Sinergi Wujudkan Sumber Energi Bersih Jadi Kunci untuk Dekarbonisasi Industri

Sinergi Wujudkan Sumber Energi Bersih Jadi Kunci untuk Dekarbonisasi Industri
info gambar utama

Saat ini, sekitar 15-20% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) nasional berasal dari sektor industri. Dalam hal sumber emisi, sebanyak 60% berasal dari penggunaan energi, 25% berasal dari limbah industri, dan 15% berasal dari Proses Industri dan Penggunaan Produk (IPPU).

Dalam menghadapi tantangan ini, Kementerian Perindustrian telah memfokuskan upayanya pada strategi dekarbonisasi di sektor industri. Pendekatan ini melibatkan kolaborasi erat dengan berbagai pihak terkait yang terlibat dalam industri. Dengan demikian, upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, tetapi juga melibatkan kontribusi aktif dari para pemangku kepentingan di dalam industri tersebut.

“Salah satu langkah untuk mempercepat target Net Zero Emissions (NZE) adalah dengan meminimalkan komponen limbah industri dan IPPU di industri,” kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Jumat (13/10) dikutip dari keterangan resmi.

Sementara itu, upaya untuk mengurangi emisi, terutama dari penggunaan energi, akan terus ditingkatkan dengan meningkatkan kerjasama antara lembaga dan pemangku kepentingan yang memainkan peran penting dalam penyediaan sumber energi bersih.

Secara umum, strategi dekarbonisasi di sektor industri melibatkan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan dengan konsumsi energi yang lebih efisien dan emisi yang rendah. Ini juga melibatkan peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT), efisiensi dalam penggunaan energi, air, dan bahan baku, serta manajemen limbah dan praktik ekonomi sirkular.

Upaya ini mencerminkan komitmen untuk meminimalkan dampak lingkungan industri, sambil mempromosikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

“Kami juga mendorong sektor industri untuk lebih proaktif, sehingga pencapaian target NZE di sektor industri harus bisa tercapai pada tahun 2050, atau 10 tahun lebih cepat dari target NZE nasional pada tahun 2060,” pungkasnya.

Indonesia Punya Potensi Besar dalam Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Dekarbonisasi

Menekan emisi

Menurut laporan Polestar dan Rivian Pathway Report tahun 2023, Menteri Perindustrian memberikan perbandingan penting mengenai emisi kendaraan di Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik.

Berdasarkan studi tersebut, selama siklus hidupnya, kendaraan listrik menghasilkan emisi yang lebih rendah, hanya sekitar 39 ton karbon dioksida setara (tCO2e). Dibandingkan dengan kendaraan listrik hybrid (HEV) yang mencapai 47 tCO2e, dan kendaraan konvensional atau mesin pembakaran dalam (ICE) yang mencapai 55 tCO2e.

Emisi siklus hidup ini mencakup total gas rumah kaca dan partikel yang dikeluarkan selama kendaraan tersebut diproduksi, digunakan, hingga dibuang (disposal).

Hasil laporan juga menyoroti faktor utama yang menyumbang tingginya emisi dari kendaraan konvensional dan kendaraan listrik hybrid, yaitu emisi gas buang saat pemakaian (tailpipe emissions), masing-masing sebesar 32 tCO2e (57%) dan 24 tCO2e (51%). Sementara itu, pada kendaraan listrik, produksi energi listrik menjadi faktor utama yang menyumbang emisi, mencapai 26 tCO2e (66,7%).

Data ini menyoroti pentingnya penggunaan kendaraan listrik sebagai langkah yang lebih ramah lingkungan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mendukung keberlanjutan lingkungan.

Jejak karbon dalam industri kendaraan elektrik (BEV) dan kendaraan hybrid juga harus dipertimbangkan, terutama terkait dengan produksi baterai. Produksi baterai untuk kendaraan listrik BEV menghasilkan sekitar 5 ton karbon dioksida setara (tCO2e), sementara kendaraan hybrid mencapai 1 tCO2e.

Produksi baterai ini melibatkan penggunaan mineral tambang dan energi yang signifikan. Namun, inovasi dan perbaikan terus berkembang dalam rantai pasok baterai dan teknologi pengemasan untuk mengurangi dampak ini.

Selama penggunaan, kendaraan listrik tidak menghasilkan emisi langsung karena menggunakan motor listrik dan baterai sebagai sumber daya penggerak. Sebaliknya, kendaraan konvensional menghasilkan emisi langsung dari pembakaran bahan bakar fosil, tergantung pada jenis dan kualitas bahan bakar yang digunakan, seperti bensin atau diesel, serta efisiensi mesinnya.

Kendaraan listrik, terutama BEV, juga memiliki keunggulan dalam pemeliharaan karena mengkonsumsi energi lebih efisien dan memiliki lebih sedikit komponen mekanis yang kompleks, seperti transmisi.Meskipun demikian, terus ada tantangan untuk mengelola dampak lingkungan dari produksi dan pemusnahan baterai, serta penanganan limbah elektronik secara umum.

Saat mencapai akhir masa pakai atau tahap deponi dan daur ulang, baik kendaraan listrik hybrid maupun kendaraan konvensional menghasilkan limbah, seperti limbah oli mesin dan komponen lainnya. Namun, perbedaan utama terletak pada pengelolaan baterai bekas kendaraan listrik BEV.

Baterai bekas dari kendaraan listrik BEV dapat didaur ulang atau dijadikan energi penyimpanan sekunder. Ini menawarkan potensi untuk mengurangi dampak lingkungan dari limbah baterai.

Penting untuk dicatat bahwa dampak emisi selama siklus hidup kendaraan sangat dipengaruhi oleh sumber energi listrik yang digunakan. Emisi kendaraan listrik akan jauh lebih rendah jika energi listrik yang digunakan untuk proses produksi dan saat mengisi baterai berasal dari sumber energi bersih dan ramah lingkungan.

Tantangan Dekarbonisasi dan Pilihan Bahan Bakar Alternatif yang Ideal



Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Muhammad Fazer Mileneo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Muhammad Fazer Mileneo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini