Kala Singa Barong dan Nagareja Jadi Simbol Masyarakat Kendeng Lindungi Alam

Kala Singa Barong dan Nagareja Jadi Simbol Masyarakat Kendeng Lindungi Alam
info gambar utama

Lantunan tembang Dangdanggulo berisi ajakan menyelamatkan Pegunungan Kendeng dan mewaspadai kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan hidup mengawali pentas Barongan Gembong Samijoyo dengan lakon Geger Nusa Kendeng.

Kisah ini bercerita tentang Prabu Sengkologeni, seorang penguasa yang menginginkan negeri dan masyarakat makmur sejahtera. Bersama Patih Bujangkalong dan Untub, Sengkologeni menyepakati Pegunungan Kendeng menjadi daerah pertambangan.

Hal ini karena dapat meningkatkan pendapatan kerajaan dan membuka lapangan kerja. Selain itu kawasan Pegunungan Kendengan terkenal dengan potensi sumber daya alamnya yang sangat banyak.

Makna Ibu Pertiwi dalam Tradisi Masyarakat Kendeng untuk Lestarikan Alam

Tetapi mereka mendapat penolakan dari Warok Randugunting, penguasa Pegunungan Kendeng. Warok yang kesehariannya bekerja sebagai petani, terpaksa angkat senjata untuk melawan para penguasa tersebut.

Warok Randugunting tidak sendiri, dirinya bersama Gendruwo dan perempuan desa bernama Gainem turun ke lapangan. Randugunting juga mengajak Singa Barong dan Nagaraja memerangi Sengkologeni.

Bagi masyarakat Pegunungan Kendeng, terutama di Blora, Singa Barong merupakan pelindung hutan jati. Adapun Nagaraja adalah pelindung Pegunungan Kendeng. Masyarakat juga percaya Pegunungan Kendeng yang memanjang dari Kudus-Tuban adalah tubuh Nagaraja sendiri.

Lakon berakhir dengan kemenangan Warok Randugunting. Dia menyerahkan Prabu Sengkologeni ke pengadilan rakyat yang dipimpin Mbah Wo. Tokoh ini bersama rakyat kemudian menggantung Sengkologeni dan pengikutnya atas tindakannya selama ini.

"Melalui lakon itu, kami ingin merefleksikan tarik-ulur antara pemerintah dan masyarakat tentang nasib Pegunungan Kendeng," kata Iwan Sekend, Wakil Koordinator Barongan Gembong Samijoyo yang dimuat dalam Pelestarian Alam dalam Tradisi Masyarakat Kendeng yang diterbitkan Kompas.

Mitos Singa Barong dan Nagaraja

Puluhan anak biasanya akan memakai topeng naga dan barongan saat bermain di antara batu kapur dan pepohonan jati di lereng Pegunungan Kendeng. Sesekali wajah topeng mereka berhadapan dan diadu.

Mereka yang terdesak akan bersembunyi untuk mengatur strategi dan melawan kembali. Tak jarang mereka menari-nari sambil menggerakkan mulut topeng kayu hingga terdengar suara khas, tak-tak-tak.

Itulah salah satu permainan tradisional nagaraja dan barongan. Permainan ini menunjukan pertarungan naga atau nagaraja dan singa barong yang merupakan mitos masyarakat di lereng Pegunungan Kendeng Utara.

"Kalau Pegunungan Kendeng terus diusik, Nagaraja akan bangun dan menghakimi mereka yang merusak tempat tinggal tersebut. Begitu pula jika hutan dijarah habis-habisan, singa barong akan mengejar penjarahnya. Demikian pesan pelestarian alam yang dikisahkan turun-temurun. Sayangnya, kisah itu jarang terdengar dan bergaung lagi," papar Punky Adi Sulistyo, seniman patung kayu dan batu pegunungan Kendeng Utara.

Para Kartini dari Jawa Tengah Ini akan Terus Suarakan Kelestarian Bumi

Pesan pelestarian alam itu muncul karena Pegunungan Kendeng Utara merupakan ruang yang menghidupi masyarakat di kawasan pegunungan dan karst yang menyimpan potensi alam sangat besar, terutama air.

Namun sebagai ruang hidup, kawasan ini terusik dengan rencana pembangunan pabrik semen, penambangan batu gamping dan kapur beskala besar di kawasan itu. Banyak juga petani Kendeng yang menolak akan hal itu.

Menurut aktivis Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut Blora, Eko Arifianto kisah naga dan singa barong itu sekarang tak lagi berupa mitos dan simbol keseimbangan lingkungan.

Tetapi kini telah mencerminkan masyarakat Pegunungan Kendeng Utara yang menjaga keseimbangan alam. Terutama untuk menjaga potensi sumber daya alam dari kepentingan pemodal yang tidak peduli akan kelestarian alam.

"Potensi Pegunungan Kendeng Utara itulah yang jadi alasan sebagian besar masyarakat untuk mempertahankan tanah air sumber hidup mereka sebagai ruang kehidupan abadi," paparnya.

Potensi dari alam

Masyarakat Pegunungan Kendeng selalu bergantung pada alam. Pada konteks seni, patung di Blora bahkan sering memadukan dua material yakni bentuknya gembol (akar jati atau bonggol pohon jati) yang membelit batuan karst Kendeng.

Gembol itu memanifestasikan potensi hutan sedangkan batu mengibaratkan potensi Pegunungan Kendeng. Tak sedikit warga menggantungkan hidup dari hasil hutan, semisal dari mencari daun jati.

Daun jati termasuk barang serbaguna yang banyak dimanfaatkan. Biasanya perempuan-perempuan pada malam hari menggendong daun jati dengan obor di tangan. Dalam sehari mereka bisa mendapatkan uang Rp40.000 - Rp50.000.

Solidaritas dan Hal Baik Lain tentang Aksi Petani Kendeng

Ada juga sebagian masyarakat yang menggantungkan hidup dari mencari rencek jati. Rencek Jati diambil dari ranting pohon yang sudah kering. Warga menjualnya ke pasar atau ke perajin batu bata atau genting. Dalam sehari mereka bisa meraup uang Rp50.000 - Rp100.000.

Sebagian masyarakat juga ada yang menggantungkan hidup dari menanam palawija dan empon-empon di sela sela pohon jati. Yang cukup menjanjikan adalah kelompok masyarakat yang mengolah kayu jati menjadi mebel atau barang kerajinan.

"Hasil olahannya berbentuk barang kebutuhan rumah tangga, barang seni (ukir dan pahat), dan cenderamata," papar Sunaryo dalam Nilai Ekonomi "Napas" Blora

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini