Sumbangasih Mas Akbar, Sosok Difabel Pemberdaya Disabilitas

Sumbangasih Mas Akbar, Sosok Difabel Pemberdaya Disabilitas
info gambar utama

Perjalanan meniti sudut Komplek Slamet Riyadi kala itu menjadi babak baru untuk menemukan sisi kehidupan lain yang tidak pernah disadari. Ketika kaki ini telah melewati gerbang sekolah lawas tersebut, lantas kedua siswa antusias menyambut dengan ramahnya seakan menghapus penat perjalanan selama 30 menit tadi.

Sesekali tertawa, sesekali celingak-celinguk, kedua siswa tersebut menuntun saya ke dalam untuk segera bertemu dengan orang hebat yang saat ini sedang mengajar.

Melewati iringan gapura yang tiada habisnya, namun terpampang jelas tulisan, “SLB D/SLB D1, YPAC (Yayasan Pembinaan Anak Cacat) Surakarta,” menjadi fokus utama saya dalam kunjungan menembus batas kehidupan bagi penyandang disabilitas di kehidupan saat ini.

YPAC di Jln. Slamet Riyadi, Yogyakarta
info gambar

Lekas menorehkan senyuman ikhlasnya, kedua siswa tersebut meninggalkan saya tepat di depan Ruangan Akademis Informasi dan Teknologi. Satu, dua ketukan pada pintu berhasil mengizinkan saya untuk masuk ke dalam ruangan tersebut.

Sepasang mata ini langsung tertuju kepada sosok yang duduk di kursi roda dengan kacamata yang membingkai gerak bola matanya mengikuti arah anak panah pada layar di hadapannya. Tidak berbeda dengan kedua siswanya, menyadari kehadiran seseorang, bergegas menggerakkan kursi rodanya untuk menghampiri posisi berdiri saya saat itu.

Lengkung senyumannya menaungi rumpun nama, “Muhammad Akbar,” yang terjahit rapi di atas kanan seragam beliau. Meski harus bersama kursi rodanya, tergambar dari sumringah dan semangatnya tampak beliau masih menginjak umur di angka 25 tahun.

Pertemuan hari itu tidak sedikitpun menimbulkan kebosanan melainkan menjadi pengajaran dalam memaknai kehidupan. “Mas, anak-anak sudah menunggu di ruangan untuk bimbingan lomba,” begitulah orang di sekitarnya memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ (panggilan hormat untuk lelaki dalam masyarakat Jawa).

Dalam kesehariannya beliau mengabdi sebagai guru di sekolah luar biasa naungan YPAC ini sembari menempuh pendidikannya di jenjang kuliah. Ketika ditanya alasan memilih menjadi guru di sekolah tersebut, beliau mengatakan bahwa dirinya ingin meneguhkan kepercayaan diri anak difabel lainnya. Bahwasannya setiap manusia itu memiliki kesempatan setara untuk sukses sekalipun memiliki kekurangan yang membatasinya.

Ungkapnya, “Dahulu, ketika kecil saya selalu menanamkan keyakinan bahwa setiap anak, baik yang terlahir cacat maupun sempurna, tetaplah manusia yang memiliki daya juang untuk meraih arti suksesnya, mereka memiliki kedudukan setara di hadapan tuhannya.”

Keyakinan hebat tersebutlah yang beliau ingin tumbuhkan ke dalam diri muridnya, sehingga dapat memantik gejolak ambisi dalam meraih masa depan. Jalinan hubungan antar beliau dengan YPAC sudah terukir semenjak beliau menempuh pendidikan dasar hingga jenjang SMA, sehingga kaitan hubungan yang terbentuk bukan sekadar layaknya tamu yang datang lalu pamitan.

Semasa sekolahnya, beliau telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan YPAC yang tengah mempertahankan eksistensinya sejak pendiriannya pada 1953 dalam membina para disabilitas.

Beliau berhasil membuktikan bahwa penyandang disabilitas juga mampu untuk mengibaskan sayapnya menuju Korea Selatan berkat prestasi berharga yang diraihnya.

Terpilih menjadi perwakilan Indonesia, beliau melanjutkan ke tingkat internasional pada Kompetisi Global IT Challenge for Youth yang diikuti oleh sejumlah negara lainnya. Dengan kemahirannya di bidang teknologi, beliau berhasil menyabet medali emas yang menunjukkan bahwa difabel sepertinya mampu unggul dibandingkan para peserta normal lainnya.

Sosok Mas Akbar yang mewakili Indonesia dalam ajang Olimpiade Internasional
info gambar

Di balik megahnya prestasi tersebut, terdapat segenap usaha dan tekad yang selalu beliau gencarkan. Bermula di kualifikasi kabupaten, beliau hanya dapat belajar menggunakan komputer yang ada di sekolahnya.

Kala itu, keinginan besar untuk memiliki laptop agar dapat belajar lebih banyak bergolak besar dalam dirinya. Perihal ekonomi yang pas-pasan, mengharuskan beliau menyambangi kemenangan dalam kontes IT terlebih dahulu untuk dapat menggenggam laptop sebagai miliknya dengan hasil jerih payah tak tergundahkan.

Segala keperluan pribadinya sudah biasa ia penuhi sendiri mengingat beliau mengatakan, “Tidak enak kalau minta orang tua, lebih baik uangnya untuk membeli kebutuhan pokok lainnya.”

Kepekaan beliau terhadap kondisi keluarga dengan ayahnya yang membanting tulang seorang diri sebagai supir untuk menghidupi 4 anggota keluarganya. Kehidupan masa kecilnya semenjak 1995 menakdirkan beliau untuk nomaden berpindah sehingga harus bertahan pada setiap lingkungan baru yang ditempatinya.

Beliau menceritakan bahwa tidak sedikit orang di sekitarnya selalu memandangnya dengan tatapan serius seakan melihat dirinya sebagai anak kecil yang berbeda. Anak lain berlarian, sementara beliau harus terpaut di kursi roda.

Namun, ada pepatah jawa mengatakan, “Bocah biasane luwih ngerti tinimbang wong tuwa (anak kecil biasanya lebih paham daripada orang yang lebih dewasa).” Hal tersebut berkenaan dengan perlakuan teman-teman beliau yang selalu meghalau pandangan buruk tetangga lain kepada dirinya.

Perasaan sedih kerap beliau rasakan kala melihat teman sebayanya yang asik memainkan mobil tamiya yang menjadi permainan primadona pada masanya. Hanya dapat menyaksikan dari kursi rodanya sudah cukup menyenangkan hatinya mengingat tidak cukupnya uang yang ia miliki untuk sekedar membeli mainan tersebut. Beliau berpikir bahwa masih banyak keperluan seperti alat tulis dan buku yang harus dipenuhinya.

Pada umurnya yang baru beranjak 13 tahun sudah mendorongnya untuk dapat menghasilkan uang demi membeli kebutuhannya. Saat ditanya acuan apa yang membuat beliau tetap berjuang saat itu, “Saya sebagai anak lelaki satu-satunya, meski cacat sekalipun, saya tetap harus melanjutkan perjuangan ayah saya dalam mencari nafkah."

Pemikiran yang masih memegang teguh tradisi jawa bahwa anak lelaki yang meneruskan tongkat estafet sebagai perpanjangan tangan dari ayahnya. Dasar tersebutlah yang menegakkan tonggak semangat beliau untuk mendapati masa emas di kelak nanti.

Ketertarikan beliau terhadap teknologi layaknya bara api yang terus menggelora menyuguhkan ambisinya untuk terus belajar dan berkembang. Tidak pernah jemu, beliau selalu berusaha hingga menghasilkan sebuah penemuan baru berupa aplikasi belajar untuk difabel.

Aplikasi sebagai bentuk Artificial Intelligence yang kini sangat dibutuhkan dalam memecahkan masalah kognitif terkait kecerdasan manusia seperti dalam hal pembelajaran. Suatu ide inovatif telah beliau ciptakan dengan tujuan mengembangkan kemampuan dan pemahaman belajar bagi para penyandang disabilitas.

Meski masih dalam bentuk prototipe digital, penggunaan aplikasi tersebut sudah diuji cobakan kepada para murid difabel di SLB YPAC dengan bantuan guru dalam eksekusinya.

Dengan demikian, permasalahan terkait kurang tanggapnya IPTEK oleh penyandang disabilitas, kini sudah mulai perlahan teratasi, tinggal menunggu aplikasi tersebut sepenuhnya jadi sehingga dapat dipublikasi untuk membantu difabel lainnya yang berada di luar sekolah.

Merangkai interaksi dengan anak difabel lain, sudah terbiasa bahwa beliau harus interaktif dan pengertian terhadap segala keterbatasan yang mereka miliki.

Terdapat satu anak yang menjadi kiasan terindah dari ciptaan tuhan. Beliau menceritakan bahwa sewaktu istirahat di kala turun hujan lebat, anak tersebut sedang asik mengamati genangan air dalam selokan di depan kelasnya.

Menyadari derasnya percikan air, lantas membangkitkan intuisinya sebagai guru untuk menghampiri anak tersebut. “Nak, apakah kamu tidak kedinginan? Mari masuk ke dalam kelas,” ajak beliau menggunakan SIBI (sistem bahasa isyarat Indonesia) sembari menggiring kursi roda.

Anak tersebut pun menjawab dengan menggunakan isyarat kedua tangan bahwa dirinya kedinginan, tapi ingin melihat genangan air yang perlahan meninggi namun terus mengalir menuju ujung selokan.

Beliau pun menanyakan kembali mengenai apa yang ia pikirkan tentang genangan air itu. Seketika anak itu menampung tetesan air dengan kedua tangannya dan menunjukan bahwa air di tangannya bersih, tapi kenapa yang di selokan terlihat kotor. Memahami kebingungan dari murid bernama Alsha tersebut membuat beliau tersenyum halus.

Hingga, ia pun menyampaikan nilai filosofis kepada anak itu secara perlahan agar isyaratnya mudah dimengerti. “Nak, air yang kamu tampung tadi langsung dari awan, berarti dari Tuhan kan, itu ibaratnya kamu yang terlahir di dunia ini dengan segala kebaikan dan keelokan yang Tuhan ciptakan."

"Sementara, perhatikan bagaimana ketika air tadi menyatu dengan air lainnya dan terus mengalir menemui hilirnya. Tepatnya, keteguhan diri kamu akan menentukan bagaimana kamu dapat berjuang dalam menjalani kehidupan ini. Meskipun banyak orang yang berusaha menggunjing kamu karena kekurangan yang ada, maka kamu jangan merasa rendah diri. Kamu memang harus menerima kekurangan kamu, tapi bukan berarti kekurangan tersebut menjadikan kamu sebagai manusia terburuk yang pernah ada. Kita sama-sama manusia, mempunyai akal dan perasaan, dengan begitu kita yang harus berjuang sendiri untuk menentukan air mana yang akan mencampuri dan hilir mana yang akan menjadi titik temu kita, tidak perlu mengindahkan persepsi buruk orang lain.”

Berdasarkan wawancara kepada warga sekolah, mayoritas dari mereka setuju bahwa dibutuhkannya sosok pendobrak yang mampu mendongkrak kedudukan difabel yang selama ini dianggap sebelah mata oleh orang-orang. Bukan hal berlebihan, apabila warga sekolah sepakat untuk menjadikan Mas Akbar sebagai Local Hero versi mereka.

Putri Ariani, seorang influencer sekaligus aktivis difabel, mengungkapkan keprihatinannya karena difabel masih menjadi kelompok yang diduakan, sehingga banyak para difabel yang tidak mendapatkan tempat dalam media publik.

“Ini menyebabkan masyarakat kita asing terhadap teman-teman difabel. Jadi, masyarakat tidak biasa melihat keberagaman dan perbedaan,” jelasnya.

Meski banyak difabel lainnya juga berhasil meraih prestasi gemilang, hal ini berbeda dengan Mas Akbar yang memanfaatkan potensinya untuk kepentingan umum. Nyatanya, beliau mendedikasikan dirinya dalam memberdayakan kembali para penyandang disabilitas yang masih tersingkirkan kesempatannya dalam meraih eksistensi di masyarakat.

Mengutip tulisan Angkie Yudistia dalam buku, “Wanita Tunarungu Menembus Batas (1),” disampaikan bahwa keterbatasan sebagai penyandang disabilitas ibarat kepompong.

Dalam hal ini, kepompong digambarkan sebagai selaput yang membungkus ulat untuk melakukan metamorfosisnya. Simbolis itu menggambarkan bahwa keoptimisan dan perjuangan penyandang disabilitas dalam menerabas 'tembok' pesimisme dan bangkit berprestasi, akan mengubah dirinya menjadi kupu-kupu indah yang mampu terbang melayang di angkasa seperti keinginan utama yang dicanangkan Mas Akbar.

Referensi:YPAC Surakarta | Detik

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

K
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini