Teh Kejek Asal Garut: Teh Legendaris dengan Proses Pembuatan Diinjak

Teh Kejek Asal Garut: Teh Legendaris dengan Proses Pembuatan Diinjak
info gambar utama

Garut tidak hanya dikenal dengan kuliner khasnya yaitu dodol, di sini juga memiliki teh tradisional dengan cita rasa yang sangat khas, teh kejek. Teh kejek merupakan teh yang cara pengolahannya masih mempertahankan cara tradisional.

Teh ini diyakini muncul sejak awal 1900 an, hingga kini proses pembuatan teh tersebut masih mempesona. Dalam bahasa Sunda, kejek berarti diinjak. Daun teh yang telah disangrai lantas diinjak-injak di parit panjang.

Hal ini bertujuan menyempurnakan proses mengeluarkan getah daun teh agar didapat hasil fermentasi yang lebih baik. Biasanya mereka menginjaknya layaknya gerakan orang yang tengah berjalan di atas treadmil.

“Dulu, menginjaknya pakai kaki telanjang. Sekarang agar lebih bersih kami selalu menggunakan sepatu plastik ini,” kata Yusuf Al Buchori (23) warga Desa Cigedug, Kecamatan Cigedug, Kabupaten Garut yang dimuat dari Jawa Barat yang Menyimpan Warisan Teh terbitan Kompas.

Mengenal Budaya Minum Teh di Indonesia dan Ragam Teh Herbal

Setelah diinjak, masuk pada tahap pengeringan. Caranya daun teh disimpan di atas tungku api. Setelah daun teh dikeringkan, daun teh kembali di sangrai memastikan daun benar-benar kering.

Setelah itu masuk ke proses pengayakan. Proses ini dimaksudkan untuk memisahkan daun teh dengan tangkainya. Untuk mempercepat proses produksi dikarenakan jumlah pesanan teh yang semakin tinggi, biasanya pabrik sudah menggunakan mesin.

Penggunaan mesin ini tidak menghilangkan cara tradisionalnya, hanya untuk mempercepat waktu produksinya. Kemudian teh yang sudah selesai diproses akan didistribusikan ke pasar tradisional.

Sejarah teh kejek

Tidak ada catatan resmi mengenai asal usul teh kejek Garut. Namun banyak dugaan munculnya teh kejek bermula dari usaha perkebunan teh Waspada yang dirintis Karel Frederik Holle di daerah yang kini masuk wilayah Cikajang, dan Cigedug pada 1865.

Selain merekrut warga setempat, Holle dibantu pekerja asal Tionghoa yang berpengalaman membudidayakan dan mengolah teh menjadi siap seduh. Dasep Badrusalam, pegiat seni dan budaya asal Garut menduga teh kejek merupakan kolaborasi Holle dengan pekerjanya.

“Proses demi proses membuat teh kejek sama dengan yang biasa dilakukan pembuat teh di Tiongkok atau Eropa,” paparnya.

Namun perbedaannya, jelas Dasep, hanya dari sisi teknologi. Bila beberapa perusahaan pembuat teh menggunakan mesin pemanas dan penggilingan raksasa, kejek masih menggunakan kayu bakar dan diinjak-injak.

Teh Indonesia dan Serba-Serbinya

Walau masih menggunakan cara tradisional, teh kejek, urai Dasep ternyata banyak peminatnya. Dari cerita orang tuanya, banyak rumah produksi kejek yang bermunculan karena tingginya permintaan konsumen.

Bahkan karena konsumsi yang tinggi, katanya, perlahan memicu kebiasaan minum teh baru, tradisi nyaneut. Dalam bahasa Indonesia, nyaneut artinya air yang menghangatkan karena bisa diminum pagi dan sore.

“Tidak hanya menjadi kesempatan menikmati teh, nyaneut menjadi sarana silaturahmi warga. Berbagai masalah kerap dibahas. Banyak persoalan diselesaikan bersama-sama, mulai dari saat musim panen atau membahas hama penyakit yang kadang-kadang datang,” kata Dasep.

Mereka yang melestarikan

Tetapi ledakan komoditas teh tak bertahan lama. Kualitas teh rakyat, termasuk di Jabar, anjlok. Di Garut, petani menjualnya dengan harga Rp1.800 - Rp2.500 per kilogram. Mereka lantas memilih menanam sayuran.

Kondisi ini diperburuk dengan perlakuan pasca panen yang buruk dari kebun teh yang tersisa. Jika sebelumnya pemetikan pucuk daun teh dilakukan teliti dengan tangan, sebagian petani memilih menggunakan parang agar efisien.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2015, luas kebun teh rakyat tempat Holle di Cikajang yang tadinya mencapai 800 hektare pada 1996 tinggal 148 hektare pada 2015. Di Cigadung, luas lahan 450 hektare juga merosot menjadi 55,4 hektare.

Hal ini membuat baku teh terbaik sulit didapatkan. Dari kemampuan menampung daun teh segar 100 kg per hari, menjadi sekitar 25 kg per hari. Bahkan produksi kerap berhenti di tengah jalan jika pada saat yang bersamaan kebun teh rakyat terserang hama.

“Ini yang membuat satu per satu rumah produksi tumbang. Dari awalnya empat rumah produksi di Cigedug, kini tinggal saya yang bertahan,” kata pemilik rumah produksi Oos Affandi.

Rumah produksi itu satu-satunya yang tersisa, Oos meneruskan usaha teh kejek yang dirintis kakek dan ayahnya sejak 1993. Di tengah keterbatasan, Oos mantap melanjutkan usahanya.

Tak Hanya Kaya Akan Biji Kopi, Indonesia Buktikan Kekayaan Tehnya Melalui Kompetisi Ini

Dirinya masih percaya bahwa teh kejek masih bisa memberikan kesejahteraan. Di belakangnya juga masih ada orang-orang yang berharap sejahtera dari teh kejek. Sebagian adalah anak putus sekolah, penganggur, perantau yang gagal, hingga ibu rumah tangga.

“Teh kejek memberikan nafkah bagi mereka. Saya khawatir mereka kehilangan nafkah jika saya menghentikan usaha ini,” kata Oos.

Yusuf salah satu pekerja merasakan industri teh kejek memberikan pilihan hidup lebih baik setelah gagal merantau di Padalarang, Bandung Barat. Dirinya sempat menjadi buruh tambang kapur yang penghasilannya Rp20 ribu per hari.

Kini dari teh kejek, Yusuf bisa mendapatkan hasil lebih baik. Dalam sehari, dia bisa mendapat Rp25 ribu ditambah uang makan. Walau penghasilannya tidak terlalu besar, dirinya bisa merasa tenang karena tidak perlu mempertaruhkan nyawa di tambang.

“Teh kejek memberi pilihan dan membawa saya pulang kampung. Semoga saja, teh kejek tetap berumur panjang dan memberikan kesejahteraan lebih banyak bagi masyarakat di sini,” kata Dasep.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini