Mengenal Kesenian Dongkrek, Warisan Budaya TakBenda dari Madiun

Mengenal Kesenian Dongkrek, Warisan Budaya TakBenda dari Madiun
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Pernahkah kawan GNFI mendengar kesenian dongkrek? Jika belum, yuk kita kenalan dulu dengan seni pertunjukan yang satu ini!

Kesenian dongkrek berasal dari Desa Mejayan, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Kesenian ini muncul sekitar tahun 1910, ketika masyarakat desa Mejayan tengah menghadapi pageblug mayangkoro. Pageblung mayangkoro ini ibarat sebuah wabah penyakit, yang mana warga merasakan sakit di pagi hari dan meninggal secara tiba-tiba malam harinya, atau sebaliknya, sakit di malam hari dan meninggal esok paginya. Kematian warga yang mendadak membuat Raden Ngabei Lo Prawirodipuro, yang saat itu menjabat sebagai palang (kepala desa) Mejayan, merasa khawatir. Setelah melakukan sejumlah meditasi, Raden Ngabei Lo Prawirodipuro pun seakan mendapat wangsit, bahwa ia perlu membuat suatu ritual untuk mengusir pageblug yang diyakini akibat ulah para makhluk halus. Sehingga, lahirlah kesenian dongkrek tersebut.

Seni ritual semacam ini sebenarnya telah populer sejak tahun 1867. Zaman dahulu, ritual tersebut sering dihubungkan dengan hal-hal magis dan spritualisme. Di mana sebelum pelaksanaannya, selalu diawali dengan melakukan tirakat (puasa atau berpantang) dan proses penentuan hari baik. Pelaksanaan ritual dilakukan pada tengah malam hingga dini hari. Warga akan berdoa mengelilingi desa dengan membawa obor dan saji-sajian yang diletakkan di beberapa sudut desa, sambil tak lupa membunyikan kendang dan korek (sejenis instrumen dari kayu berbentuk persegi dengan gerigi di salah satu sisinya). Nah, nama dongkrek ini diyakini berasal dari suara yang dimunculkan oleh instrumen tersebut, "dong" dari suara kendang dan "krek" dari suara korek.

Dalam arak-arakan ini, terdapat beberapa karakter rekaan yang ditampilkan dengan memakai topeng, yakni empat buto, dua wanita paruh baya, dan seorang kakek sakti. Empat buto ini menggambarkan sosok genderuwo atau makhluk halus yang diyakini menjadi penyebab pageblug di Mejayan. Masing-masing buto memiliki warna wajah yang berbeda, merah, hitam, kuning, dan putih. Warna-warna tersebut mencerminkan watak serta keburukan mereka. Dua karakter wanita paruh baya sering disebut dengan Roro Ayu dan Roro Perot, menggambarkan warga desa yang tengah diincar oleh buto tersebut. Sementara, karakter kakek sakti menggambarkan sosok yang akan menyelamatkan desa dan warga dari gangguan para buto.

Pasang Surut Kesenian Dongkrek

Lambat laun, ritual tolak bala ini menjelma menjadi sebuah arak-arakan rutin yang dilakukan tiap tahun untuk memperingati bulan Suro (bulan pertama dalam penanggalan Jawa). Kepopuleran dongkrek sempat meredup ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) menguasai Madiun. Saat itu, dongkrek dipandang berpotensi dijadikan sebagai alat yang dikembangkan oleh partai untuk mengelabui masyarakat umum. Pelaksanaan dongkrek pun ditiadakan hingga nyaris terlupakan. Dongkrek kemudian berhasil dibangkitkan kembali sekitar tahun 1973 atas kerja sama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Madiun dengan pemerintah Jawa Timur. Hingga pada akhirnya dongkrek resmi ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda kategori seni tradisi pada tahun 2014.

Kesenian Dongkrek Kini

Kesenian Dongkrek
info gambar

Sekarang kesenian dongkrek tidak hanya menjadi arak-arakan tahunan saja, namun juga dipertontonkan di atas panggung. Instrumen pengiringnya pun menjadi kian beragam dengan adanya kenong, bedug, kentongan, dan juga gong. Beberapa paguyuban dongkrek bahkan ada yang menambahkan tembang macapat, lagu religi Islami, ataupun lagu tradisional sebagai pengiring pertunjukan. Paguyuban dongkrek di Madiun jumlahnya tidaklah banyak, kepopulerannya juga tidak sebanding jika disandingkan dengan kesenian Reog asal Ponorogo. Namun para penggiatnya cukup kreatif dengan mengajak para pelajar ikut bergabung melalui paguyuban. Hal ini selain untuk regenerasi internal paguyuban, juga sebagai langkah agar kesenian dongkrek tetap lestari dan semakin banyak masyarakat yang tahu.

Dongkrek bukanlah sekadar acara pertunjukan atau arak-arakan biasa. Lebih jauh dari itu, dongkrek merepresentasikan suatu bentuk seni yang berakar pada nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Indonesia. Kesenian dongkrek mengangkat nilai-nilai yang telah melekat pada diri masyarakat Indonesia, seperti nilai religius dan semangat gotong royong. Kesenian ini mengingatkan kita untuk selalu melibatkan Tuhan di dalam setiap usaha, serta mengajak kita untuk membangun kerja sama yang baik antar sesama manusia. Sesuai dengan pesan yang diusung dalam tema Pekan Kebudayaan Nasional tahun 2023 ini, “Merawat Bumi, Merawat Kebudayaan”, peran kita sangat diperlukan dalam menjaga dan mempromosikan kesenian tersebut. Keberlanjutan dan eksistensi warisan budaya Indonesia telah menjadi tanggung jawab bersama untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Referensi:

Saddhono, K. dan Lestari, W. D. (2019). Dongkrek: an Inslamic Literature and Artform in Madiun East Java. Jurnal Litera vol.18, no. 2, hal. 196 -210. doi: 10.21831/ltr.v18i2.26260

https://cakdurasim.com/artikel/mengenali-dongkrek-dalam-kehidupan-masyarakat-penuturnya

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailCatat=3408

https://www.youtube.com/watch?v=nPtRu4kfDJo

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DC
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini