5 Ritual Petani Sambut Musim Panen di Indonesia, dari Batak hingga Manggarai Timur

5 Ritual Petani Sambut Musim Panen di Indonesia, dari Batak hingga Manggarai Timur
info gambar utama

Masa panen itu momentum paling dinanti-nanti setiap petani. Tak jarang, kedatangannya disambut meriah dengan berbagai ritual. Entah sebagai ucapan syukur kepada sang pencipta atau bersuka cita karena waktu panen telah tiba.

Uniknya, para petani dari berbagai daerah di Indonesia kerap menyambut masa panen ataupun masa tanam dengan sejumlah ritual yang sakral. Ada yang mempersembahkan sesajen, ada juga yang sampai menginjak telur.

Apa saja itu? Ini dia 5 ritual unik para petani di Indonesia versi Good News From Indonesia.

1. Ritual Wiwitan

Masyarakat Jawa memiliki ritual persembahan sebelum panen padi bernama wiwitan. Ia dilaksanakan untuk berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan karena telah menumbuhkan padi. Wiwitan berarti mulai memotong padi sebelum panen. Tradisi ini sudah ada jauh sebelum agama masuk ke tanah Jawa.

Prosesi wiwitan dipimpin oleh tetua atau mbah kaum di sawah. Prosesi akan dmulai dengan berdoa dan diteruskan dengan memotong sebagian padi sebagai tanda padi sudah siap dipanen.

Beragam makanan tradisional yang dibungkus daun pisang atau jati, dihidangkan dalam ritual ini, di antaranya sayur nangka, kerupuk, tahu tempe, nasi gurih, telur, rempeyek, dan ikan teri. Setelah doa selesai, para warga akan makan bersama sambil bercengkerama.

Cara Bersyukur Masyarakat Dayak dalam Penyelenggaran Ritual Naik Dango

2. Tradisi Manjuluk Suku Batak

Sebelum musim tanam benih dimulai, para petani di Desa Sihaporas, Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun akan menjalankan ritual manjuluk terlebih dahulu. Ini biasa dilakukan di pagi hari untuk memohon keberkahan sambil berdoa kepada leluhur, penjaga ladang, dan penguasa tanah.

Doa yang dilantunkan berisi permintaan khusus untuk meraih keberhasilan dalam bercocok tanam. Masyarakat meyakini bahwa ritual manjuluk akan membantu bibit tumbuh subur, bebas hama, dan hasil panen pun melimpah.

Selain itu, ritual yang diwarisi turun-temurun oleh Ompu Mamontang Laut Ambarita ini juga menjadi ajang penyampaian rasa syukur terhadap pemberian allam kepada manusia sekaligus memuja Debata Mulajadi Nabolon atau Tuhan yang Maha Esa.

Untuk menjalankan ritual ini, ada sejumlah aturan yang harus dipatuhi. Masyarakat wajib menyediakan sesajen terdiri dari ayam kampung, sirih, kemenyan/dupa, dan jeruk purut. Sesajen itu ditaruh di depan orang-orang yang berdoa. Penduduk tidak berdoa sendiri-sendiri, tapi dipimpin oleh tetua adat bersama beberapa orang di tengah ladang atau gubuk. Setelah doa selesai, sesajen kemudian disebarkan ke sisi b3nih yang telah ditanam.

Doa akan dipimpin oleh tetuah adat bersama dengan sejumlah orang di tengah ladang atau sebuah gubuk. Selesai memanjatkan doa, sesajen tersebut juga disebar di sisi benih yang telah ditanam.

3. Manisan atau Bar Ngarit dari Watulawang

Setiap tahun, para petani Desa Watulawang, Gunung Kidul, Yogyakarta, akan mengadakan tradisi manisan atau bar ngarit setelah panen padi selesai. Tradisi ini ungkapan syukur karena hasil pertanian sudah selesai dan berhadap tanaman di kemudian hari tumbuh subur dan melimpah.

Manisan itu singkatan dari Kamis Manis (Pasaran Jawa) sesuai dengan hari pelaksanaannya. Lalu, Barit atau bar Ngarit artinya setelah panen.

Mengutip situs Desa Watulawang, Manisan atau Bar Ngarit biasa dilakukan di pagi hari. Nah, pada malam sebelumnya, para ibu akan sibuk memasak tumpeng dan lainnya untuk dibawa ke acara tersebut. Menu wajib tradisi ini ialah lepet dan kupat. Setelah semua penduduk berkumpul, sesepuh akan memimpin doa bersama. Setelah itu barulah semua orang yang hadir dipersilakan menyantap hidangan yang tersedia.

Ritual Petik Laut, Kosmologi Masyarakat Banyuwangi untuk Lestarikan Alam

4. Tradisi Methil

Tradisi methil berasal dari Desa Kasreman, Jawa Timur. Ritual ini biasa dilakukan para petani tanah kas desa (bengkok) sebagai ucapan rasa syukur karena panen padi akan segera dimulai sekaligus pengharapan agar hasil panen melimpah.

Tradisi ini biasanya dilaksanakan di pagi buta dengan berbagai perlengkapan (uborambe). Dalam pelaksanaannya, methil akan dimulai dengan penyerahan padi yang telah dipetik oleh tetua desa kepada pemilik sawah menggunakan anai-anai yang diikat benang lalu dioles kunyit di batangnya.

Bagian ini dinamakan mantenan. Setelah itu, di tepi persawahan diberi tarub agung. Di sanalah tradisi methil akan dilakukan. Dalam tradisi ini harus ada lauk lodoh ayam dan pisang raja.

5. Ghan Woja

Sumber: Kompas.com

Ghan Woja adalah bentuk penghormatan masyarakat petani padi dan jagung di Manggarai Timur. Dalam bahasa etnis Kolor, ghan berarti makan dan woja artinya bulir padi panjang dan beras.

Tradisi ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap hasil panen yang bagus ataupun gagal. Jika ada warga yang tidak menjalankan ritual ini, ia dilarang menanam padi di masa berikutnya.

Ritual suci ini digelar setiap tahun oleh para tetua adat dan warga suku Saghe. Ibaratnya, semua warga suku akan mengakhiri tahun lama musim tanah di lahan kering dan memulai masa tanam padi, jagung, serta kacang-kacangan di tahun baru menurut kalender pertanian orang Manggarai Timur.

Ritual ghan woja bisa dilakukan di rumah masing-masing penduduk, kebun, atau rumah adat. ia dilangsungkan dengan menyajikan sesajen berupa ayam berwarna merah dan babi hitam. Bahan-bahan itu wajib dikumpulkan dari anggota suku Saghe.

Ghan woja dilaksanakan bersama ritual kedha rugha manuk atau injak telur ayam kampung oleh istri dari anak lelaku suku Saghe. Nama para leluhur suku Saghe akan terus diucapkan selama ritual ini berlangsung agar generasi penerus tak lupa dengan nenek moyang mereka.

Misteri Ritual Aneh di Gunung Sanggabuana

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Afdal Hasan lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Afdal Hasan.

AH
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini