Harmoni Tersembunyi: Menggali Kearifan Lokal Masyarakat Sumedang Lewat Seni Tarawangsa

Harmoni Tersembunyi: Menggali Kearifan Lokal Masyarakat Sumedang Lewat Seni Tarawangsa
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Pastinya kawan GNFI telah mengetahui berbagai macam alat musik modern yang telah ada disekitar kita bukan? seperti piano, gitar dan biola. Namun, apakah kawan GNFI mengetahui jika masyarakat Jawa Barat, khususnya Sumedang memiliki alat musik tradisional yang tidak kalah merdunya dengan alat musik lain? Sumedang memang identik dengan rasa tahunya yang khas. Selain makanannya yang lezat, kota Sumedang memiliki kebudayaan yang sangat kental. Kebudayaan tersebut melekat pada setiap insan sehingga dapat melahirkan nilai-nilai di masyarakat. Seperti yang kawan ketahui, bahwa alat musik tradisional memiliki latar belakang budaya. Salah satu produk budaya yang terdapat di wilayah Sumedang adalah Tarawangsa.

Kilas Balik PKN: Bermula dari Kongres Kebudayaan Nasional, Berlanjut Hingga Kini

Apa itu Tarawangsa?

Tarawangsa merupakan singkatan dari Ta yaitu tatabuehan, Ra yaitu rakyat, Wa yaitu wali, Ng yaitu ngalalakon, Sa yaitu salapan ada juga arti yang lain Ta yaitu Takarom, Ro yaitu Rodiyah, Wa yaitu Wahdaniyah. Selain untuk mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, tarawangsa juga digunakan untuk menyebarkan agama islam.

Bersumber dari wawancara yang dilakukan oleh tim penulis dengan bapak Pupung Supena yang merupakan masyarakat asli Rancakalong dan merupakan salah satu penerus tradisi Tarawangsa mengemukakan bahwa Tarawangsa merupakan alat musik yang dapat dimainkan dengan cara digesek. Pada umumnya, alat gesek tersebut terbuat dari ekor kuda. Namun, karena zaman sekarang bahan tersebut sulit dicari. Maka dibuatlah alternatif lain dengan menggunakan senar pancing yang berukuran kecil.

Masyarakat sering menilai bahwa Tarawangsa berkaitan dengan hal-hal mistis yang menyeramkan. Namun, pada kenyataannya tidak demikian. Berdasarkan pernyataan Abah Pupung sebagai sesepuh Sanggar Tarawangsa Sunda Lugina, penciptaan alat musik Tarawangsa berhubungan dengan proses penyebaran agama Islam, sehingga tidak ada hubungannya dengan hal-hal lain.

Tarawangsa ini ada di Rancakalong pada abad ke-14 pada bulan Muharam dan Sunan Kalijaga sebagai penggagasnya didampingi Sunan Rohmat, Sunan Bonang, dan yang ada di Cirebon Sunan Gunung Jati. Diceritakan bahwa para Sunan tersebut berdiskusi untuk penyebaran agama Islam dengan kesenian sebagai media penyebarannya dan akhirnya Tarawangsa pun dipilih sebagai alat musik sebagai penunjang.

Bagaimana Musik Tarawangsa Tercipta?

Pupung Supena dan Penulis
info gambar

Sejak awal, Tarawangsa lahir dari sebuah senandung. Danding yang berada dalam hati merujuk kepada sebuah senandung, kemudian dari senandung menjadi sebuah lagu. Lagu yang diberikan kepada Dewi Sri adalah bentuk persembahan hormat dan rasa syukur ketika masa panen berlangsung dengan baik. Masa panen dianggap cukup melelahkan, terutama bila hasil panen melimpah. Oleh karena itu, masyarakat perlu mengadakan sebuah perayaan atau pagelaran.

Upayaku dalam Melestarikan Kebudayaan : Memahami dan Menghargai Warisan Budaya Kita

Pagelaran tentunya memerlukan suatu alat musik untuk memeriahkan suasana, karena itulah dibuat sebuah alat musik dari kayu atau bambu, yang disebut karinding. Sayangnya, perlu tenaga ekstra untuk meniup karinding semalaman. Untuk itu Tarawangsa hadir sebagai alat musik yang dianggap lebih sempurna. Suaranya yang merdu dan tampilan yang menarik membuat Tarawangsa menjadi sebuah ketertarikan sendiri bagi masyarakat Rancakalong. Walaupun terdapat beberapa alat musik sejenis, Tarawangsa Rancakalong tetap memiliki ciri khas dan fungsi khasnya tersendiri.

Konon katanya masyarakat Rancakalong dalam perkembangan Kerajaan Mataram Islam pernah mengalami sebuah bencana dimana hasil panen tidak maksimal dan berakhir masyarakat mencari sebuah jalan keluar untuk mendapatkan sebuah berkah. Akhirnya, terciptalah sebuah acara yang sampai sekarang disebut dengan Ngalaksa yang berisi sebuah upacara persembahan kepada Dewi Sri.

Akan tetapi, petinggi setempat menyatakan bahwa pagelaran tersebut bukanlah benar-benar ditujukan kepada Dewi Sri, melainkan kepada Allah Swt sesuai dengan syariat Islam yang sudah meluas di wilayah Rancakalong. Terdapat dua macam alat musik Tarawangsa, yaitu Jentreng Tarawangsa dan Kecapi Tarawangsa. Jentreng Tarawangsa dimainkan dengan cara digesek sementara Kecapi Tarawangsa dimainkan dengan cara dipetik. Pemain Tarawangsa berjumlah dua orang. Masing-masing memainkan Jentreng Tarawangsa dan Kecapi Tarawangsa. Selain itu, alat musik ini biasanya dimainkan diiringi dengan alat musik lain.

Pelestarian Alat Musik Tarawangsa dari Sumedang

Kesadaran masyarakat Indonesia sendiri dalam hal menjaga budaya lokal saat ini terbilang masih sangat minim. Masyarakat cenderung lebih tertarik dengan budaya asing yang lebih praktis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan alat musik Tarawangsa di era modernisasi adalah dengan Culture Experience. Hal ini tentunya sudah dilakukan oleh masyarakat Rancakalong dengan mengajarkan pada generasi mudanya untuk belajar alat musik Tarawangsa.

Selain itu, masyarakat Rancakalong sering mengikutsertakan Tarawangsa di dalam pentas-pentas atau acara-acara yang digelar di sana, dengan demikian kebudayaan lokal akan terus terjaga kelestariannya. Di daerah Rancakalong, pewarisan seni Tarawangsa sudah dilakukan kepada anak–anak bahkan sejak usia dini, tujuannya adalah untuk membuat mereka tertarik terhadap alat musik Tarawangsa. Pagelaran-pagelaran kecil ditampilkan dalam rangka pelestarian budaya, dari situ alat musik Tarawangsa terus berkembang dan mempertahankan eksistensinya.

Buruan Kaulinan, Cerita Kebudayaan dari Daerahku

Tim Penulis: Inka Purnamasari, Richita Setiawan Kartika, Siti Sarah Nurafifah, Algian Ismiraldy, Grandis Dayu Fadillah, Almas Fatin Hanan Darin.

Referensi:

Purnamasari, I. Dkk. Wawancara Pribadi dengan Pupung Supena. 29 Mei 2022.

Cahya Guntur. 2016. Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal Adat Sunda "Ngalaksa" Tarawangsa di Rancakalong Jawa Barat. Al Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 7.

https://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/tadzkiyyah/article/view/1492

Setiawan, Irvan. (2018). Tarawangsa: Kesenian Tradisional Kabupaten Sumedang dalam kebudayaan.kemdikbud.go.id https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar/tarawangsa-kesenian-tradisional-kabupaten-sumedang/ diakses pada 16 Oktober 2023.

Teguh, Irfan. (2018). Tarawangsa: Menghormati Dewi Sri sampai Hilang Kesadaran dalam tirto.id https://tirto.id/tarawangsa-menghormati-dewi-sri-sampai-hilang-kesadaran-cQcu diakses pada 16 Oktober 2023.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini