Mengenal Gaok, Kesenian Lokal Majalengka Berbasis Tradisi Lisan

Mengenal Gaok, Kesenian Lokal Majalengka Berbasis Tradisi Lisan
info gambar utama

#LombaIPKN2023

#PekanKebudayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbungUntukMelambung

Setiap daerah di Indonesia memiliki kebudayaan dan kesenian tersendiri, sebagai cerminan karakter daerah tersebut. Salah satu wilayah yang memiliki kebudayaan dan kesenian yang khas adalah Majalengka, Jawa Barat.

Di daerah Majalengka, terdapat banyak kesenian serta kebudayaan daerah yang hingga kini masih dapat dinikmati dan lestari, seperti Karinding, Sampyong, dan Tari Topeng Majalengka.

Namun, di tengah gemerlap kebudayaan dan kesenian di Majalengka, terdapat satu kesenian daerah yang saat ini berada di ambang kepunahan. Kesenian tersebut bernama Gaok.

Mengutip pemberitaan Republika, Aki Rukmin, seorang dalang Gaok, mengungkapkan bahwa Gaok hampir punah karena adanya pengaruh budaya asing yang secara perlahan-lahan mulai mengubur budaya lokal. Menurutnya, generasi muda Majalengka “merasa malu” dan enggan untuk mengenal dan mempelajaran Gaok.

Lalu, seperti apa kesenian Gaok yang hampir punah tersebut? Mengutip artikel Jafar Fakhrurozo yang berjudul Pemertahanan Tradisi Lisan Gaok di Desa Kulur Majalengka, Gaok merupakan sebuah tradisi lisan berupa pertunjukan membaca wawacan (cerita rakyat yang ditulis dalam bentuk pupuh).

Dalam pementasan Gaok, seorang dalang umumnya akan membacakan satu naskah wawacan secara utuh. Membaca wawacan, seperti Wawacan Rambutkasih atau Talaga Manggung, selain sebagai sarana hiburan, juga memiliki nilai praktis bagi masyarakat. Dalam wawacan, terkandung petuah atau pesan moral yang ditransmisikan oleh dalang kepada pendengarnya.

Mengingat Gaok merupakan sebuah tradisi lisan, maka kemunculannya sulit dipastikan secara historis. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Jafar Fakhrurozi dengan Lurah Wana, Gaok mulai berkembang di Majalengka pada abad ke-15 sebagai media dakwah Islam. Pada masa itu, Pangeran Muhammad dari Cirebon menyebarkan agama Islam ke Majalengka.

Pementasan Gaok dalam rangka Hibah Seni Kelola 2015 | Foto: Indonesia Kaya/indonesiakaya.com

Namun, seorang dalang Gaok bernama Aki Rukmin, mengutip Republika, menyatakan bahwa Gaok muncul dan berkembang pada abad ke-20, tepatnya sekitar dekade 1960-an. Ia mengungkapkan bahwa dirinya bergabung dengan kelompok Gaok pada 1967, ketika kesenian tradisional tersebut masih sangat digandrungi oleh masyarakat Majalengka.

Di sisi lain, mengutip skripsi Puji Rahmawati yang berjudul Kesenian Gaok di Desa Kulur Kabupaten Majalengka, disebutkan bahwa Gaok muncul pada 1947 dan dipelopori oleh Sabda Wangsahardja. Pada awal kemunculannya, Gaok dibawakan tanpa iringan alat musik. Juga, Gaok dipentaskan sebagai iringan berbagai acara ritualistik, seperti Babarit, Ngayun, dan Khitanan.

Pada 1963, Gaok mengalami perkembangan, baik dari segi jumlah pemain maupun konsep pertunjukannya. Pemain Gaok, yang awalnya berjumlah empat orang, bertambah menjadi enam orang. Pementasan Gaok pada masa itu juga sudah mulai menggunakan alat musik, seperti buyung, songsong, dan kecrek. Iringan musik digunakan hanya pada saat pembukaan dan jeda setelah membaca sebuah wawacan.

Gaok mengalami puncak kejayaan pada dekade 1990-an. Alat musik yang digunakan, yang semula hanya buyung, songsong, dan kecrek, bertambah dengan diperkenalkannya terompet, gamelan, dan tamborin. Jumlah pemain dalam satu pementasan juga bertambah menjadi tujuh hingga delapan orang.

Memasuki dekade 2000-an, sosok sinden atau seorang penyanyi perempuan, mulai ditambahkan dalam pementasan Gaok. Sinden berfungsi untuk mengisi acara saat pemain Gaok beristirahat.

Melihat perjalanan Gaok dari masa ke masa, dapat dikatakan bahwa kesenian tersebut pernah mengalami masa keemasannya. Disayangkan, saat ini, kondisi tersebut berubah 180 derajat. Hantaman arus budaya populer dari luar membuat Gaok mulai ditinggalkan. Akankah kesenian Gaok, yang menjadi karakter Majalengka, terus bertahan di tengah derasnya arus budaya asing?

Sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Terlebih, dengan adanya kenyataan bahwa generasi muda Majalengka enggan dan malu mempelajari Gaok, kesenian ini tinggal menunggu waktu. Kalaupun generasi muda masih ada yang mementaskan Gaok, itu hanya sebatas untuk keperluan penelitian dan memenuhi tugas kampus, seperti yang dituturkan Rukmin dalam SINDOnews.com.

Rukmin mengaku pernah mengajarkan kesenian Gaok kepada generasi muda Majalengka. Disayangkan, usaha kerasnya tidak membuahkan hasil. Generasi muda Majalengka tidak memiliki antusias untuk melestarikan dan mengembangkan Gaok.

Majalengka hanya bisa berharap, suatu saat, akan ada pemantik yang mampu menggelorakan generasi muda Majalengka untuk melestarikan dan mengembangkan Gaok. Tanpa pemantik tersebut, sulit untuk membayangkan masyarakat Majalengka pada masa mendatang dapat menikmati kesenian berbasis tradisi lisan yang sarat ajaran moral ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini