Pesona Lukisan Alam dari Batu Selendang Dayang Sumbi di Tahura Djuanda

Pesona Lukisan Alam dari Batu Selendang Dayang Sumbi di Tahura Djuanda
info gambar utama

Sangkuriang begitu kecewa ketika cintanya ditolak oleh Dayang Sumbi, yang tak lain adalah ibunya sendiri. Pembuatan perahu dalam waktu semalam, sebagai syarat dari Dayang Sumbi, sebenarnya sedikit lagi selesai.

Rasa kecewa itu semakin mendalam setelah mengetahui kalau Dayang Sumbi ikut campur menghadirkan matahari pagi. Perahu setengah jadi pun ditendang dan terbalik (tangkuban) yang jejaknya dipercaya sebagai proses Gunung Tangkuban Perahu.

Mengenai kecantikan Dayang Sumbi, Sangkuriang sepertinya tidak salah. Setidaknya, ada sisa kecantikan Dayang Sumbi yang terasa hingga saat ini. Tetapi bukan dalam bentuk wajah, atau fisik lain tetapi untaian selendang yang terpahat di atas batu basalt.

Mengenal Fungsi Tahura dan Perbedaannya dari Cagar Alam dan Taman Wisata Alam

Batu Selendang Dayang Sumbi ini terdapat di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir Djuanda Bandung. Kepala Tahura Djuanda Lianda Lubis mengatakan Batu Selendang Dayang Sumbi ini berasal dari lava Gunung Tangkuban Perahu ribuan tahun lalu.

Batu mirip corak batik itu hanya berada di Indonesia dan teksturnya mirip batu di Hawaii. Pengelola Tahura Djuanda telah memperbaiki akses jalan menuju Batu Selendang Dayang Sumbi sehingga saat ini pengunjung dapat melakukan swafoto di akses jalan tersebut.

“Kami sudah buat jalan ke bawah yang bagus, ada tangga untuk selfie di Batu Selendang Dayang Sumbi,” ujarnya yang dimuat Pikiran Rakyat.

Lukisan alam

Layaknya peristiwa terbentuknya Tangkuban Perahu, Selendang Dayang Sumbi tidak kalah indah untuk diceritakan. Jika Tangkuban Perahu lahir akibat kuatnya letusan Gunung Sunda, Selendang Dayang Sumbi adalah lukisan alam dari aliran lava panas.

Geograf dari Masyarakat Geografi Indonesia, T. Bachtiar mengatakan jejak lava itu begitu eksotis karena membentuk pola lipatan berulang dengan ukuran dan jarak yang sama. Ada lipatan yang lancip dan gemuk tergambar secara vertikal, hingga membentuk corak batik.

“Bentuknya seperti selendang batik yang sangat indah. Karena itu, kami menamakannya sebagai situs Geologi Selendang Batik Dayang Sumbi,” kata Riben, petugas Tahura Djuanda yang dimuat Kompas.

Mekarnya Rafflesia Terbesar di Tanah Minangkabau

Sebagai temuan geologi yang relatif baru ditemukan, Situs Selendang Dayang Sumbi belum banyak dikenal pengunjung Tahura. Awalnya situs itu ditemukan oleh pemancing tradisional, setelah dikonfirmasi, tim pun cukup sulit menemukan lokasinya.

Tim Ekspedisi Citarum yang ditemani petugas Tahura harus menuruni tebing tanah curam sekitar 100 meter dengan kontur tanah licin. Petugas juga perlu memasang alat bantu berupa tali kuat berdiameter 1 sentimeter sebagai pegangan.

Namun ketika sampai, rasa penasaran itu tergantikan dengan kekaguman. Jejak itu terekam dalam batuan datar seluas 5 meter x 2 meter. Ada sekitar 5 motif yang terbentuk dengan ukuran berbeda.

“Keindahan dipadukan dengan blok formasi batuan sisa letusan gunung berapi lainnya yang tersebar di atas tebing, dan sepanjang Sungai Cikapundung. Ditemani suara air keras yang menghantam batu vulkanik,” ucapnya.

Objek wisata

Humas Tahura Bandung kala itu, Jasmiaty menyebut Selendang Dayang Sumbi akan segera dikembangkan sebagai objek wisata. Pihak Tahura juga telah memperkenalkan tiga curug yang letaknya tak jauh dengan Selendang Dayang Sumbi.

Tiga air terjun itu masih tersembunyi di balik lebatnya hutan Tahura, yakni Lalay, Kidang, dan Koleang. Ketiganya sekitar 15 meter sebelum airnya menyentuh bagian dasar. Kelebihan Lalay juga terdapat gua di dalamnya.

Gua ini menjadi tempat berkembang biak kawanan kelelawar. Adapun Kidang dan Koleang juga tidak kalah indah karena menawarkan pemandangan turunnya air yang menerpa batuan di bawahnya.

Cagar Alam Jantho, Rumah Menyenangkan Orangutan Sumatera

Tak hanya wisata alam, Tahura Djuanda juga memiliki tempat kuliner. Pengunjung bisa menikmati santapan sedap khas Jawa Barat seperti nasi pais di antara pepohonan yang menjulang tinggi dan suara-suara alam.

Tahura Djuanda pun banyak dimanfaatkan untuk ilmu pengetahuan, penelitian, dan pendidikan. Beberapa di antaranya seperti Curug Dago, Curug Omas, sampai Gua Belanda, Gua Jepang, dan Tebing Keraton.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini