Prasasti Cunggrang, Sima, dan Kutukan yang Menyertainya

Prasasti Cunggrang, Sima, dan Kutukan yang Menyertainya
info gambar utama

Prasasti Cunggrang terletak di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan. Prasasti ini memiliki keterkaitan dengan kerajaan Mataram Kuno. Prasasti ini dikeluarkan oleh Mpu Sindok yang menjabat sebagai raja pada kala itu.

Maksud dikeluarkannya prasasti ini ialah untuk penetapan sebuah sima bagi Pawitra (Gunung Penanggungan), serta persembahan bagi Patapan, Prasada Silunglung, dan Tirtha Pancuran. Maka dari itu, prasasti ini sebagai tempat yang harus dirawat oleh penduduk sekitarnya.

Dimulai pada tahun 929 M terhitung saat Mpu Sindok mulai memerintah, telah banyak mengeluarkan prasasti, terhitung sebanyak 30 prasasti sampai tahun 948 M.

Prasasti-prasasti tersebut yang mayoritas isinya mengenai penetapan sima atas bangunan suci. Salah satunya ialah prasasti Cunggrang. Prasasti ini dikeluarkan tahun 851 Caka atau tahun 929 Masehi dengan menggunakan aksara jawa kuno.

Mengungkap Isi Prasasti Ampeldento dan Sosok Mahapatih Bernama Mpu Glen
Prasasti Cunggrang
info gambar

Hal ini dijelaskan sebagaimana dalam prasasti Cunggrang pada baris pertama tentang penanggalan dibuatnya prasasti tersebut. Pada baris keduanya menjelaskan sebuah tokoh bernama Sri Maharaja Rake Hino Mpu Siṇḍok dan Sri Isana Wikrama Dharmmottuṅga sebagai raja yang mengeluarkan prasasti tersebut.

Pada baris lain terdapat juga sebuah tokoh bernama Samgat Momahumah yang diterangkan sebagai pejabat kerajaan atau juga Mpu Padma.

Lalu, Samgat Anggehan untuk memberikan sima pada tiga tempat di Cunggrang yang masuk pada wilayah watek Bawang, yang pada saat itu memiliki pejabat bernama Wahuta Wungkal.

Tiga tempat sima yang dijelaskan pada prasasti tersebut ialah Darmma Patapan, Prasada Silunglung, dan Tirtha Pancuran milik Rakryan Bawang yang telah diperdewakan. Nama Rakryan Bawang sendiri merujuk pada nama raja Dyah Wawa.

Pada baris yang sama dilanjutkan dengan nama Dyah Kebi yaitu putri dari Dyah Wawa istri dari Mpu Sindok. Jadi penetapan sima pada tiga tempat itu ditujukan sebagai persembahan pada yang telah diperdewakan yaitu Rakryan Bawang atau Dyah Wawa.

Jadi itulah alasan diberikannya sima terhadap tiga tempat yang telah dianggap suci sebagai peninggalan dari raja sebelumnya oleh Mpu Sindok. Untuk tempat pertama yang diberi sima ialah tirtha pancuran.

Tempat ini digunakan sebagai tempat bersuci untuk sebelum memasuki tempat pertapaan yaitu Dharma Asrama Patapan. Sedangkan, Prasada Silunglung ini diperkirakan sebagai tempat pendarmaan Rakryan Bawang ayahanda dari Dyah Kebi yaitu Dyah Wawa.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa Mpu Sindok memerintahkan langsung melewati Wahuta Wungkal untuk menjadikan sima bagi pertapaan di Pawitra, memelihara pertapaan, dan Tirtha Pancuran.

Prasasti Talang Tuo: Peran Raja Sriwijaya Ciptakan Kemakmuran dengan Lindungi Alam
Prasasti Cunggrang
info gambar

Dalam prasasti Cunggrang juga dijelaskan, bahwa desa Cunggrang setelah ditetapkan menjadi sima tidak boleh dimasuki oleh segala jenis petugas pajak. Hal itu dikarenakan dalam prasasti bahwa barangsiapa yang melanggar sima di daerah itu akan mendapatkan kutukan.

Maka bisa digambarkan bahwa pada saat ditetapkannya desa Cunggrang, sudah bebas dari segala bentuk pajak. Dijelaskan juga dalam prasasti, pejabat yang tidak diperbolehkan masuk dan menarik pajak di desa Cunggrang. Hal ini dapat dikatakan bahwa desa Cuggrang bisa disebut sebagai daerah otonom.

Sedangkan pada bagian lain dari prasasti ini, terdapat bagian berisi kutukan atau sukhadhuka jikalau ada yang melanggar, merusaknya atau berbuat jahat dalam daerah sima di desa Cunggrang.

Lalu, prasasti ini menyebutkan tentang cara menetapkan jenis hukuman yang akan dijatuhkan bagi siapapun yang melanggarnya.

Lalu, prasasti ini juag menyelaskan hasil dari pembagian pajak dari sima dalam tiga pembagian. Pertama, guna untuk (saduman) Bhatara, bagian lain untuk sang pemelihara (sanakmitan) dan satu bagian lagi untuk petugas pemungut pajak (Sang Mangilala Drawya Haji).

Pada bagian akhir, juga disebutkan batas-batas dari kena pajak yaitu perumpamaanya 40 kerbau, 80 kambing, bebek satu kandang, dan pedati tiga tangkil sebagai batasan kena pajak.

Mengenal Airlangga Lewat Prasasti Pucangan: Seorang Raja Pembaharu Jawa

Referensi:

Krom,N.J. 1916. Oud-Javaancshe Oorkonden. Batavia: Albert & Co.

Widiah Sri. 2018. Studi Historis Prasasti Cunggrang Sebagai Sumber Sejarah Pada Masa Mpu Sindok Tahun 929-947 M. e-Journal Pendidikan Sejarah. Volume 6 No 1.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

JB
KO
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini