Maelo Pukek, Tradisi Menangkap Ikan di Ranah Minang yang Ramah Lingkungan

Maelo Pukek, Tradisi Menangkap Ikan di Ranah Minang yang Ramah Lingkungan
info gambar utama

Indonesia dan laut ialah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari total 7,81 juta km² luas wilayah Indonesia, 3,25 juta km² di antaranya adalah lautan. Sayangnya, privilese ini tidak serta-merta dimanfaatkan dengan baik oleh sebagian masyarakat tanah air.

GoodMates mungkin sudah tidak asing dengan berita nelayan yang menggunakan bahan peledak saat menangkap ikan. Kabar penggunaan bom ikan oleh nelayan telah wara-wiri di Indonesia dan tercatat sebagai kasus perusakan lingkungan laut. Bagaimana tidak, bom ikan terbukti dapat mendatangkan efek negatif terhadap laut dan isinya.

Dijelaskan Munyi (2009) dalam laporan penelitiannya, bom ikan tidak hanya menimbulkan ledakan yang membunuh ikan secara masif. Lebih dari itu, cara tersebut juga dapat menghancurkan ekosistem laut. Ledakannya bisa merusak komunitas bentik dan karang bercabang yang berdampak kepada kerusakan pertumbuhan terumbu karang.

Mengingat fakta di atas, metode penangkapan ikan sudah sepatutnya mempertimbangakan aspek kemaslahatan lingkungan. Namun, tahukah, GoodMates? Nelayan tradisional di Indonesia sebetulnya sudah melakukan hal tersebut sejak lama. Tradisi nelayan di ranah Minang, maelo pukek, contohnya.

Maelo pukek merupakan tradisi menangkap ikan oleh nelayan di wilayah pesisir Sumatra Barat. Istilah maelo pukek berasal dari bahasa Minang, maelo berarti ‘menarik’ dan pukek yang artinya ‘pukat’, sehingga secara harfiah maelo pukek memiliki arti ‘kegiatan menangkap ikan dengan cara menarik pukat atau jala’.

Maelo pukek dilakukan oleh sekelompok nelayan yang bergotong royong menarik pukat ke tepi laut. Maelo pukek biasanya memakan waktu lebih kurang dua jam. Selama proses tersebut, dibutuhkan sepuluh hingga lima belas orang nelayan untuk menarik pukat secara bergantian.

Sebelum pukat ditarik, nelayan terlebih dahulu berlayar ke tengah laut untuk menebar jaring pukat. Nelayan berlayar menggunakan kapal dengan mesin di belakangnya. Pukat lantas ditebar seluas-luasnya di bagian perairan yang diprediksi memiliki banyak ikan.

Pukat yang ditebar oleh nelayan terhubung dengan tali yang ditinggalkan di bibir pantai. Tali pukat yang ditinggalkan itulah yang kemudian ditarik secara bersama-sama oleh nelayan agar pukat menepi ke bibir pantai.

Ketika menarik tali pukat (maelo pukek), para nelayan mengikatkan tali ke pinggangnya seraya membentuk garis lurus. Antarnelayan perlu mengatur jarak agar rentang tali pukat terjaga stabil. Nelayan yang berada di posisi belakang lantas pindah ke posisi depan, begitu seterusnya hingga pukat menepi dengan ikan yang telah terperangkap di dalamnya.

Ikan hasil tangkapan itu disebut dengan lauak pukek (ikan hasil pukat). Ikan ini termasuk ikan segar yang mudah rusak (perishable foods), sehingga ikan hasil pukat langsung dipasarkan begitu maelo pukek selesai dilakukan.

Hal ini menunjukkan bahwa maelo pukek merupakan kegiatan menangkap ikan yang ramah lingkungan. Ikan ditangkap hanya dengan menggunakan pukat, tanpa bahan peledak atau bahan kimia lainnya. Secara tidak langsung, maelo pukek mendatangkan dua hal positif sekaligus: ikan berhasil ditangkap dan ekosistem laut berhasil dijaga.

Pada akhirnya, maelo pukek lebih dari sekadar kegiatan menangkap ikan. Maelo pukek lekat dengan ihwal tradisi nelayan Minang yang mengajarkan banyak makna, termasuk makna menjaga hubungan dengan manusia (lewat gotong royong) dan hubungan dengan alam (tidak merusak laut).

Maelo pukek sudah dilakukan secara turun-temurun. Menurut Yuliyus dan Susilawati (2021), nelayan di Kota Padang bahkan telah mengenal maelo pukek sejak tahun 1940-an. Kendati sudah dikenal sejak berpuluh tahun lalu, tradisi ini masih dilakukan hingga sekarang.

Jika berkunjung ke daerah pesisir Sumatra Barat, seperti Kota Padang, Kota Pariaman, dan Kabupaten Pesisir Selatan, GoodMates akan dengan mudah menemukan nelayan yang maelo pukek di bibir pantai. Terkadang, nelayan juga membolehkan pengunjung pantai untuk membantu maelo pukek, lo. GoodMates tertarik mencobanya?

Referensi: Frida Munyi (2009) | Yuliyus dan Nora Susilawati (2021) | Ismayanti (2021) | Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini