Naskah La Galigo, Sebuah Pesan untuk Melestarikan Lontara di Era Globalisasi

Naskah La Galigo, Sebuah Pesan untuk Melestarikan Lontara di Era Globalisasi
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Kebudayaan adalah sebuah simbol, makna dan norma yang diwariskan secara historis. Jika membahas tentang kebudayaan maka kita tidak akan lepas dari bahasa. Seperti yang dikatakan oleh Khaled Hosseini seorang novelis dan dokter asal Afganistan, jika budaya adalah sebuah rumah, maka bahasa adalah kunci pintu depan untuk semua ruangan di dalamnya.

Kawan GNFI, pernah gak komunikasi dengan seseorang tapi pesan yang ingin kawan sampaikan justru tidak dipahami atau dimengerti oleh lawan bicara?

Saya pernah mengalaminya ketika pertama kali komunikasi dengan teman-teman beda suku. Bisa jadi di luar sana kawan juga seringkali menjumpai kasus di mana orang-orang dengan latar belakang budaya berbeda berinteraksi tapi harus menghadapi hambatan bahasa. Ini membuktikan bahwa bahasa memiliki level tertinggi dalam komunikasi antar manusia di seluruh dunia.

Dilansir dari Cambridge Dictionary komunikasi adalah proses pertukaran informasi dan ungkapan perasaan yang dapat menghasilkan pemahaman. Sehingga bisa kita simpulkan jika komunikasi sendiri hanya bisa dikatakan komunikasi apabila kedua pihak memahami topik yang dibicarakan.

La Galigo, Sastra Terpanjang Dunia Bukti Kejayaan Bugis

Indonesia termasuk negara yang memiliki warisan budaya sastra yang bernilai tinggi. Salah satunya adalah I La Galigo yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Memory of The World dan menjadi bukti kejayaan Suku Bugis sebelum abad ke-14.

Adanya Sastra I La Galigo juga menjadi bukti jika Bahasa Bugis menyimpan kekayaan intelektual. Bagaimana tidak jika naskah yang ditulis dengan Lontara ini dijuluki naskah terpanjang di dunia sekitar 6.000 halaman. Lebih panjang dari epik India, Mahabarata dan Ramayana serta epik Yunani Homerus.

Walaupun begitu, sangat disayangkan pesan dan makna naskah ini tidak terwariskan kepada generasi. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, para generasi muda sudah banyak yang tidak menguasai Lontara. Kedua, kurangnya kesadaran untuk menanamkan nilai-nilai daerah pada anak-anak. Sangat jarang dijumpai orang tua yang menceritakan tentang isi I La Galigo.

Lontara, Bahasa Bugis yang Harus Dijaga di Tengah Gempuran Globalisasi

UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Penetapan tersebut didasarkan pada fakta pergeseran bahasa dan kenyataan bahwa semakin banyaknya bahasa daerah yang mengalami kepunahan. Terutama bahasa yang tergolong minoritas.

Lalu bagaimana nasib Bahasa Bugis atau Lontara di era globalisasi?

Kawan, Bahasa Bugis memiliki penutur sebanyak 4 juta di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan dan Malaysia. Lontara tergolong Austronesia tersebar di beberapa Kabupaten termasuk Bone, Soppeng, Luwu, Wajo, Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Sidrap, Pare-pare dan Pinrang.

Sayangnya meskipun memiliki penutur sebanyak 4 juta, faktanya Bahasa Daerah terancam punah menurut Long Form Sensus Penduduk 2022 yang baru dirilis Badan Pusat Statistik pada akhir Januari 2023. Penggunaan bahasa daerah kian mengalami penurunan mulai dari lingkungan keluarga, kerabat dan tetangga.

Menurut Summer Institute of Linguistics (2008) terdapat dua belas faktor yang bisa menyebabkan kepunahan bahasa,

  1. Kecilnya jumlah penutur
  2. Usia penutur
  3. Digunakan-atau-tidak digunakannya bahasa ibu oleh anak-anak
  4. Penggunaan bahasa lain secara reguler dalam latar budaya yang beragam
  5. Perasaan identitas etnik dan sikap terhadap bahasanya secara umum
  6. Urbanisasi kaum muda
  7. Kebijakan pemerintah
  8. Penggunaan bahasa dalam pendidikan
  9. Intrusi dan eksploitasi ekonomi
  10. Keberaksaraan
  11. Kebersastraan
  12. Kedinamisan para penutur membaca dan menulis sastra

Ironisnya, kepunahan Bahasa Daerah seringkali tidak dipermasalahkan oleh penutur aslinya. Seakan tidak ada rasa memiliki terhadap bahasa tersebut. Semudah itukah kita melepaskan diri dan meninggalkan budaya?

Upaya Apa yang Harus Kita Lakukan dalam Menjaga dan Melestarikan Lontara?

Pada pasal 42, ayat (1) dinyatakan bahwa “Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.”

Dalam hal ini pemerintah bisa melakukan aksi berupa pengadaan festival atau acara budaya, mengenalkan kembali bahasa daerah Suku Bugis dalam Pariwisata dan lainnya. Namun, ini bukan hanya tugas pemerintah daerah saja melainkan tugas seluruh masyarakat Suku Bugis.

Sebagai masyarakat Bugis, saya sangat berharap Lontara (bahasa ugi) bisa tetap digunakan dan dilestarikan baik di lingkungan rumah tangga, sekolah, lingkungan masyarakat hingga penggunaan media sosial.

Hal ini bisa kita lakukan dengan cara menggunakan bahasa daerah sehari-hari di lingkungan keluarga. Sementara di lingkungan sekolah diharapkan adanya mata pelajaran wajib Bahasa Daerah. Di mana didukung sarana dan prasarana yang bisa meningkatkan minat siswa untuk belajar dan melestarikan Lontara.

Bukan hanya itu saja, agar penggunaan Bahasa Daerah lebih efektif kamus digital akan sangat membantu. Seperti yang Kawan ketahui, kamus digital untuk setiap Bahasa Daerah termasuk Bahasa Bugis akan sangat membantu dalam menjaga dan melestarikan Lontara.

Zaman sekarang tidak sedikit masyarakat kita yang kurang memahami dan sulit menerjemahkan Bahasa Bugis. Dengan adanya kamus digital maka akan memudahkan kita untuk belajar dan memperbanyak kosa kata Bahasa Bugis. Terlebih jika kamus digital tersebut dilengkapi dengan fitur speaking, reading, dan listening.

Sebagai generasi muda, kita harus memiliki kesadaran tentang pentingnya bahasa daerah dan tetap menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya ketika komunikasi di rumah atau di lingkungan tapi bisa menggunakannya dalam bentuk pesan teks. Bagaimanapun zaman sekarang dengan semakin canggihnya teknologi, hampir semua smartphone menyediakan keyboard dengan berbagai pilihan bahasa termasuk Bahasa Bugis.

Menggunakan Bahasa Bugis untuk berkomunikasi antar sesama suku bisa menjadi salah satu langkah dan upaya kita untuk menjaga budaya.

Namun, perlu kita pahami bahwa melestarikan bahasa daerah bukan berarti kita tidak menghargai Bahasa Indonesia dan dilarang mempelajari Bahasa Asing. Lontara membantu kita untuk berkomunikasi sesama suku, Bahasa Indonesia membantu kita berkomunikasi antar suku. Begitu pula Bahasa Asing seperti bahasa Inggris yang kita gunakan untuk berkomunikasi dengan orang di seluruh dunia.

Jika kita menilik lebih dalam lagi, maka kita akan mendapati Bahasa Arab sebagai bahasa yang bisa kita gunakan untuk berkomunikasi dengan sesama umat Islam.

Ini menunjukkan setiap bahasa memiliki urgensi dan fungsi yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Itulah mengapa kita wajib untuk menjaga dan melestarikannya. Bagi masyarakat Bugis jika ingin menjaga budaya bisa mulai dengan mempelajari Naskah La Galigo, naskah yang menyiratkan begitu banyak pesan bagi generasi untuk melestarikan Lontara di gempuran globalisasi.

So, Kawan GNFI bagaimana caramu menjaga dan melestarikan Bahasa Daerahmu??

Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RD
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini