Tetesan Tinta Kiai Pembaharu dalam Modernisasi Pesantren di Indonesia

Tetesan Tinta Kiai Pembaharu dalam Modernisasi Pesantren di Indonesia
info gambar utama

Wahid Hasyim mengubah wajah Pesantren Tebuireng menjadi lebih modern dan terbuka. Dirinya memasukan ilmu pengetahuan umum, membuka perpustakaan, serta mendatangkan berbagai pelajaran bahasa, seperti Melayu, Inggris, dan Belanda.

Kiai Wahid, demikian dirinya disapa merupakan anak dari KH Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Pada usia terbilang muda, 20 tahun, dia telah menggagas perubahan sistem pendidikan di Tebuireng.

“Wahid berpendapat, penting bagi santri untuk memahami pengetahuan umum selain mendalami Quran, fikih, dan bahasa Arab. Dia juga mendorong santri banyak membaca dan berorganisasi,” tulis seri buku Tempo Wahid Hasyim.

Sebagai santri Tebuireng pada tahun 1937, Abdul Muchit Muzadi, kakak dari Hasyim Muzadi ini hampir tidak mendapatkan pendidikan umum. Ketika itu, dirinya hanya mengaji kitab kuning, pelajaran non agama sangat minim.

Pencak Dor: Tradisi Bela Diri Pesantren yang Lahirkan Pendekar Silat

“Saya cuma dapat pelajaran berhitung (di luar pelajaran agama),” ucapnya.

Tetapi setelah dua tahun Muchit di Tebuireng, dirinya baru mendapatkan pelajaran non-agama. Hal ini setelah dibentuknya Madrasah Nizamiah yang dibentuk pada 1934 yang menjadi terobosan di kalangan NU.

Hal ini karena untuk pertama kalinya ada pesantren yang mengembangkan pendidikan umum sampai 70 persen. Padahal sebelumnya pesantren yang berdiri pada 1916 ini hanya mengajarkan kitab kuning.

“Setelah Nizamiah dilebur, kami mendapat pelajaran umum, seperti bahasa Indonesia,” katanya.

Pesantren Nizamiah

Ide untuk membuat Madrasah Nizamiah di dalam Tebuireng adalah dari Wahid Hasyim yang saat itu baru berusia 19 tahun. Kyai Wahid ketika itu baru saja pulang dari menempuh sekolah dari Mekkah.

“Begitu pulang, dia mengusulkan kepada ayahnya untuk mengubah sistem pendidikan pesantren, seperti sorogan atau bandongan, dengan model kelas seperti di sekolah model barat,” tulisnya.

Bandongan merupakan sistem mengajar mirip kuliah, kiai akan membacakan satu kitab tertentu beserta tafsirnya. Sementara santri akan mendengarkan atau mencatat pelajaran yang dengan sistem hampir tidak dialog.

Sedangkan dalam sistem sorogan, santri akan antre dan satu per satu menghadap kiai. Santri membawa kitab sendiri-sendiri. Nantinya kiai akan membaca beberapa kalimat kitab itu dan santrinya mengulang-ulang.

Pelajaran Menarik yang Hanya Ada di Pesantren!

Wahid Hasyim juga mengusulkan memperbanyak pendidikan non-agama. Karena perubahannya yang dramatis, ternyata Hasyim Asy’ari tak langsung setuju mengubah kurikulum di Tebuireng.

Dirinya kemudian mengizinkan anaknya yang masih muda tersebut membentuk madrasah sendiri di dalam Tebuireng pada 1934, madrasah ini yang disebut Nizamiah. Barulah muncul pesantren dengan adanya pendidikan umum untuk pertama kali di Indonesia.

“Gus Wahid dululah yang memasukan materi bahasa Jerman, bahasa Inggris, model klasikal,” ucap Kiai Haji Imam Tauhid, pengurus Kasepuhan Pondok Pesantren Tebuireng.

Warisan moderasi

Tetapi saat Nizamiah dibuka, tidak banyak orang tua yang bersedia mengirimkan anaknya ke madrasah ini. Muchit menyebut alasannya adalah mereka tidak membayangkan anaknya dikirim ke pesantren tapi malah belajar bahasa Inggris.

“Ayah saya tidak berkenan ke madrasah yang modern gitu, maunya saya disuruh belajar ilmu agama dan ngaji,” katanya.

Dirinya menjelaskan ketika itu santri Tebuireng mencapai 2.000 orang, tetapi tak semua santri mengambil madrasah seperti Salafiyah dan Nizamiah. Mereka lebih memilih mondok dan belajar mengaji saja.

Berusia Hampir 3 Abad, Berikut Deretan Pesantren Tertua di Indonesia

Muchit menyebut Wahid Hasyim juga ikut turun mengajar para santri di Nizamiah. Tetapi setelah Nizamiah dilebur, Wahid Hasyim sudah tidak pernah lagi mengajar di Tebuireng, karena sibuk di Surabaya, berorganisasi di NU.

Peleburan Nizamiah dengan Salafiyah memang atas permintaan dari Hasyim Asy’ari yang tidak mau ada dua madrasah di Tebuireng. Tetapi bubarnya Nizamiah tak berarti ide modernisasi di Tebuireng berakhir.

“Setelah Nizamiah bubar dan dilebur ke Salafiyah, di Salafiyah tampak ada perubahan. Kami di Salafiyah lebih puas karena dapat pelajaran umum lebih banyak lagi, sekalipun mungkin tidak seperti ide awal yang digagas Kiai Wahid,” ucapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini