Misteri Tradisi Masangin: Lewati Dua Pohon Beringin Kembar untuk Dapatkan Berkah

Misteri Tradisi Masangin: Lewati Dua Pohon Beringin Kembar untuk Dapatkan Berkah
info gambar utama

Di tengah hiruk pikuk Kota Yogyakarta yang mulai modern, rupanya tak menghilangkan mitos yang diyakini masyarakatnya. Salah satunya adalah mitos beringin kembar yang terdapat di alun-alun kidul.

Berbeda dengan alun-alun utara yang menghadap langsung ke kawasan Malioboro, alun-alun kidul berada di belakang kawasan Keraton Yogyakarta. Tempat ini menjadi kawasan yang ramai dengan wisatawan.

Di siang hari, suasana alun-alun kidul juga ramai oleh wisatawan dengan adanya berbagai aktivitas menarik, salah satunya tradisi Masangin. Di mana siapa saja yang berhasil berjalan di antara dua beringin dengan mata tertutup, maka konon hajatnya akan terkabul.

Di tempat ini kemudian banyak penjaja yang menyewakan penutup mata. Orang-orang yang penasaran pun mencoba peruntungannya. Walau terdengar mudah, ternyata banyak juga para pelancong yang gagal.

Cerita Malioboro yang Awalnya Dikuasai Pedagang Tionghoa

Salah seorang wisatawan asal Bekasi, Elana pernah mencoba peruntungan melewati beringin kembar bersama teman-temannya. Walau percaya tidak percaya, dirinya pun mencoba ritual tersebut tetapi sering gagal.

“Katanya kalau bisa ngelewatin, keinginan bakal terkabul. Percaya gak percaya sih, tapi tertarik mencoba walaupun aku sudah (mencoba) dua kali dan gagal terus,” ucapnya yang dimuat Kumparan.

Mitos Masangin

Diwartakan Kompas, tradisi Masangin ternyata berawal dari zaman Kesultanan Yogyakarta yang awalnya dilakukan ketika ritual Topo Bisu di malam 1 Suro. Para prajurit dan abdi dalem mengenakan pakaian lengkap adat Jawa dan berbaris rapi.

Mereka memulai ritual Topo Bisu dari halaman Keraton menuju pelataran alun-alun melewati kedua beringin kembar tersebut. Hal ini diyakini untuk mencari berkah dan meminta perlindungan dari serangan musuh.

Beringin kembar ini juga dipercaya sebagai syarat untuk meminang putri Sultan Hamengkubuwono I, Raja Keraton Yogyakarta kala itu. Karena putri tidak begitu menyukai pria yang meminangnya, maka Sultan HB I membuat syarat kepada pelamar.

“Sang pelamar harus melewati beringin kembar dengan mata tertutup. Hingga akhirnya ada satu pria dari Kerajaan Siliwangi yang berhasil melewatinya,” tulis Switzy Sabandar dalam Mitos Beringin Kembar Yogyakarta, dari Laku Masangin hingga Laut Selatan.

Keunikkan Sate dari Jogja dan Jawa Timur, Inilah Ragam dari Pulau Jawa (Bagian 3)

Walau begitu Penghageng Tepas Dwaraputra Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KRT Jatiningrat memberikan penjelasan mengenai Laku Masangin itu. Menurutnya tradisi ini adalah sebuah permainan yang baru muncul dan tidak memiliki makna filosofi.

Jatiningrat memastikan tidak ada makna sejarah dan filosofi dari Laku Masangin di alun-alun Kidul ini. Dirinya juga memastikan mitos yang menyebutkan siapa saja yang berhasil melewati dua pohon beringin, akan dikabulkan keinginannya tidaklah benar.

“Ya itu (mistik keinginan seorang akan terkabulkan) akal-akalannya orang-orang yang jualan itu (kain penutup mata), kan tipu-tipu. Itu nggak ada (filosofinya) yang kayak begitu. Memang alun-alun Selatan itu adalah simbol ketenangan jiwa,” terangnya yang dimuat Detik.

Simbol ketenangan

Terlepas dari Laku Masangin, Jatiningrat menyebut banyak simbol yang termuat di alun-alun Kidul. Simbol itu seperti keberadaan pohon mangga kuweni dan pakel (bacang). Kuweni di sini berarti keberanian dan pakel menandakan akil balig.

Kini keberadaan pohon mangga kuweni dan pakel masih bisa dijumpai di sekeliling alun-alun Kidul. Selain pohon mangga kuweni dan pakel, simbol lainnya adalah keberadaan dua pohon beringin di tengah-tengah alun-alun Kidul.

Pohon beringin bagi masyarakat Jawa pun sangat dihormati karena dianggap tempat tinggal dewa. Menurut Jatiningrat, kedua pohon beringin itu menyimbolkan sapit urang (capit udang), yang menunjukan bagian paling rahasia wanita.

Aspek Desa Wisata Indonesia dalam Jajaran 100 Destinasi Berkelanjutan Dunia

Selanjutnya ada bekas kandang gajah di sebelah barat alun-alun Kidul. Keberadaan gajah itu, tutur Jatiningrat, juga terdapat makna simbolis, yakni ketenangan. Hal tersebut tergambar dari aktivitas gajah yang gerakannya pelan dan pembawaannya tenang.

“Jadi di sana itu kan simbol semua. Simbol-simbol yang hubungannya dengan kelahiran manusia di dunia, gitu lo. Ada hewan yang dipelihara di situ, yaitu gajah. Gajah itu menunjukan ketenangan dan kesepian, sepi, tenang,” sebutnya.

Dirinya pun menegaskan bahwa tidak ada kaitannya makna simbolik dari pohon mangga kuweni, pakel, dua pohon beringin di tengah-tengah alun-alun Selatan, dan bekas kandang gajah dengan tradisi Masangin yang berkembang sekarang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini