I LA GALIGO: Mahakarya, Teologi Purba & Peradaban Tana Luwu Yang Mendunia

I LA GALIGO: Mahakarya, Teologi Purba & Peradaban Tana Luwu Yang Mendunia
info gambar utama

Sastra I La Galigo memiliki nama lain yakni Sureq Galigo, Sureq Selleang, Bicaranna (PauPaunna) Sawerigading, La Galigo dan Galigo. Bukan hanya sekedar nama kitab, tetapi I La Galigo juga merupakan nama tokoh, ia anak dari Sawerigading yang merupakan salah satu tokoh utama yang banyak dikisahkan dalam kitab tersebut.

Sureq Galigo memuat kisah asal usul penciptaan tatanan peradaban di bumi (Alelino/Alekawa) dengan bahasa Galigo Kuno berbentuk puisi yang terdiri dalam sajak bersuku lima. Awalnya epos ini berkembang melalui tradisi tutur/lisan yang kemudian menjadi sastra tulis yang dimuat pada lembaran-lembaran daun lontar (lontara) sehingga dikenal istilah huruf lontaraq.

Hanya kalimat yang bersifat mnemonic (jejak ingatan) yang dicantumkan pada daun lontar karena sifatnya yang terbatas sebagai sarana menulis secara utuh. Untuk menjaga kelestarian dan orisinalitasnya, maka isi dan nilai yang terkandung dalam sastra ini selalu dibacakan (massureq) dengan cara didendangkan (selleang/laoang) dari generasi ke generasi.

Merasakan Kelezatan Sagu dalam Ingatan Seorang Wallace

Kesusastraan ini makin berkembang seiring dengan masuknya kertas ke Sulawesi Selatan yang menurut beberapa ahli antara abad 7-13 M. Masa itu Galigo mulai disalin secara utuh selaras saat didendangkan. Sampai abad ke 16-18 M di mana Islam masuk ke SulSel, dan Al-Quran telah diterjemahkan ke dalam bahasa setempat. Hal tersebut yang membuat Nederlandsch Bijbel Genootschap (NBG/Lembaga Al-Kitab Belanda) memandang perlunya Al-Kitab untuk diterjemahkan pula ke dalam bahasa daerah agar bisa diperkenalkan serta dipelajari oleh masyarakat setempat.

Maka, ditugaskanlah seorang missionaris yang selain ahli dalam Al-Kitab juga fasih dalam berbahasa Arab dan bahasa daerah khas Sulawesi Selatan. Ia bernama Benjamin Frederick Matthess. Sesampainya di Sulawesi Selatan, Matthess mempelajari perilaku masyarakat Muslim dan menemukan kejanggalan di mana mereka lebih condong membaca kitab-kitab kuno dibanding membaca Al-Quran.

Untuk mengungkap rasa penasarannya Matthess berkeliling Sulawesi Selatan dan pada tahun 1852 ia bertemu dengan Colliq Pujie Arung Pancana Toa (anak Raja Tanete) yang memiliki pengetahuan sastra dan fasih dalam berbahasa Galigo kuno, yang akhirnya membantu Matthess mengumpulkan dan menyalin manuskrip I La Galigo yang pada saat itu tersebar kebeberapa kalangan masyarakat tertentu dalam bentuk penggalan-penggalan naskah yang isinya tidak lengkap.

Colliq Pujie (duduk di atas kursi) sang penyalin 12 naskah I La Galigo
info gambar

Akhirnya terkumpul sebanyak 12 bagian naskah yang kemudian disalin Colliq Pujie, yang oleh Matthess salinannya dibawa ke Belanda dan diberikan kepada Lembaga NBG yang selanjutnya diserahkan ke perpustakaan Universitas Leiden sebagai pinjaman tetap dengan kode registrasi NBGBoeg188 sekitar tahun 1905.

Cut Meutia, Sekilas Profil Pahlawan Perempuan Nasional dari Aceh
Salah satu lembaran katalog naskah I La Galigo yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
info gambar

Selain menjadi karya sastra, Sureq Galigo juga menjadi kitab suci bagi Towani Tolotang. Yakni aliran kepercayaan masa lampau yang telah mengenal hubungan kausalitas Pencipta dan Ciptaan yang telah ada jauh sebelum agama-agama samawi masuk ke Sulawesi Selatan. Sebagai mahakarya yang memiliki nilai kesusastraan tinggi, sastra La Galigo juga menjelma jadi seni pertunjukkan di panggung-panggung teater Internasional diberbagai negara di Eropa, Amerika, Australia dan Asia.

Adapun di dalam negeri pernah dipentaskan di Jakarta, Bali & Makassar. Yang kemudian tahun 2019, diistilahkan sebagai "I La Galigo pulang kampung" oleh beberapa lapisan masyarakat. Yang dipentaskan pada kegiatan Festival Keraton Nusantara XIII di Tana Luwu yang dihadiri para Raja dan Sultan se-Nusantara. Bahkan turut hadir beberapa Sultan dari Kerajaan Melayu yang secara historis juga masih memiliki hubungan genetik dengan raja-raja kedatuan Luwu masa lampau.

Pementasan La Galigo di kegiatan Festival Keraton Nusantara XIII di Wotu,Luwu Timur
info gambar

Sampai saat ini, seiring dengan berkembangnya zaman dimana arus informasi lebih mudah diakses, sastra I La Galigo diharapkan bisa dinikmati kemasyhuran cerita dan keindahan bait-bait syairnya melalui sastra & seni yang selaras dengan kemajuan teknologi menyesuaikan selera masyarakat dengan tanpa merubah kadar dari nilai dan esensi khas yang terkandung dalam mahakarya Epos I Lagaligo.

Merawat Tanah Luwu Dan Tatanan Peradabannya Yang Mendunia

Kawan GNFI mungkin masih banyak yang belum tahu tentang Tana Luwu, dan lebih familiar dengan istilah Bugis maupun Makassar sebagai sebuah identitas di Sulawesi Selatan. Perlu kawan GNFI tahu, awal mula cerita Epos I La Galigo dimana Batara Guru diutus oleh ayahnya yang bergelar Patotoe untuk menata peradaban di Dunia Tengah/Bumi (Ale Lino/Alekawa) itu letaknya di Ussu yang sekarang menjadi wilayah Kabupaten Luwu Timur yang berjuluk Bumi Batara Guru.

Luwu Timur sendiri masuk ke dalam simpul aliansi Tana Luwu yang diantaranya adalah Luwu, Palopo, Luwu Utara & termasuk Luwu Timur. Tana Luwu merupakan entitas yang tak dapat dipisahkan dari para keturunan PatotoE yang diabadikan kisahnya dalam Epos I La Galigo yang diantaranya adalah Batara Guru, Batara Lattu, Sawerigading, I La Galigo, Simpurusiang, Anakaji dan lain sebagainya. To/Tau Luwu (orang Luwu) merupakan kelompok etnolinguistik yang juga berasal dari Sulawesi Selatan yang secara entitas memiliki bahasa tersendiri yang khas dan berbeda dengan bahasa Bugis dan Makassar.

Selain itu, kerajaan (Kedatuan) Luwu merupakan yang tertua di Sulawesi Selatan, yang mewarisi beragam nilai dan norma dimasyarakat Sulawesi Selatan. Jauh sebelum republik ini mengenal demokrasi, orang-orang Luwu telah jauh lebih dulu menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai demokrasi itu kemudian termanivesto ke dalam instrumen lingkungan kedatuan Luwu dimana setiap kebijakan mesti melalui musyawarah dan mufakat antara Datu/Raja dengan para tokoh dan pemangku adatnya.

Asal-Usul Dokter Hewan di Indonesia, Eksis Sejak Zaman Belanda

Bahkan, sistem demokrasi itu terjejak dalam ingatan bangsa Luwu ketika Kedatuan Luwu menjadi kerajaan pertama yang bergabung dengan NKRI pasca kemerdekaan atas kesepakatan antara kedatuan & masyarakat kala itu, dimana ketika itu Bung Karno menjanjikan Tana Luwu akan digelari sebagai Daerah Istimewa walaupun kenyataannya sampai hari ini belum terwujud. Adapun dari tokoh Sawerigading mewariskan sikap barani (keberanian),macca (berintelektual) na malambu (selaras antara perkataaan dan perbuatan).

Sawerigading juga digambarkan sebagai pengelana yang teguh pada pendirian dengan icon kapal Phinisinya, sekiranya itu nampak dalam karakteristik masyarakat Tana Luwu khususnya & masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, yang gemar merantau demi mewujudkan cita-cita luhurnya.

Hal inilah yang menjadikan Tana Luwu selain sebagai tempat lahirnya manusia pembangun peradaban di Sulawesi Selatan, juga menjadi daerah yang kaya akan sumber daya alam sesuai dengan nama pulaunya yaitu Sulawesi yang berarti pulau besi, Tana Luwu adalah salah satu wilayah penghasil nikel dan besi terbesar di dunia.

Dan itu sudah terbukti sejak zaman kerajaan Majapahit yang diceritakan dalam Kitab Negarakertagama. Mungkin nilai dan kekayaan inilah yang menyebabkan Tana Luwu dikenal dengan semboyan Wanua Mappatuo Naewai Alena atau Banua Mappatuo Na Ewai Kalena (Negeri Yang Bisa Menopang Dirinya Sendiri).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini