MANDALIKA: Negosiasi Tradisi, Islam, Ekofeminisme dan Pariwisata

MANDALIKA: Negosiasi Tradisi, Islam,  Ekofeminisme dan Pariwisata
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Apa yang terlintas di dalam benak kawan GNFI saat mendengar kata "Mandalika"? tentu ingatan kawan GNFI akan tertuju kepada event balapan MotoGP di Sirkuit Mandalika Lombok, Nusa Tenggara Barat. Mandalika hari ini ibarat jendela bagi penduduk dunia untuk mengintip pesona wisata Indonesia. Kawasan ini dikelilingi pantai-pantai nan indah, dengan hamparan pasir putih, terumbu karang, dan garis pantai yang bergelombang. Oleh karena itu, kawasan ini begitu menawan dan memesona bagi para wisatawan manca negara. Deskripsi tersebut tentu saja merupakan representasi dari wajah Mandalika modern. Yakni sebuah kawasan ekonomi khusus yang bertumbuh dalam iklim kapitalisme pariwisata; menjadi rebutan para investor dan pemilik saham.

sumber gambar: situs kemenparkrafEkofeminisme Budaya Sasak

Kata Mandalika sebetulnya bukan sekadar cerita tentang bisnis pariwisata. Melainkan kata tersebut memiliki akar tradisi dan melekat dengan budaya Sasak. Mandalika tumbuh dan berkembang dalam wujud legenda. Syahdan, Mandalika adalah figur gadis cantik nan jelita, memilki paras sempurna, berbudi luhur dan bijaksana. Sehingga banyak laki-laki, bahkan para pangeran tertarik pada pesonanya. Menurut cerita rakyat sebagaimana dalam situs Dispar NTB, putri Mandalika akhirnya menceburkan diri ke laut untuk menghindari peperangan antar pangeran yang memperebutkan dirinya. Jasadnya kemudian hanyut dan berubah menjadi cacing cacing kecil, yang disebut "nyale". Peristiwa inilah yang menjadi ritual budaya bau nyale tradisi unik di Lombok" yang secara rutin diperingati setiap bulan februari di Lombok.

Dalam perspektif semiotika budaya, figur-figur perempuan lain juga muncul sebagai penanda feminisme budaya Sasak sebagaimana dinarasikan dalam Babad Lombok. Seperti Dewi Anjani, Dewi Rengganis, Lala Seruni, dan Dende Aminah Kalijaga. Nama-nama tersebut merupakan simbol Feminisme budaya Sasak. Bahkan dalam konteks tertentu, mengandung nilai-nilai Ekofeminisme. Dewi Anjani, misalnya, merupakan figur perempuan yang dipercaya penguasa kawasan lereng gunung Rinjani. Ini menujukkan relasi perempuan dan upaya pelestarian alam.

Lalu sosok Dewi Rengganis, dalam lontar Sasak diceritakan sebagai sosok perempuan yang memiliki relasi dengan narasi Islamisasi masnyarakat Sasak. Setidaknya cerita Rengganis mewarisi tiga nilai luhur bagi bangsa Sasak; wirame atau etika bicara, wiraga etika perilaku dan wirase yakni rasa empati dan cinta kasih terhadap sesama. Sedangkan Lala Seruni adalah figur perempuan Sasak di pesisir Timur, desa Menanga Baris. Ia menjadi legenda yang meceburkan diri di lautan Menanga Baris. Dan kemudian dikenang sebagai perempuan penjaga lautan pesisir Timur Lombok. Hal ini sangat erat dengan budaya maritim Nusantara.

Sementara itu, dalam Kupu-kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok Dende Aminah adalah sosok perempuan penting dalam narasi sejarah Sasak dalam relasinya dengan pendudukan Bali di Lombok. Alkisah, Anak Agung Gede Ngurah Karangasem bermimpi rembulan jatuh ke pangkuannya. Mimpi itu lalu ditafsirkan, bahwa raja Bali di Lombok harus mengawini seorang putri Sasak muslim yang bernama Dende Aminah. Aminah adalah putri Dea Guru dari trah kerajaan Selaparang Islam. Perkawinan Dende Aminah dengan Raja Bali, membuat ia memainkan agensinya untuk mewujudkan harmonisasi antara masyarakat muslim Sasak dengan penguasa Bali Hindu untuk mengakhiri ketengan demi ketegangan.

Jika diteropong melalui sudut pandang ekofeminisme, kisah-kisah itu menunjukkan bagaimana narasi tentang perempuan Sasak berkelindan erat dengan isu kebudayaan dan lingkungan. Perempuan Sasak memiliki tempat istimewa dalam meta-narasi dan ritual-ritual tradisi Sasak. Melalui kisah-kisah itu, sosok "Nine Sasak (perempuan Sasak) adalah simbol penjaga, penyayang dan perawat. Dalam konteks ini, narasi ekofeminisme Sasak dapat digunakan sebagai manisfesto merawat jagad dan merawat kebudayaan. Karena narasi tentang perempuan Sasak selalu lekat dengan alam dan budaya. Ekofeminisme Sasak dapat dijadikan acuan moral-budaya untuk membangun relasi subyek-subyek dengan alam. Sehingga kita tidak terjebak pada eksploitasi alam yang destruktif. Lebih dari itu, kearifan budaya lokal di Lombok yang identik dengan perempuan, harus diwujudkan dalam bentuk "ibuisme budaya Sasak" dengan karakter sebagai penjaga, pelindung, dan perawat; terhadap lingkungan dan budaya di tengah ancaman gurita pembangunan dan pariwisata.

Negosiasi Budaya, Islam dan Pariwisata

Dulu Mandalika adalah kawasan lahan kering nan luas yang tak berpenghuni. Siapa sangka Mandalika akan menjadi kawasan bisnis pariwisata kelas wahid seperti sekarang. Bahkan menjadi pusat sport tourism dunia dengan event MotoGP. Namun, jika ditelesik dari kacamata budaya Sasak. Masa depan Mandlika ternyata pernah diramal dari masa lalu yang jauh. Ramalan itu muncul dalam bentuk pitutur Sasak yang berbunyi: "Lemak Kanak, Pesisi Lauk Eakn Bih Jari Kuang Kao Bodak". Secara literlak, ungkapan itu dapat diterjemah "wahai putra putri Sasak, nanti pesisir laut selatan Lombok akan menjadi tempat berleha-lehanya bangsa kulit putih". Pun dalam pitutur lain disebutkan: "lamun wah tebukak lendang Galuh yakn loek Kao bodak betelayangan. Maknaya, "nanti kalau udah dibuka lapangan luas (maksudnya bandara), akan banyak berdatangan bangsa-bangsa kulit putih ke Lombok".

Dua pitutur itu hari ini telah menjadi kenyataan. Kawasan Mandalika telah menjadi destinasi pavorit wisatawan bangsa kulit putih (jari kuang kao bodak). Sedangkan dibangunnya Bandara Internasional Lombok (lendang galuh) telah menjadi pintu masuk bagi ramainya kunjungan para bangsa kulit putih untuk berwisata ke Lombok. Mandalika kini telah ditetapkan menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2014. Dengan luas sekitar 1.035,67 Ha, Mandalika menjadi masa depan sektor pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebab ia menawarkan wisata bahari dengan pesona pantai dan bawah laut yang memukau.

Lalu bagaimana kita melihat negosiasi budaya dan nilai-nilai Islam terhadap perkembangan industri pariwisata sebagai produk modernitas yang sekuler. Khususnya di kawasan Mandalika. Sejauh amatan penulis, seiring dengan perkembangan wisata, budaya lokal beserta berbagai ritualnya mulai mengalami revitalisasi. Dengan kata lain, sejurus dengan logika kapitalisme pariwisata, budaya lokal dan ritual adat mengalami komodifikasi sebagai atraksi budaya bagi para wisatawan.

Uniknya, Lombok sebagai daerah religius yang dikenal dengan pulau seribu masjid, masyarakat muslim dan elit agamanya. Misalnya, para Tuan Guru mampu menegosiasi identitas keislamannya dalam mendukung perkembangan pariwisata. Keberadaan ribuan pesantren yang tersebar di berbagai penjuru pulau Lombok, sama sekali tidak menujukkan sikap anti-pati terhadap pariwisata yang "sekuler". Bahkan sebagian pondok pesantren justru mengembangkan lembaga pendidikan yang berbasis pariwisata, seperti SMK Pariwsata. Di sinilah negosiasi nilai-nilai keislaman dan pariwisata bertemu dalam jalin kelindan pembanguan NTB yang gemilang.

Di sisi lain, tumbuhnya kesadaran seniman lokal, dan munculnya gerakan sanggar-sanggar budaya untuk mengimbangi pengaruh globalisasi budaya yang dihadirkan oleh para wisatawan mancanegara. Namun demikian, pemerintah harus mendukung para seniman dan komunitas-komunitas budaya setempat, agar pembangunan ekonomi melalui bidang pariwisata seimbang dengan upaya pemajuan seni budaya di dalam upaya penguatan identias lokal dan budaya nasional. Dengan demikian, kita berharap budaya dan tradisi lokal tumbuh menjadi lumbung penguatan identitas kebudayaan nasional. Sesuai dengan visi merawat budaya, merawat kehidupan. Dengan demikian, Lombok bisa menjadi potret, bagaimana nilai keislaman, tradisi, budaya dan pariwisata mencari titik negosiasi yang paling moderat untuk terus tumbuh sebagai pulau mungil yang disebut dalam kakawain kitab Negarakartagama dengan "Lombok Mirah Sasak Adi" , yang bermakna "kejujuran adalah Permata Utama".

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini