Literasi Kriya Tasikmalaya: Merawat Tradisi, Menjaga Warisan Budaya

Literasi Kriya Tasikmalaya: Merawat Tradisi, Menjaga Warisan Budaya
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Ketika mengikuti lokakarya Penulis Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal Tahun 2022 yang diselenggarakan oleh Pusat Analisis Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca, saya mendapat kesempatan menjadi 15 penulis terpilih dalam kompetisi tahunan yang rutin diadakan Perpustakaan Nasional. Terseleksi lebih dari 150 peserta seluruh Indonesia, saya termasuk yang beruntung karena berkesempatan mempromosikan salah satu produk kebudayaan dari daerah asal saya yaitu payung geulis sebagai produk kriya bersejarah yang menjadi ikon Tasikmalaya.

Sesuai tema yang diangkat, ke-15 penulis terpilih menulis kearifan lokal atau kebudayaan dari daerahnya masing-masing dengan berbagai genre dan gaya penulisan dalam bukunya. Misalnya, “Golok dan Bukan Golok Menurut Pande-Pengrajin-Bandar Banten (Arif Senjaya, Serang), “Dian Linggau, Dari Belalau Hingga Milan” (Benny Arnas, Lubuklinggau), “Catatan Harian Kardinah” (Asri Miminingtys, Salatiga), “Hedongka: Tradisi Masyarakat Wakatobi Menjaga Laut” (Febriansyah, Wakatobi), ”Singkawang: Simpul Cinta, Sejarah, dan Toleransi” (Ana Westy Martiani, Singkawang) dan lain sebagainya. Saya sendiri menulis tentang “Payung Geulis Ikon Tasikmalaya, Merawat Harapan Menjaga Warisan Budaya” (Heri Heryana, Tasikmalaya).

Berawal dari membaca kanal berita detik.com berjudul “Payung Geulis Tasikmalaya Bertahan dari Ancaman Kepunahan,” saya menemukan satu pernyataan menarik dari salah satu pengrajin payung geulis generasi ketiga bernama Sandi Mulyana. Ia mengatakan, usaha payung geulis-nya bukan sekedar bisnis mata pencaharian melainkan sebuah upaya untuk menjaga tradisi dan kelestarian payung geulis sebagai warisan orang tua dan pendahulunya. “Kalau sampai payung geulis punah, berarti logo payung yang ada di logo Pemkot Tasikmalaya harus dihapus” (Amiruddin Faizal, 2022).

Saya pun teringat Benny Arnas dalam salah satu bab bukunya menggambarkan, literasi berkaitan dengan konten lokal seringkali terjebak dalam karya-karya skripsi, tesis, ataupun jurnal ilmiah penelitian yang berakhir di gudang arsip penyimpanan. Maka dari itu, ketika mengetahui naskah-naskah buku terpilih akan disebar dan dipublikasikan melalui perpustakaan nasional hati saya merasa senang luar biasa. Payung geulis sebagai sebuah produk industri kreatif Tasikmalaya sejak tahun 1930-an bisa dibaca oleh banyak orang. Ketika riset dan proses kreatif penulisan payung geulis saya pun menemukan banyak hal tentang sejarah kriya kota saya sendiri yang selama ini tidak saya ketahui. Di zaman Hindia Belanda sebelum Indonesia merdeka, Tasikmalaya ternyata tumbuh sebagai kota perdagangan dan industri kreatif yang cukup diperhitungkan. Selain payung geulis, Tasikmalaya memiliki sejumlah produk kriya berkualitas seperti anyaman bambu, kelom geulis, anyaman mendong, topi panama, dan juga batik tulis. Karena itulah, secara kultural kehidupan masyarakat Tasikmalaya tidak bisa dilepaskan dari industri kerajinan rakyat.

Ketika memiliki kesempatan berbincang dengan salah satu sejarawan muda Tasikmalaya sekaligus founder dan juga peneliti di Soekapoera Institute, Muhajir Hasan, saya bertanya mengenai harapan dan peluang industri kerajinan rakyat Tasikmalaya di masa depan di tengah persaingan bisnis dan juga regenerasi yang kian hari makin sulit bagi para pengrajin. Poin saya waktu itu terfokus kepada batik Tasik yang pernah berjaya di Tasikmalaya di era tahun 1939 sampai tahun 1950-an. Di Tasikmalaya bahkan pernah berdiri koperasi batik terbesar di Indonesia yaitu Koperasi Mitra Batik (KMB) yang menjadi penopang kegiatan ekonomi para pengrajin dan pengusaha batik pribumi di zaman itu. Sayang, serbuan industri tekstil dan pakaian modern ternyata membuat KMB tidak mampu bertahan. Industri batik Tasik pun menyerah seiring runtuhnya kejayaan Koperasi Mitra Batik.

“Industri rakyat itu mati seiring matinya koperasi,” ungkap Muhajir. “Koperasi Mitra Batik yang menopang pengrajin batik atau Koperasi Talaga yang menopang pengusaha bordir semuanya habis,“ ujarnya lagi. Ada nada skeptis dari beberapa pernyataannya. Sebagai seorang sejarawan dan peneliti, dalam hemat saya sebagai lawan bicara, skeptisme Muhajir tentu saja mengandung kritik halus kepada pemerintah ataupun kepada masyarakat Tasik itu sendiri. Ia berbicara batik Tasik tidak hanya sebagai satu entitas produk kreatif kearifan lokal budaya Tasik, tapi dilihat dari DNA-nya Tasik sebagai sentra industri kerajinan rakyat yang memerlukan perhatian dari berbagai pihak.

Kini, setelah batik ditetapkan menjadi Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 ternyata berhasil memberikan angin segar untuk bangkitnya kembali batik Tasik setelah beberapa dekade mati suri. Pelan tapi pasti para pengrajin batik generasi kedua dan ketiga yang mewarisi usaha orang tua mereka mulai menggeliat menghidupkan kembali bisnis wastra nusantara yang dulu pernah berjaya di Tasikmalaya.

Merawat Literasi, Menjaga Warisan Budaya

“Jadi tujuan kamu apa ingin menulis ini (batik Tasik)?“ tanya Muhajir. “Saya anak muda kelahiran Tasik, lahir dan tumbuh besar di Tasik, meskipun sekarang merantau di luar kota saya berusaha tidak melupakan kota kelahiran saya,“ jawab saya mantap. Meskipun saya bukan penulis purnawaktu, tapi menulis adalah salah satu upaya atau sumbangsih kecil saya dalam menjaga tradisi maupun warisan budaya Tasikmalaya melalui literasi. Di sela-sela menjalankan tugas sebagai Aparatur Sipil Negara di sebuah Kementerian, aktivitas menulis di malam hari menjadi bagian dari aktualisasi diri saya untuk mengabarkan kebaikan melalui karya tulis yang bisa dibaca oleh banyak orang.

Setelah naskah buku saya tentang payung geulis berhasil terbit di Perpusnas Press buah dari kompetisi menulis Kajian Literasi Terapan Berbasis Konten Lokal 2022, kini saya tengah menulis tentang batik Tasik. Selanjutnya, mudah-mudahan saya bisa menulis juga tentang Kelom geulis dari daerah Tamansari, anyaman mendong dari Purbaratu, bordir Tasik di kawasan Kawalu, anyaman bambu yang terkenal di Rajapolah, atau topi panama yang berpusat di Singaparna. Hampir semua kriya Tasikmalaya tersebut eksis dan berjaya sejak zaman Hindia Belanda. Pemasarannya bahkan sudah sampai berbagai negara mancanegara.

Beragam isu regenerasi, inovasi, dan juga sulitnya kapital dan persaingan usaha di tengah industri rakyat di Tasikmalaya yang terus mencoba bertahan dalam gerusan zaman, para putra daerah dan generasi muda memiliki tanggung jawab besar untuk peran serta dalam menjaga warisan budaya daerahnya. Menulis memang bukan solusi praktis. Tapi, dengan menulis kita membantu para pengrajin, pengusaha, mengabarkan produk kreatif para pengrajin kriya kepada seluruh Indonesia bahkan dunia. Bukti bahwa mereka masih ada, masih bertahan, jatuh bangun mempertahankan jati diri dan budaya yang telah diwariskan leluhurnya. Mereka bertahan dengan resiliensi budaya kolektif yang patut kita dukung dan apresiasi kiprahnya.***

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

HH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini