Buku, Kelas, dan Masyarakat: Satu Potong Pembicaraan bersama Pak RT Semalam

Buku, Kelas, dan Masyarakat: Satu Potong Pembicaraan bersama Pak RT Semalam
info gambar utama

"Kenapa aku bisa tidak terpikir tentang itu, ya?" pikirku saat kami selesai berbicara santai dengan Pak RT di desa Awu-Awu, kecamatan Ngombol, Purworejo, tepat malam kelima sejak kami menginjakkan kaki di desa ini.

Sekira pukul delapan malam, kami bermaksud untuk berkenalan dengan Ketua RT tempat kami tinggal. Selain berjanji bertemu dengan beliau, sebenarnya kami telah bertemu dengan beberapa pihak, di antaranya Takmir Masjid, Perangkat Desa, dan Kepala Sekolah untuk berkenalan dan izin mengadakan suatu program yang sesuai dengan kebutuhan. Saat keberangkatan.

Aku yakin bahwa teman yang lain terbayang pertemuan tersebut berlangsung sekira sepuluh menit saja. Bukan karena kami meragukan kecakapan dan pengetahuan beliau mengenai permasalahan di wilayahnya, melainkan karena kami memang hanya bermaksud untuk "kula nuwun" terlebih dulu pada malam itu. Selain itu, tentu saja kami coba memahami bahwa beliau sudah bekerja seharian di sawah, sehingga malam hari adalah waktu yang tentu dinantinya untuk dapat beristirahat.

Tim Mobil Listrik Arjuna UGM Raih 4 Penghargaan di Kompetisi Rancang Mobil Listrik Formula Internasional

Sesaat kami baru saja tiba, ternyata beliau, istrinya, dan salah satu tetangga lainnya telah menunggu kedatangan kami dengan teh hangat dan beberapa camilan. Selagi menikmati hangatnya teh dan gurihnya keripik, satu per satu dari kami "kula nuwun", berkenalan, dan mulai bertanya terkait kegiatan dan kondisi di RT tersebut.

Pertanyaan terus mengalir hingga bunyi derasnya hujan datang terdengar. Bagaimana tidak mengalir, suasana yang nyaman serta jawaban yang jujur cukup jadi alasan kami betah duduk berlama-lama. Mendengar suara hujan, spontan saya mengucap pamit untuk pulang agar pertemuan kami tidak terlampau malam. Benar saja, Beliau dengan santai meminta kami untuk tetap tinggal, mengkhawatirkan kami sakit bila harus melewati derasnya hujan malam itu.

Seperti malam hari lainnya, semakin malam, semakin terbuka pembicaraan, semakin cair pembahasan. Secara tiba-tiba beliau menanyakan "Siapa di sini yang anak hukum?", dengan ragu-ragu aku menjawab, "Saya pak". Jujur saja, ketika mendapat pertanyaan itu, aku membayangkan akan mendapatkan rekomendasi program yang kompleks atas suatu permasalahan struktural di desa. Rasanya, imajinasi ini berkelindan dengan pembacaanku atas buku dan pembelajaran di kelas, suguhan persoalan doktrinal yang "berat" menjadi makanan mewah dan mahal bagi mahasiswa.

Tidak lama dari jawabku, beliau menceritakan beberapa kejadian yang jarang kudengar, beberapa persoalan sederhana yang juga memerlukan penjelasan sederhana. Beliau mulai bercerita tentang persoalan kepemilikan tanaman antara warga yang rumahnya saling berhimpitan.

Bagian tanaman yang menjulang di luar batas pekarangan menjadi awal mula persoalan. Selain itu, beliau juga bercerita bahwa sekali waktu ada sesorang pengendara motor kecelakaan karena menabrak ayam di jalan, tetapi pemilik ayam yang justru dianggap benar dan berhak menuntut ganti kerugian. Hal ini yang mendorongnya untuk memintaku memberikan sosialisasi tentang pertanggungjawaban hukum atas tanaman dan ternak.

Selagi menyimak tutur kata beliau, aku tertegun dan mulai mempertanyakan. Mengapa beliau begitu mahir mengidentifikasi adanya suatu permasalahan hukum? Mengapa buku dan kelas yang kubaca tidak cukup mendorongku "membaca" persoalan ini pada awal kedatangan?

Banyak yang Tak Tahu, 10 Tokoh Nasional ini Ternyata Lulusan UGM

Agaknya, mulanya aku masih merasa pongah, merasa sudah cukup mengerti pengaturan mengenai kelembagaan desa, tetapi pengetahuan ternyata tidak berhenti pada soal kelembagaan. Persoalan hukum, khususnya pada tataran desa, bisa terdapat beragam variasi persoalan, serta mungkin saja juga memerlukan variasi pendekatan. Beberapa program yang mulanya berlandaskan penilaianku pribadi akhirnya coba kukesampingkan dengan masukan yang kuterima dari beliau.

Siapa sangka, aku yang mulanya berencana menelurkan beberapa proker makro, justru bukan hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat. Sebaliknya, persoalan empiris justru dapat "dibaca" tidak jauh dari tempat kami bangun dari tidur, yaitu tanaman dan hewan di pekarangan rumah.

Sayangnya, meskipun sama-sama melihat dua hal itu, aku dan Beliau memiliki kemahiran yang berbeda dalam membaca masalah. Beliau mengalami, mendengar, dan menyelesaikan isu-isu yang dialami masyarakat, sedangkan Aku masih membaca dan mendengar tulisan dan pelajaran yang kuterima di perpustakaan dan ruang kelas. Agaknya aku menjadi mengerti, tujuh pekanku di desa Awu-Awu ini merupakan ajang praktik laboratorium sosialku, tempat kami menggunakan buku dan kelas sebagai alat dalam membaca konteks yang sejatinya terjadi di masyarakat.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KN
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini