Melihat Teknik Kerajaan Majapahit untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan

Melihat Teknik Kerajaan Majapahit untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan
info gambar utama

Masyarakat Indonesia pada zaman modern ini sering mendapatkan masalah kekeringan dan juga banjir. Sementara itu, pada masa Majapahit di abad 13 hingga 15 Masehi, air bukanlah sebuah masalah.

Dinukil dari Kompas, Kerajaan Majapahit telah memiliki manajemen dan teknologi pengairan yang dipikirkan secara matang untuk kepentingan rakyat. Dari masa Majapahit ini masih banyak instalasi pengairan yang tersisa.

Instalasi pengairan ini sebagian masih digunakan masyarakat sebagai jaringan irigasi yang tidak pernah kering, seperti terowongan air bawah tanah di Dukuh Surowono, Desa Canggu, Kecamatan pare, Kabupaten Kediri.

Candi Cetho: Peninggalan Majapahit yang Dibangun di Atas Awan

“Di Trowulan, teknologi pengairan Majapahit yang tersisa terdiri atas jaringan kanal, kolam penampung air, waduk, bak kontrol, dan saluran air bawah tanah,” tulis Nuna Susilo dan Runik Sri Astuti dalam Tanah Air: Instalasi Air untuk Rakyat Majapahit.

Dari foto udara Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional mulai tahun 1973 sampai tahun 1980-an, menunjukkan keberadaan jaringan kanal di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.

Jalur kanal yang lurus ini memanjang 4,5 - 5,5 kilometer dan bersilangan membentuk kisi-kisi. Lebarnya tidak kurang dari 20 meter, bahkan ketika dipetakan terakhir 40-80 meter dan kedalamannya 6-9 meter.

Infrastruktur Majapahit

Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia, Prof Mundardjito menyebut jaringan kanal yang lurus dengan pola berkisi-kisi menunjukkan adanya kekuatan penguasa dan massa yang besar untuk membuatnya.

“Fungsinya diperkirakan sebagai pengendali banjir atau drainase kota, penyedia air, irigasi, dan transportasi,” paparnya.

Dia menjelaskan selain kanal, di sekitar Trowulan juga bisa dilihat adanya sisa instalasi pengairan yang mendukung kehidupan kerajaan dan masyarakat. Misalnya kolam Segaran dengan luas 6,5 hektare sebagai penampung air.

Mengenal Faedah Buah Maja yang Menginspirasi Nama Kerajaan Majapahit

Ada juga waduk-waduk, seperti Balong Bunder dan Balong Dowo yang masih tersisa, diduga tempat itu berfungsi sebagai penangkap air dari berbagai sumber di gunung-gunung di selatan Trowulan.

Selain itu, ada juga sebuah kolam penampung berukuran 1-2 hektare yang masih bisa dilihat di Dukuh Botokpalun, Desa Temon, Kecamatan Trowulan. Bagian tangkis waduk ini lebih lebar daripada pematang sawah biasa, sekitar 1 meter.

“Warga setempat menyebutnya waduk milik Dinas Pengairan Mojokerto dan kini dikelola desa sebagai sawah yang disewakan,” ucapnya

Demi kesejahteraan rakyat

Candi Tikus juga diyakini sebagai pengukur debit air pada zaman Majapahit. Ketika air berlebih, saluran-saluran air bawah tanah akan menyalurkan ke sungai-sungai yang ada di sekitar Trowulan.

Pada tahun 1989-1990, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga menemukan bangunan dari susunan batu bata yang tampak seperti bak kontrol di sekitar Dukuh Blendren, Desa Watusumpek, Kecamatan Trowulan.

Saluran air bawah tanah dan sumur, baik berbentuk segi empat, bulat, maupun tipe jobong masih bisa ditemukan di Trowulan kendati mulai rusak atau hilang. Selain itu saluran air juga masih bisa dilihat di Desa Nglinguk.

Artefak Celengan: Bukti Tradisi Menabung Masyarakat Indonesia Sejak Zaman Majapahit

Di Nglinguk, saluran air bawah tanah seperti selokan kecil yang disusun dari bata. Sementara bagian atas (penutup) saluran bawah tanah sudah hilang, sehingga sekilas tampak seperti selokan kuno.

“Peninggalan ini menunjukkan apa yang dibuat Kerajaan Majapahit untuk rakyatnya,” papar ahli topografi Bambang Siswoyo.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini