Pelestarian Pohon Masoi Demi Kemandirian Ekonomi Masyarakat Fakfak

Pelestarian Pohon Masoi Demi Kemandirian Ekonomi Masyarakat Fakfak
info gambar utama

Pohon masoi telah dikenal sebagai tanaman dengan kulit kayunya yang beraroma wangi khas. Biasanya tanaman ini akan diolah sebagai minyak asiri. Namun di daerah asalnya Fakfak, Papua, masoi belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Mercy Kabes, setiap harinya berjalan santai dari rumahnya sekitar 100 meter menuju ke kebunnya di Kampung Wurkendik, Distrik Fakfak Barat, Fakfak, Papua Barat. Dirinya hanya membekali diri dengan golok di tangan kanannya.

Pohon Daluang: Penghasil Kertas Kelas Dunia yang Bawa Kesejahteraan

Jalan ke kebunnya tak begitu rumit, letaknya berada di pinggir jalan utama kampung. Sesampai di kebunnya, Mecry mengamat-ngamati sekumpulan pohon yang telah dia jaga bertahun-tahun lamanya. Dia pun menemukan pohon yang dicari.

“Masoi ini, kalau yang belum buah dan belum bunga, (batangnya) bisa dibelah dikuliti. Kulitnya lebih mudah lepas,” ujar Mercy yang dimuat Kompas.

Budidaya masoi

Tidak banyak pohon masoi di kebun Mercy, hanya ada sekitar lima pohon dengan tinggi rata-rata 10 meter dan diameter batang 18-20 sentimeter. Dua pohon di antaranya belum berbuah dan berbunga.

Walau begitu, Mercy merupakan satu dari sedikit masyarakat lokal yang masih menanam bibit dan mengupas kulit masoi. Ada beberapa alasan mengapa budaya dan pengolahan masoi kurang digemari masyarakat.

Pertama ada kepercayaan bahwa mengupas kulit masoi di musim yang salah bisa membuat tangan melepuh. Kedua pembudidayaan masoi membutuhkan waktu setidaknya 15-20 tahun dari proses menanam bibit hingga nantinya tanaman masoi bisa produktif.

Dari 20 Spesies Pinus yang Ada di Dunia, 1 di Antaranya Endemik dari Indonesia

Alasan lainnya adalah lahan di Fakfak sudah penuh dengan tanaman pala. Mercy perlu menjelajah hutan sejauh 1 kilometer baru bisa menemukan sebatang pohon masoi di antara deretan pohon pala.

“Masyarakat mengambil begitu saja kulitnya kalau sudah kepepet ekonomi. Kalau tidak kepepet, jarang ada yang ambil,” ujarnya.

Bernilai ekonomi tinggi

Pengambilan kulit kayu masoi, seperti yang dilakukan Mercy merupakan hal turun-temurun dari petani lokal di Papua. Agar mempermudah pengambilan kulit kayu, mereka biasanya sekaligus menebang pohonnya.

Ternyata eksploitasi terhadap masoi sudah terjadi sejak 1980-an. Saat itu, Papua menjadi pemasok minyak masoi terbesar dari Indonesia. Westphal dan Jensen mengungkapkan pada abad ke 17, sekitar 200 pohon masoi harus ditebang untuk satu muatan kapal.

“Hal ini menyebabkan kelangkaan pohon saat ini. Ekstraksi yang tinggi menjadikan populasi masoi semakin tertekan,” tulis mereka dalam Plant Resources of South-East Asia.

Palahlar, Pohon Endemik Nusakambangan dengan Kayu Berkualitas

Tentunya penting untuk terus menjaga kelestarian masoi karena memiliki prospek ekonomi yang sangat menjanjikan. Di pasar dalam negeri, minyak masoi dijual dengan harga Rp121.000 per 10 mililiter.

Hal ini bisa melambung tinggi bila sampai ke pasar dunia. Untuk ukuran yang sama, per 10 mililiter harga jual minyak masoi bisa mencapai Rp657.000. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim yang bila ditotal bisa mencapai Rp1,3 juta.

Selama ini, minyak masoi diekspor ke Eropa, Amerika, Jepang, India, dan China. Kemudian perusahaan-perusahaan luar negeri memanfaatkan minyak itu sebagai bahan baku industri kosmetik dan obat-obatan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini