Fenomena Pernikahan Dini dan Konsekuensi Kesehatan Mental, Inilah Solusinya

Fenomena Pernikahan Dini dan Konsekuensi Kesehatan Mental, Inilah Solusinya
info gambar utama

Masalah pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Berdasarkan data UNICEF per akhir tahun 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus.

Selain itu, menurut data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini di sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya.

Hingga tahun 2022, perempuan dibawah usia 16 tahun menjadi yang paling banyak terdampak dari kasus ini, yaitu sebanyak 14,15%.

Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19, didorong oleh faktor-faktor seperti naiknya angka putus sekolah, kondisi ekonomi keluarga yang menurun, kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat, serta pengaruh teman-teman sejawat yang menikah dini.

Hubungan Pernikahan Dini Dengan Timbulnya Stunting

Dampak bagi kesehatan mental

Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada tahun 2019, yang menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Danusha Jayawardana, Research Fellow Monash University, mengungkap bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.

Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.

Lebih lanjut, studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.

Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial. Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan.

Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Penanggulangan Terhadap Maraknya Kasus Pernikahan Dini Kepada Seluruh Anak di Indonesia

Lalu, bagaimana solusinya?

Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan. Apalagi ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.

“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia,” kata Danusha Jayawardana.

Pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.

Tentunya, hal ini memerlukan dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi. Berbagai hal tersebut menjadu suatu hal yang penting. Sehingga, paling tidak faktor tersebut dapat menjadi patokan dalam memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka tetap terpantau dan stabil dalam praktik pernikahan usia dini.

“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," jelas Danusha Jayawardana.

Sebagai institusi edukasi terkemuka untuk kriminologi, hukum kesehatan dan lingkungan & kebijakan publik, Migrasi Manusia, dan Studi Feminisme dan Wanita, hal ini menjadi salah satu fokus studi dari Monash University.

Harapannya, semakin banyak pula minat para mahasiswa atau peneliti untuk mempelajari bagaimana mengatasi masalah sistematis, mendorong kebijakan publik, dan bagaimana memperjuangkan keadilan sosial, seperti halnya dampak dari kasus pernikahan dini ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini