Mengenal Adinegoro, Belajar Jurnalistik hingga ke Eropa

Mengenal Adinegoro, Belajar Jurnalistik hingga ke Eropa
info gambar utama

"Hanya ada satu mata uang yang berlaku di mana-mana. Bukan Gulden Negeri Belanda, bukan Deutche Mark Jerman, bukan Poundsterling Inggris, dan bukan pula Dolar Amerika. Mata uang itu bernama kejujuran."

Kalimat di atas berasal dari catatan perjalanan jurnalistik Adinegoro. Kawan tahu tidak, siapa itu Adinegoro?

Pria kelahiran Sumatera Barat itu terkenal sebagai salah satu tokoh pers Indonesia. Mungkin tidak banyak yang mengenal Adinegoro selain nama penghargaan jurnalistik untuk wartawan Indonesia sejak pertengahan tahun 1970-an.

Adinegoro bernama asli Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan (1904—1967). Ia saudara sebapak dengan sastrawan Muhammad Yamin, tetapi lain ibu.

Nama Adinegoro digunakan sebagai nama pena karena tidak diperbolehkan menulis kala bersekolah di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra). Nama itu diusulkan oleh temannya, Landjumin Datuk Tumenggung yang bernama pena Nitinegoro.

Baca juga: Manfaat Menulis Buku Harian, yuk, Jadi Rutinitas!

Melalui nama itu, ia rajin menulis dan memublikasikan tulisannya tanpa diketahui orang. Adinegoro turut menjadi pembantu tetap di surat kabar Tjahaja Hindia. Dia bertugas menulis artikel tentang masalah luar negeri setiap minggu.

Adinegoro keluar dari STOVIA dan memutuskan ke Jerman untuk sekolah jurnalistik. Selain jurnalistik, ia turut mempelajari masalah kartografi dan geografi di Wuerzburg dan dan geopolitik di Munchen, Jerman. Ketika Perang Dunia II, pria tersebut memikat para pembaca melalui tulisannya yang menggambarkan peta pergerakan perang itu.

Eropa memberikannya banyak pengalaman dan pengetahuan di bidang jurnalistik. Meski menulis dua novel pada 1928, ia lebih dikenal sebagai wartawan dibandingkan sastrawan.

Ketika belajar di Eropa, Adinegoro menjadi wartawan lepas di surat kabar Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Panji Pustaka (Jakarta). Namun, masuknya Jepang membuat surat kabar Pewarta Deli dihentikan dan digantikan dengan surat kabar Sumatera Shimbun, lelaki ini lantas ditunjuk sebagai pemimpin.

Pasca kemerdekaan Indonesia, Adinegoro bersama dengan Prof. Soepomo, Prof. Moh. Noor, Soekardjo Wirjopranoto, dan Mr. Yusuf Wibisono mendirikan Mimbar Indonesia pada 1948. Kemudian, pada 1951, penulis tersebut mendirikan Yayasan Persbiro Indonesia dan Perguruan Tinggi Publisistik—sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Ia juga mendirikan Fakultas Publisistik di Universitas Padjajaran, Bandung.

Melawat ke Barat

Karya Adinegoro berjudul Melawat ke Barat mengisahkan Adinegoro yang menjelajahi Eropa pada 1926. Buku ini terbit pertama kali pada 1930—berdasarkan kata pengantar dari Parada Harahap.

Adinegoro menuliskan buku itu bak catatan harian perjalanan yang dia bagi menjadi tiga jilid. Melalui buku ini, kita akan melihat luasnya pengetahuan pria ini mengenai latar belakang suatu tempat yang dia datangi.

Buku Melawat ke Barat lebih menekankan pengetahuannya terhadap suatu tempat. Dia tidak menjelaskan mengapa memilih jurnalistik dibandingkan kedokteran di STOVIA atau mengapa memilih Jerman sebagai tujuan akhirnya belajar.

Namun, gaya menulis kewartawanan yang dipadukan dengan kesusastraan yang dibawa Adinegoro mencetuskan jenis jurnalistik sastra. Gaya kepenulisan ini kemudian dikembangkan Goenawan Mohamad dalam Tempo.

Baca juga: Biografi Teuku Umar, Pahlawan Nasional Indonesia

Anugerah Jurnalistik Adinegoro

Hari Pers Nasional diperingati setiap tanggal 9 Februari. Tanggal ini diambil dari hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Setiap tahun, PWI merayakan Hari Pers Nasional dengan menyelenggarakan Anugerah Jurnalistik Adinegoro.

Ajang kompetisi dan penghargaan ini mengambil semangat Adinegoro sebagai wartawan. Kegigihannya dalam menulis dan mengkritik situasi saat itu diharapkan menjadi teladan bagi seluruh wartawan Indonesia.

Nah, setelah membaca informasi di atas, apakah Kawan sudah mengenal Adinegoro sebagai tokoh pers Indonesia? Tetap semangat mencari ilmu seperti sosok Adinegoro, ya, Kawan GNFI!

Referensi: Historia | Kemendikbud

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

F
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini