Mengenal Lebih Dekat Seni Sisingaan

Mengenal Lebih Dekat Seni Sisingaan
info gambar utama

Mengenal Lebih Dekat Seni Sisingaan

Oleh Fabian Satya Rabani

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki tradisi dan seni lokal yang khas, unik, dan menarik. Bali dengan tari kecak dan tari legongnya, Ponorogo dengan reognya, Cirebon dengan sintrennya, Papua dengan sajojonya, Solo dengan gambyongnya, dan lain-lain.

Terkait dengan seni lokal ini, daerah yang patut dicatat adalah Subang, yaitu salah satu daerah yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Subang merupakan daerah yang memiliki banyak kesenian lokal, seperti gembyung, doger kontrak, jaipongan, dan sisingaan. Kesenian yang paling khas dan bahkan menjadi simbol dari daerah ini adalah sisingaan. Jika datang ke Kota Subang, kawan GNFI akan melihat patung manusia yang sedang bermain sisingaan.

Kawan GNFI perlu mengenal lebih dekat seni sisingaan yang berasal dari Subang ini. Kesenian ini sangat estetik, memiliki filosofi yang dalam, mengandung nilai-nilai religiusitas dan humaniora yang tinggi.

Pada masa kolonialisme, Belanda dan Inggris menguasai Subang. Hal tersebut membuat masyarakat Subang tertekan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, sehingga memunculkan perlawanan terhadap Belanda dan Inggris. Sikap tersebut diekspresikan melalui sindiran, perumpamaan, dan penokohan yang sesuai dengan keadaan saat itu. Sisingaan melambangkan rasa ketidakpuasan dan upaya pemberontakan terhadap penjajah.

Dalam Wikipedia.org, Sisingaan disebut juga Gotong Singa. Sebutan lainnya adalah Odong-Odong dan Sisingan Reog. Di Jawa Barat sendiri, sebutan yang terpopuler adalah sisingaan. Sisingaan barasal dari kata singa. Ide singa ini muncul karena pada saat itu Inggris yang menguasai Subang memperkenalkan lambang negaranya berupa singa.

Sisingaan menggunakan tempat duduk yang dibuat menyerupai singa. Awalnya, alat ini dibuat sederhana. Bagian muka dan kepala singa dari kayu ringan, seperti kayu randu atau albasiah. Rambut sisingaan dari bunga atau daun kaso dan daun pinus. Kemudian, badannya (cacangka) terbuat dari kayu utuh atau anyaman bambu ditutupi karung goni.

Mulanya, sisingaan dipertunjukkan dalam kegiatan ritual masyarakat yang akan mengkhitankan anak laki-laki. Sehari sebelum dikhitan, anak itu dihibur dengan cara diarak keliling kampung menggunakan tempat duduk bernama jampana yang diusung oleh empat orang dewasa, sedangkan calon pengantin khitan duduk di atasnya.

Apabila yang akan dikhitan hanya satu orang, dicarikan anak perempuan sebagai pendamping. Pendampingnya mengenakan kostum Arjuna. Anak laki-laki yang akan dikhitan berkostum Gatutkaca. Para pemain musik (nayaga) dan penggotong sisingaan memakai baju berbentuk salontreng warna kuning atau warna terang yang mencolok. Celana pangsi warna hitam, dan kepalanya memakai cocontong (ikat kepala).

Setelah selesai dirias, kedua anak itu dinaikkan ke atas sisingaan. Kemudian alat-alat tabuhan mulai dibunyikan membawakan lagu-lagu yang berirama dinamis. Bersamaan dengan bunyi alat tabuhan, para penggotong sisingaan mulai melakukan gerakan-gerakan tarian masal selaras dengan iringan musiknya. Setiap gerakan dilakukan secara serempak. Dalam tarian terselip gerakan-gerakan pencak silat. Sisingaan ini akan terus mengelilingi kampung, desa, atau jalan kota, sampai tiba pada tempat semula.

Susunan gerak tari sisingaan yang dipertunjukkan pada waktu mengarak anak khitan adalah: ketuk tilu yang terdiri atas gerakan-gerakan kuda-kuda, jurus, ngayun, jurus, minced, dan gurudugan. Gerakan-gerakan ini diiringi tiupan terompet dalam overtur arang-arang dan gurudugan, lengkap dengan iringan karawitan. Gerakan selanjutnya adalah ancang-ancang dan najong dalam posisi badan berputar disusul gerakan-gerakan eway, minced, solor, minced yang diiringi lagu kangsreng. Babak selanjutnya adalah atraksi akrobatik yang dilakukan di sepanjang jalan dengan iringan music.

Bentuk perlawanan melalui simbol sisingaan terhadap penjajah dapat ditelusuri melalui nilai-nilai filosofis yang terdapat pada sisingaan. Adapun nilai-nilai filosofis itu adalah sebagai berikut. Boneka singa yang diusung merupakan lambang kebesaran penjajah (Inggris dan Belanda). Empat orang pengusung singa adalah rakyat Subang yang sedang ditindas penjajah. Sementara itu anak kecil yang duduk di atas singa adalah generasi penerus Subang yang akan melawan tirani dan mengusirnya dari tanah Subang (Mulyadi, 2003). Nilai ini memungkinkan persatuan dari rakyat Subang ketika sisingaan digelar. Harapannya, rakyat Subang dapat menangkap nilai-nilai tersebut agar bersatu melawan penjajah.

Keberadaan sisingaan terus mengalami perkembangan. Dewasa ini, sisingaan tidak hanya menjadi seni lokal di Subang, tetap sudah menjadi pertunjukan yang lumrah di Jawa Barat. Bahkan, kesenian ini tidak hanya ditampilkan saat khitanan saja, tetapi pada berbagai acara seperti acara pernikahan, selamatan, peringatan hari besar, penyambutan tamu, dan acara lainnya baik sebagai pembuka maupun sebagai penutup acara, baik acara formal maupun nonformal. Banyaknya grup sisingaan yang ada di Jawa Barat membuktikan besarnya antusiasme masyarakat terhadap sisingaan. Hal ini menjadi sumber motivasi untuk tetap melestarikan kesenian tersebut.

Jika dicermati secara mendalam, Sisingaan tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi juga nilai-nilai lain yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain kerja sama, kekompakan, ketaatan, dan ketekunan.

Menurut Koendjoroningrat dalam Teori Antropologi Budaya, bentuk kreativitas budaya yang lahir dan muncul di daerah serta berkembang sampai ke luar wilayah daerah setempat, yang mendukung masyarakatnya, termasuk sebuah evolusi budaya. Tentunya evolusi budaya ini bisa diupayakan. Sisingaan yang pada mulanya berupa upaya kritik dalam bentuk teatrikal telah menjadi kesenian bermatra lebih luas. Estetika dan filosofi sisingaan menjadi daya tarik bagi banyak orang. Hal ini terlihat dari antausiasme masyarakat untuk menyaksikan tiap kali ada pertunjukan sisingaan. Jika demikian, kehadiran Sisingaan ini pun dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, evolusi budaya terkait dengan sisingaan ini perlu terus ditingkatkan. Jika perlu, tidak hanya pada tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat dunia sehingga sama terkenalnya dengan tari barongsai.

Pekan Kebudayaan Nasional dan juga Good News from Indonesia adalah salah satu wahana efektif dalam menyebarluaskan, melestarikan, dan memperkembangkan budaya daerah. Melalui publikasi dan even-even budaya yang dilakukan merupakan bukti nyata cinta dan kepedulian anak bangsa terhadap budaya Nusantara ini. Semoga sisingaan pun menjadi salah satu budaya daerah yang diperhatikan eksistensinya. Secara pribadi, penulis akan mengupayakannya melalui publikasi yang lebih intens pertunjukan sisingaan pada berbagai fora dan media.

Penulis adalah seorang pelajar yang lahir dan tinggal di Jawa Barat.

Referensi

Mulyadi, T. “Sisingaan Kemasan Wisata di Kabupaten Subangdalam Anonim. Vol. 2 No. 2. 2003.

https://bandung.kompas.com/read/2022/12/07/070000478/mengenal-sisingaan-tradisi-asal-subang--sejarah-bahan-dan-makna?page=all

https://www.subang.go.id/wisata/seni-dan-budaya/sisingaan

https://Wikipedia.org

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

FR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini