Carita Rumah Tangga Jeung Teteh, Fenomena Pernikahan Dini di Dataran Tinggi Tanah Sunda

Carita Rumah Tangga Jeung Teteh, Fenomena Pernikahan Dini di Dataran Tinggi Tanah Sunda
info gambar utama

Mimiti carita antara tiisna dataran luhur tanah Sunda, Desa Sukaluyu, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pangalengan, kebun teh, udara dingin, dan ramahnya budaya sunda adalah bukti nyata indahnya harmonisasi entitas budaya dan keindahan alam.

Dikenal sebagai kawasan wisata, Kecamatan Pangalengan menyimpan banyak cerita membahagiakan, mulai dari pribumi lokal yang meniti hidupnya diantara bentang perkebunan hingga wisatawan dengan cerita berliburnya yang mengenang. Endah pisan, tanah sunda dan segala hal tentangnya, terlalu indah untuk sekedar dinikmati dalam sekelebat perjalanan.

Berkenalan dengan Kecamatan Pangalengan selama kurang lebih 7 hari, waktu yang terbilang cukup singkat untuk mengungkap sisi lain dari gemerlapnya Kawasan Wisata Pangalengan. Di balik ramahnya pribumi ketika menyapa, ternyata ada kisah menarik yang ingin dibagikan. Sebut saja namanya Teh Eem, gadis belia yang belum genap berusia 17 tahun itu, terlihat sumringah melangkahkan kaki menembus tebalnya kabut di pagi hari.

Ada seorang bayi mungil yang terlelap dalam dekapannya. Usia bayi itu genap delapan bulan. Teh Eem bersama bayinya , menuju rumah posyandu sederhana yang ada di hadapannya. Menimbang berat badan bayi dengan timbangan dacin seadanya, mengukur panjang bayi dengan papan kayu yang sudah mulai oyak, belajar bersama Bu Bidan tentang cara menjadi ibu yang hebat.

Buku, Kelas, dan Masyarakat: Satu Potong Pembicaraan bersama Pak RT Semalam.

Bagi Kawan GNFI, kisah The Eem mungkin menarik dan terkesan berbeda. Mengingat usianya yang terlalu belia untuk menjadi seorang ibu. Namun bagi masyarakat setempat, fenomena pernikahan dini bukanlah fakta baru. Melainkan kultur yang telah tumbuh dan mengakar sejak lama. Bahkan, data penelitian terkini mencatat 113 pengantin perempuan dengan usia di bawah 19 tahun serta 316 pengantin perempuan dengan rentang usia 19-21 tahun [1] di kecamatan pangalengan.

Banyak faktor yang menjadi alasan dibalik menjamurnya fenomena pernikahan dini di Kecamatan Pangalengan. Kontur geografis pangalengan yang tak beraturan menjadikan jarak antarbangunan dan antarwilayah tergolong jauh. Butuh waktu yang cukup lama bagi masyarakat Pangalengan untuk sekedar mengakses bangku pendidikan serta fasilitas kesehatan.

Setiap harinya, jarak sepanjang belasan kilometer harus ditempuh untuk melanjutkan bangku SMA. Mayoritas masyarakat desa tidak memiliki kendaraan pribadi, jika pun ada, kendaraan tersebut digunakan untuk keperluan bekerja atau berkebun di pagi hari. Butuh hampir 2 jam berjalan kaki untuk pergi ke sekolah menengah atas terdekat. Angkutan umum jarang ditemukan. Selain itu, ongkos ojek terlalu mahal untuk dijangkau masyarakat desa yang penghasilan hariannya masih dibawah uang kertas rupiah berwarna hijau.

Pendidikan mayoritas yang hanya setara SD / SMP sederajat ditambah dengan rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat setempat, menjadikan mayoritas perempuan usia produktif di Pangalengan memilih menikah selepas tamat sekolah tanpa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dan layak. Pilihan tersebut tentu bukanlah pilihan yang terbaik. Gangguan kesehatan mental ibu, ketidakstabilan ekonomi, risiko stunting, hingga terbentuknya rumah tangga prematur menjadi konsekuensi dibalik keputusan pernikahan dini.

Berbagai kebijakan telah diinisiasi dalam mengatasi akar masalah pernikahan dini di Kecamatan Pangalengan. Mulai dari pembentukan POS KB, edukasi psikologis dan kesehatan, hingga berbagai kegiatan penyuluhan terkait. Angka pernikahan dini perlahan membaik, diikuti meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya derajat pendidikan dan kesehatan perempuan, menumbuhkan harapan kecil membaiknya sudut pandang fenomena pernikahan dini masyarakat pangalengan di hari mendatang.

Di balik fakta ironi tersebut, kisah Teh Eem menggambarkan inspiratifnya semangat para ibu muda di Dataran Tinggi Pangalengan dalam memberikan didikan dan asuhan terbaik bagi anak yang begitu disayanginya. Kisah Teh Eem menunjukkan kasih sayang seorang ibu yang nyatanya tidak memiliki batas materi, ilmu, waktu, maupun jarak. Ternyata, kasih sayang ibu sepanjang masa itu bukan sekadar pepatah belaka, ya?

Gunung Arjuna, Menjulang Tinggi Lambang Kerendahan Hati

Daftar Pustaka:

Bari, A.M., 2022. DAMPAK PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR TERHADAP KEMATANGAN PSIKOLOGIS PELAKUNYA (Studi Kasus Pernikahan Di Bawah Umur di Desa Margamulya Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung) (Doctoral dissertation, S1 Hukum Keluarga IAIN Syekh Nurjati Cirebon).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini