belanda, salah satunya adalah Korps Barisan Madura.

Setelah Jepang menyerah, Belanda yang menumpang dengan Sekutu kembali berangsur-angsur datang ke Indonesia. Mereka melakukan agresi besar-besaran termasuk ke wilayah Madura.

Masyarakat Madura melakukan perlawanan dan tidak mau kembali dijajah oleh bangsa asing. Namun masih ada beberapa orang yang anti Indonesia dan terikat dengan Korps Barisan Madura, sehingga memilih bersebrangan.

Madura dalam pelukan Belanda

Pemerintah Belanda bersama para tokoh Madura seperti Muhammad Assad, T. Moehni, Soeriowinoto, Djojoasmoro, dan Abdoel Gani membentuk Barisan Tjakra Madura. Pasukan ini adalah lanjutan dari Korps Barisan Madura.

Jumlah anggota yang direkrut mencapai 200 anggota, sebagian anggota lama militer Madura di bawah KNIL, sebagian lagi berasal dari buruh pelabuhan, perampok, dan pembunuh yang biasanya berasal dari Galis.

Ketika itu Belanda memang memanfaatkan ekonomi masyarakat Madura yang tidak stabil dengan cara memberikan bantuan, berupa uang, sandang, dan pangan. Hal tersebut semakin memaparkan bahwa yang peduli hanya pemerintah Belanda.

“Secara halus, Belanda mengajak masyarakat Madura untuk bergabung dalam satuan militer Belanda yang diberikan iming-iming pemenuhan seluruh kebutuhan hidup anggotanya,” jelas Aminuddin Kasdi dalam Keberadaan Barisan Tjakra Madura Tahun 1947-1950.

Dicatat Aminuddin, Belanda banyak memberikan fasilitas kepada anggota Barisan Tjakra Madura, secara ekonomi seperti gaji sebesar 50 gulden per bulan. Fasilitas lainnya berupa rumah, jaminan kesehatan ketika sakit atau terluka.

Beberapa bangsawan Madura yang ingin mobilitas sosial lebih baik serta jaminan keamanan, juga lebih memilih bergabung dengan Belanda. Tidak hanya meminta perlindungan pada Belanda, tetapi juga bergabung dalam pasukan itu.

Desa Aeng Tong-Tong, Kampung Perajin Keris Terbanyak di Dunia

Tetapi Barisan Tjakra Madura memiliki kontroversi terutama dari segi nama, dikarenakan hampir sama dengan pemimpin Madura yaitu Tjakraningrat. Pemilihan nama ini pun meresahkan orang Madura yang pro Indonesia, juga Tjakraningrat dan keluarganya.

Bahkan dalam surat kepada Presiden RI, menunjukkan adanya keberatan dari keluarga Tjakraningrat atas pencatutan nama dan mengatakan ketidakikutsertaan mereka terhadap aliansi Belanda tersebut.

Nama Tjakra memang digunakan untuk mencari masa agar masyarakat Madura lebih tertarik. Apalagi Tjakraningrat merupakan tokoh besar, dan orang Madura sangat menjunjung tinggi tokoh masyarakat.

Belanda juga melakukan pidato di pasar dengan dikawal oleh Barisan Tjakra Madura. Mereka mengatakan kedatangannya kembali ke Indonesia untuk melindungi masyarakat dan diharapkan masyarakat tidak tertipu oleh pemimpin Republik Indonesia.

“Jumlah Barisan Tjakra Madura pun berkembang seiring waktu dengan bertambahnya kebutuhan akan militer yang digunakan dalam perlawanan perang kemerdekaan,” jelas Aminuddin.

Bentrok anak bangsa

Sesuai dengan tujuan awal dibentuk, Barisan Tjakra Madura pun digunakan dalam membantu melakukan perlawanan di wilayah Indonesia. Pasukan ini diturunkan di Sumatra dan juga di Jawa.

Di Jawa, jumlah anggota yang dikerahkan yaitu sebesar 300 anggota, penyerangan dilakukan agar pejuang Indonesia memundurkan jalur demarkasi dari Krian ke Mojokerto pada tahun 1947.

“Dari keterangan didapatkan bahwasannya Barisan Tjakra sangat membantu, karena mengerti seluk beluk medan pertempuran,” jelasnya.

Pasukan ini beserta orang-orang Tionghoa juga ikut menyerang dalam front Sidoarjo mulai tanggal 24 Januari-29 Januari 1947. Pasukan ini digambarkan cukup kejam karena juga menyerang penduduk sekitar.

Barisan ini tidak hanya digunakan untuk menyerang Sumatra dan Jawa, tetapi juga di Madura. Keyakinan pasukan ini untuk rela melawan saudaranya sendiri karena janji kemakmuran dan keamanan yang dijanjikan oleh Belanda.

Di wilayah Kangean misalnya, mereka melakukan penangkapan terhadap masyarakat yang membantu anggota Tentara Keamanan Rakyat (TRI). Mereka juga akan mengejar istri, anak, dan keluarga yang diduga terlibat dalam TRI.

Nikmatnya Tidur Beralaskan Pasir, Kebiasaan Warga Sumenep Madura

Meski banyak TRI dan laskar yang mengungsi, masih ada juga tokoh serta laskar yang masih bertahan, salah satu yang terkenal adalah Kliwon. Sosok ini berpangkat sebagai mayor dalam Barisan Sabilillah.

“Barisan Tjakra di bawah Belanda pun diperintahkan untuk memerangi Barisan Sabililah di bawah Kliwon yang mereka sebut sebagai perampok Sabil,” yang dicatat dalam laporan berita ringkas Kementerian Pertahanan.

Barisan Tjakra sejak awal dibentuk telah memberikan kontribusi terhadap Belanda, tetapi bagi rakyat Madura mereka dianggap hanya mengacau. Karena itu setelah terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 terjadi penolakan kembalinya Barisan Tjakra.

Bukan hanya ditolak, aksi balas dendam pun dilakukan masyarakat Madura yang merasakan kekejaman Barisan Tjakra. Mereka melakukan penangkapan, bahkan hal ini sudah terjadi sejak tahun 1947.

Pada Januari 1950, Barisan Tjakra akhirnya dilebur dalam TNI komando Madura yang dipimpin oleh Moh Alijunus. Barisan Tjakra pun dibubarkan bersama dengan seluruh anggota KNIL dan dilebur menjadi TNI.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini