Perahu Bidar: Menyusuri Warisan Navigasi Laut Khas Sumatera Selatan

Perahu Bidar: Menyusuri Warisan Navigasi Laut Khas Sumatera Selatan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Dalam suara gemuruh ombak yang tenang, perahu-perahu kayu indah dengan dekorasi yang mempesona meluncur melintasi air biru Sumatera Selatan. Inilah Perahu Bidar, sebuah mahakarya warisan budaya yang merangkum dalam setiap jahitan kayu dan setiap getaran ombak sejarah panjang dan kekuatan tradisi di wilayah ini.

Lomba Perahu Bidar telah menjadi salah satu peristiwa budaya yang tak terlupakan di Sumatera Selatan, menghidupkan kembali tradisi nautika kuno dan merayakan keberanian serta keterampilan yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

Sejarah Perahu Bidar

Perahu Bidar yang berasal dari Palembang ini tidak muncul begitu saja, namun ada cerita sejarah yang melatarbelakanginya. Berdasarkan cerita masyarakat Palembang, adanya legenda perihal tradisi lomba Perahu Bidar sebagai warisan budaya secara turun temurun.

Awal perlombaan Perahu Bidar, bermula dari cerita masyarakat Palembang di zaman dulu tentang legenda Putri Dayang Merindu. Ia adalah seorang putri cantik jelita yang diperebutkan oleh dua orang pria.

Menurut kisah, kedua pria tersebut mencintai Putri Dayang Merindu hingga akhirnya mereka menjadikan bidar sebagai perlombaan untuk memenangkan hati sang putri yang ditonton seluruh masyarakat pada saat itu di sungai Musi. Kedua pria itu menggunakan tenaga yang kuat untuk mencapai garis finish dalam waktu bersamaan. Hingga pada akhirnya dalam perlombaan bidar itu tidak ada yang menang, karena dua pria tersebut ditemukan tak bernyawa di bawah bidar terbalik.

Karena tidak adanya pemenang dalam lomba tersebut, Putri Dayang Merindu memilih bunuh diri dengan pisau beracun yang ditusukkan ke dadanya. Sebelum Putri Dayang Merindu bunuh diri, dirinya meminta setelah ia mati agar tubuhnya dibelah dua untuk di kuburkan bersama dua orang yang mencintainya. Dari kisah ini, pelombaan Perahu Bidar dilakukan secara turun-temurun sebagai warisan budaya leluhur masyarakat kota Palembang.

Keunikan Perahu Bidar

Masyarakat Palembang memberi nama perahu dengan sebutan Bidar, singkatan dari kata biduk lancar. Panjang perahu ini memiliki panjang 10-20 meter dengan lebar 1,5 hingga 3 meter. Perahu tradisional ini dikayuh dengan galah atau bambu.

Dahulu Perahu Bidar dinamakan pancalang (pancal yang artinya lepas dan ilang artinya menghilang). Dinamakan pancalang karena perahu ini dapat melaju dengan cepat dan menghilang, layaknya kapal patroli Kesultanan Palembang yang perlu menjaga keamanan di lebih dari 100 anak sungainya.

Pancalang juga merupakan jenis perahu yang sering digunakan masyarakat sebagai alat transportasi di Sungai Musi. Pada masa lalu, perahu ini adalah perahu penumpang yang juga dijadikan sarana untuk berdagang di sungai. Saat itu bentuknya kecil dan hanya memiliki kapasitas untuk satu orang.

Tradisi Lomba Perahu Bidar

Perlombaan Perahu Bidar di Sungai Musi | Foto: Kemenparekraf/jadesta.kemenparekraf.go.id
info gambar

Lomba perahu Bidar sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1898. Lomba ini sering disebut wong doeloe dengan sebutan kenceran. Pada saat itu lomba dibuat untuk perayaan ulang tahun Ratu Belanda, yaitu Wilhelmina.

Perlombaan ini pun tidak hanya digelar saat memperingati hari ulang tahun ratu, tapi juga pesta yang digelar para pejabat pemerintahan Belanda. Tradisi ini tetap lestari dan diadakan sebagai kebiasaan orang Palembang yang tinggal di aliran sungai Musi pada setiap perayaan penting.

Pergelaran lomba perahu Bidar eksis hingga sekarang. Masyarakat menyebut lomba ini dengan nama Kenceran atau Festival Perahu Tradisional yang biasanya diadakan saat peringatan hari jadi Kota Palembang setiap 17 Juni dan memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Perahu yang dilombakan setiap hari jadi Kota Palembang adalah perahu yang memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, dan lebar 1,2 meter. Jumlah pendayungnya 24 orang, meliputi 22 pendayung 1 tukang timba air dan uniknya memiliki 1 jurangan atau orang yang bertugas untuk bersorak menyamangati pendayung lainnya.

Perahu Bidar yang lebih besar biasanya di lombakan pada saat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Perahu ini adalah jenis tradisional memiliki panjang 29 meter, tinggi 80 cm, dan lebar 1,5 meter. Jumlah pendayungnya lebih banyak yaitu 57 orang meiputi 55 pendayung, 1 jurangan, dan 1 tukang timba air.

Kawan GNFI, kita bisa membayangkan betapa meriahnya lomba ini, dan setiap tahunnya lomba ini selalu menjadi primadona untuk disaksikan di Kota Palembang.

Pelestarian Budaya

Kawan GNFI penting sekali bagi kita untuk selalu menjaga dan melestarikan kekayaan budaya daerah kita, salah satunya menjaga tradisi lomba Perahu Bidar. Sebagai warisan budaya, tradisi lomba Perahu Bidar memiliki pesan moral yang masih sangat relevan untuk dilakukan sampai saat ini, khususnya bagi generasi muda.

Pesan moral ini senantiasa mengingatkan kita untuk mencintai budaya bangsa kita. Adanya kesadaran akan identitas diri menimbulkan rasa cinta terhadap budaya dan keinginan untuk melestarikanya sebagai warisan berharga bagi generasi yang akan datang.

Kawan GNFI bagaimana cerita kebudayaan dari daerahmu?

Referensi:

  • Elfarissyah, Andriamella ., & Gomo, Siti. 2022. Tradisi Perahu Bidar Sebagai Warisan Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat Kota Palembang. Judika (Jurnal Pendidikan UNSIKA), 10(1), 67-79.
  • Kemendikbud Ristek. 2014. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses pada: 1 Januari 2014
  • Riana, Deny. 2021. Jelajah Wisata Budaya Negeriku Provinsi Sumatera Selatan. Bandung: CV. Angkasa.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

S
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini