Ketika Pribumi Ingin Menjadi Londo dengan Titipkan Anak di Tempat Kost

Ketika Pribumi Ingin Menjadi Londo dengan Titipkan Anak di Tempat Kost
info gambar utama

Bila mendengar istilah kost, hampir semua orang memiliki pengertian yang sama yakni suatu tempat atau sebuah kamar yang disewakan kepada orang yang membutuhkan dalam jangka waktu dan dengan biaya sewa tertentu.

Ternyata dari sejarahnya, kost berasal dari bahasa Belanda yakni in de kost yang secara harfiah berarti makan di dalam atau bila pengertiannya menjadi lebih luas adalah menjadi tinggal dan ikut makan.

Pada zaman kolonial, ternyata in de kost merupakan sebuah gaya hidup yang cukup populer di kalangan menengah ke atas untuk kaum pribumi, terutama bagi kalangan yang sangat mengagung-agungkan budaya barat khususnya Belanda.

Wedang Uwuh, Kehangatan Rempah yang Menyehatkan

“Bisnis ini awalnya merupakan gaya hidup pribumi kalangan menengah ke atas pada masa itu. Mereka diketahui banyak yang mengagung-agungkan budaya barat,” papar Severina Ratih dalam Sejarah Budaya Nge-Kos di Indonesia.

Menurut Severina, pada masa penjajahan, bangsa Belanda memiliki status sosial di atas kaum pribumi. Sementara itu kaum pribumi dari kalangan menengah atas ingin menaikkan statusnya dengan menggemari budaya barat.

“Untuk memperoleh hal itu muncullah budaya kos-kosan ini,” paparnya.

Tempat penitipan

Disebutkannya kalangan pribumi ini akan menitipkan anak pada keluarga Belanda dengan membayar sejumlah uang. Anak-anak yang dititipkan ini harus memenuhi sejumlah persyaratan dari pemilik rumah, agar bisa tinggal bersama.

Setelah itu, katanya, anak tersebut akan dapat menjadi anak angkat dari keluarga Belanda tersebut. Anak-anak yang sudah menjadi anak angkat dari keluarga Belanda itu akan mengikuti budaya dari keluarga angkatnya.

“Hal ini membuat hubungan antara penyewa dan induk semang pada masa itu sangat mengutamakan kekeluargaan,” ucapnya.

Asal-Usul Dokter Hewan di Indonesia, Eksis Sejak Zaman Belanda

Selain tinggal serumah dengan keluarga Belanda, selain diperbolehkan mendapat makan dan tidur di rumah tersebut, si anak tetap dapat bersekolah dan belajar menyesuaikan diri dengan gaya hidup keluarga tempat dia menumpang.

Dari situlah, muncul konsep penting dari in de kost, yaitu mengadaptasi dan meniru budaya hidup, bukan hanya sekadar hanya makan dan tidur saja, tetapi diharapkan setelah berhenti menumpang sang anak dapat cukup terdidik untuk mampu mandiri.

Kost dan lintasan sejarah

Sultan Hamengkubuwono IX adalah salah satu figur yang pernah merasakan budaya ngekost di rumah orang Belanda. Dirinya tinggal di tengah-tengah keluarga Mulder yang mengasuhnya.

Dorodjatun, nama asli Sultan HB IX telah tinggal di rumah tersebut sejak usia enam tahun. Dirinya bahkan mendapat panggilan Hinkie dari pemilik rumah tersebut, yang diambil dari kata Henk yang berarti kecil.

“Di tengah-tengah keluarga Mulder yang mengasuhnya, dia merasakan bagaimana hidup sederhana dan penuh disiplin,” dikutip dari buku Tahta untuk Rakyat.

Kelezatan Rendang yang Menyebar Bersama Tradisi Rantau Minangkabau

Sementara itu, Haji Omar Said Tjokroaminoto juga pernah mendirikan kost-kostan untuk para anak-anak muda. Kelak anak-anak kost dari Tjokroaminoto ini akan menjadi tokoh nasional, seperti Soekarno, Semaun, hingga Kartosuwiryo.

Seiring berjalannya waktu, masyarakat Indonesia juga menjadikan kost sebagai bisnis. Kini di mana-mana, terutama di sentra pendidikan dan bisnis tumbuh sejumlah rumah atau bangunan khusus yang menawarkan kost bagi mereka yang membutuhkan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini