Ki Hajar Dewantara, Mengenang Kembali Bapak Pendidikan Indonesia

Ki Hajar Dewantara, Mengenang Kembali Bapak Pendidikan Indonesia
info gambar utama

Jika membicarakan nilai-nilai pendidikan Indonesia, tentu tidak lepas dari sosok Ki Hajar Dewantara. Berkat jasanya, setiap kaum pribumi mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya kaum priyayi dan orang-orang Belanda.

Berkat jasa-jasanya di bidang pendidikan, Presiden Soekarno lantas memberi gelar Bapak Pendidikan Nasional kepada Ki Hajar Dewantara pada tahun 1959. Tanggal lahirnya pun kini diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, serta semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, dijadikan slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia.

Awal Hidup Ki Hajar Dewantara

Masa Kecil Ki Hajar Dewantara
info gambar

Sosok bernama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat ini lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat sekaligus cucu dari Sri Paku Alam II. Adapun nama Ki Hajar Dewantara ia pakai sejak tahun 1922.

Sebagaimana keturunan bangsawan Jawa lainnya, Ki Hajar Dewantara juga sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) alias sekolah rendah untuk anak-anak Eropa. Ia pun juga sempat menempuh pendidikan STOVIA atau yang biasa dikenal dengan nama Sekolah Dokter Jawa. Sayangnya, ia tidak menamatkan jenjang pendidikan tersebut karena alasan kesehatan.

Walaupun seorang “darah biru”, Ki Hajar Dewantara tergolong sosok bersahaja dan dekat dengan rakyat. Ia juga punya ketertarikan yang besar di bidang pendidikan dan budaya lokal, serta ingin menjadikan keduanya sebagai jalan untuk mencapai kesatuan sosial-politik dalam masyarakat kolonial. Hal itu yang menjadi dasar perjuangan Ki Hajar Dewantara, terutama dalam aspek pendidikan.

Baca juga: Biografi Dewi Sartika, Pahlawan Pendidikan Perempuan

Perjuangan Ki Hajar Dewantara

Perjuangan Ki Hajar Dewantara
info gambar

Setelah lulus dari STOVIA, Ki Hajar Dewantara mulai bekerja sebagai penulis dan wartawan untuk beberapa surat kabar, seperti Sediotomo, De Express, Oetoesan Hindia, dan Kaoem Muda. Ia juga aktif dalam berbagai organisasi, seperti Boedi Oetomo, Insulinde, dan Indische Partij.

Salah satu tulisannya yang paling terkenal adalah Als ik een Nederlander was (“Andai Aku Seorang Belanda”) yang diterbitkan di surat kabar De Express pada 13 Juli 1913. Isi tulisan tersebut sangat menohok para pejabat Hindia-Belanda. Salah satu kutipan dari tulisan tersebut adalah:

Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengkongsi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.

Awalnya, pihak pejabat Belanda meragukan tulisan ini karena gaya tulisannya berbeda dengan apa yang selama ini menjadi ciri khas Ki Hajar Dewantara. Kalaupun memang benar, pihak Belanda menganggap bahwa Ki Hajar Dewantara membuat tulisan tersebut atas provokasi DD selaku pemimpin redaksi majalah De Express.

Akibat tulisan tersebut, Ki Hajar Dewantara diasingkan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg. DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo selaku rekan Ki Hajar Dewantara lantas memprotes keputusan tersebut. Namun, protes itu ditolak sehingga keduanya pun ikut diasingkan.

Selama di pengasingan, Ki Hajar yang masih memakai nama Soewardi ini aktif di organisasi Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia), serta mendirikan Indonesisch Pers Bureau (kantor berita Indonesia) pada 1913. Ia pun juga belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh ijazah Europeesche Akta, suatu ijazah pendidikan bergengsi yang kelak ia pakai untuk menjadi modal dalam membangun lembaga pendidikan yang ia idam-idamkan.

Sepulang dari pengasingan pada tahun 1919, ia pun ke dalam sekolah binaan saudaranya. Tiga tahun setelahnya, ia pun resmi mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa di tanah kelahirannya. Ia pun juga mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dan menghilangkan gelar raden yang ia sandang. Semua itu dilakukan supaya ia lebih dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun jiwa.

Sekolah yang ia dirikan memiliki semboyan yang terkenal hingga sekarang, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan").

Baca juga: Perjuangan R.A Kartini, Kisah Sejarah Sang Pemantik Emansipasi Wanita

Buah Pemikiran Ki Hajar Dewantara

Buah Pemikiran Ki Hajar Dewantara
info gambar

Selain sebagai slogan, ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani juga konsep pemikiran Ki Hajar Dewantara soal pendidikan. Jika dibedah satu per satu, setiap bagian pada slogan tersebut memiliki visi pendidikan yang mendalam.

Untuk lebih jelasnya, simak arti pendidikan karakter menurut Ki Hajar Dewantara berikut ini!

1. Ing Ngarsa Sung Tuladha (Di Depan Memberi Contoh)

Lewat bagian slogan ini, Ki Hajar Dewantara meminta para pendidik bisa memberi langsung kepada murid-muridnya. Untuk itu, setiap pendidik harus memiliki sikap yang baik supaya bisa memberikan contoh yang baik pula.

Hal ini sesuai dengan isi dari salah satu undang-undang yang mengatur empat kompetensi seorang pendidik, yaitu kompetensi kepribadian. Kompetensi kepribadian sendiri adalah kemampuan seorang pendidik yang mencerminkan kepribadian yang stabil, mantap, dewasa, berwibawa, dan bisa menjadi teladan.

2. Ing Madya Mangun Karsa (Di Tengah Memberi Semangat)

Maksud dari bagian slogan ini adalah setiap pendidik harus terlibat dalam setiap pembelajaran yang dilakukan supaya setiap siswa bisa diajak bekerja sama untuk meraih tujuan yang diinginkan. Hal ini relevan dengan isi Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen yang menyebutkan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik. Suatu potensi yang menuntut pendidik mampu mengembangkan peserta didik dan memfasilitasi mereka untuk memiliki kepribadian baik secara akademik maupun non akademik.

3. Tut Wuri Handayani (Di Belakang Memberi Dorongan)

Ini adalah bagian slogan Ki Hajar Dewantara yang paling populer. Bagian slogan ini mengajak setiap pendidik untuk bisa memberikan dorongan moral atau motivasi dari belakang supaya peserta didik jauh lebih semangat belajar.

Pemberian dorongan moral harus dilakukan pendidik tanpa melihat latar belakang keluarga atau status sosial peserta didik. Tak hanya itu, pendidik juga harus mampu berkomunikasi dengan para peserta didik baik secara lisan maupun tulisan.

Baca juga: Sejarah Indische Partij, Organisasi Pergerakan Pertama untuk Melawan Belanda

Akhir Hidup Ki Hajar Dewantara

Akhir Hidup Ki Hajar Dewantara
info gambar

Ki Hajar Dewantara menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 26 April 1959 di Padepokan Ki Hajar Dewantara, Yogyakarta. Jenazahnya disimpan terlebih dulu di Pendopo Agung Taman Siswa, lalu kemudian dimakamkan ke Taman Wijaya Brata pada 29 April 1959. Proses pemakamannya sendiri dipimpin langsung oleh Soeharto selaku inspektur upacara.

Baca juga: Biografi HOS Tjokroaminoto, Guru Bangsa yang Bergelar Raja Jawa Tanpa Mahkota



Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara

https://www.gramedia.com/best-seller/biografi-ki-hajar-dewantara/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Anggie Warsito lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Anggie Warsito. Artikel ini dilengkapi fitur Wikipedia Preview, kerjasama Wikimedia Foundation dan Good News From Indonesia.

AW
RP
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini