Kecil, tapi Berarti: Pengalaman Terlibat dalam Pelestarian Mamaca Situbondo

Kecil, tapi Berarti: Pengalaman Terlibat dalam Pelestarian Mamaca Situbondo
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Sekitar pertengahan 2021, saya mendapat tawaran untuk terlibat dalam sebuah penelitian seni Mamaca Situbondo. Proyek ini digagas oleh beberapa teman di komunitas literasi dan budaya, bekerja sama dengan Universitas Jember. Tujuannya adalah mendigitalisasi manuskrip, mendokumentasikan pertunjukan Mamaca, serta mengalih wahanakan beberapa fragmen lakon menjadi kumpulan cerita. Saya langsung mengiyakan tawaran tersebut. Ini suatu kebanggan tersendiri sebagai putra daerah dapat terlibat dalam upaya pelestarian budaya Situbondo.

Akan tetapi, ada sedikit yang mengganjal di hati saya. Ketika itu, sebagai mahasiswa yang tengah dimabuk teori, saya menganggap output penelitian ini terlalu sederhana dan kurang keren. Dalam kepala saya, penelitian yang keren adalah penelitian dengan teori-teori dan metode canggih, dan kalau bisa sulit untuk dipahami orang. Tetapi, seiring dengan keterlibatan dalam penelitian ini, saya sadar, itu semua bukanlah yang utama.

Mamaca Situbondo

Mamaca merupakan seni membaca dan mengulas puisi atau lakon dengan cara ditembangkan. Kesenian ini dihidupi dan dipraktekkan oleh masyarakat Madura, termasuk masyarakat Madura di Situbondo. Seni yang terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Kabupaten Situbondo ini, ditampilkan dalam beberapa acara atau ritus dalam masyarakat, seperti pernikahan, selamatan tujuh bulan kandungan, tradisi petik laut, dan peringatan Maulid Nabi.

Manuskrip yang dimainkan dalam Mamaca beragam. Beberapa manuskrip di Situbondo mengadaptasi atau memodifikasi lakon-lakon dari khasanah pewayangan. Selain itu, terdapat pula manuskrip bertemakan sejarah lokal dan sejarah Islam. Lakon-lakon tersebut dibawakan sesuai dengan konteks acara. Misalnya, untuk acara perkawinan, manuskrip yang dibacakan adalah “Gatot Koco Kromo”. Atau untuk memperingati Maulid Nabi dan Isra’ Mi’raj, manuskrip yang dibacakan adalah “Nurbhuwat” dan “Mi’rad”.

Manuskrip Mamaca menggunakan Bahasa Jawa dan ditulis dengan aksara pegon. Ketika ditampilkan terdapat satu orang yang berperan untuk membaca naskah (pamaos) dan satu orang lainnya berperan sebagai pengulas dalam Bahasa Madura (panegghes).

Apa yang Kami Kerjakan?

Selama penelitian, kami menemui lima kelompok mamaca yang tersebar di Situbondo. Kami mewawancarai para seniman sekaligus turut serta ketika mereka pentas. Dari sana kami mendigitalisasi manuskrip dan mendokumentasikan pertunjukan Mamaca. Hasil digitalisasi kami simpan dan cetak dalam bentuk buku kumpulan manuskrip mamaca. Sementara itu, hasil rekaman pertunjukan kami unggah di kanal Youtube Madurese Sound yang dikelola Panakajaya Hidayatullah, salah satu di antara kami yang memang giat mendokumentasikan ragam pertunjukan seni di Situbondo. Selain diunggah ke kanal Youtube, hasil dokumentasi dan rekaman audio juga kami gunakan sebagai dasar mengalih wahanakan lakon ke dalam bentuk kumpulan cerita dalam Bahasa Madura dan Bahasa Indonesia.

Proses Dokumentasi Pertunjukan Mamaca. Foto/Tim Peneliti Mamaca Situbondo
info gambar

Terlibat langsung dalam penelitian tersebut membuat saya melihat lebih dekat realitas Mamaca Situbondo. Perubahan lensa ini sekaligus mengubah pandangan saya dalam menilai penelitian ini, dan dalam konteks yang lebih luas upaya pelestarian seni Mamaca. Seperti saya sebut di awal, mulanya saya berpikir, proyek ini harusnya bisa lebih dari sekadar mendigitalisasi naskah, mendokumentasikan pertunjukan, dan mengalih wahanakan lakon. Proyek ini harusnya datang dengan misi melakukan kajian akademik dengan pendekatan dan teori canggih nan melangit. Tapi, apakah itu yang dibutuhkan dalam konteks pelestarian Mamaca di Situbondo ketika itu?

Kecil, tapi Bermakna

Digitalisasi naskah dan dokumentasi pertunjukan sebenarnya adalah upaya pengarsipan. Bagi saya, mulanya, pengarsipan terdengar membosankan dan kurang menantang. Tapi kemudian saya sadar, bukankah persoalan arsip adalah kelemahan bangsa kita. Apalagi dalam konteks di daerah, sangat sulit untuk menemukan pengarsipan yang lengkap mengenai Mamaca.

Manuskrip Pergiwo Gandrung milik Pak Hosnan yang kondisinya memprihatinkan. Foto/Dokumentasi Tim Peneliti Mamaca Situbondo
info gambar

Di samping itu, kebutuhan untuk mendigitalisasi manuskrip jadi mendesak, mengingat banyak manuskrip yang kami temui dalam kondisi tidak terawat. Banyak di antaranya sudah berjamur, sobek di bagian pinggirnya, tintanya pudar, dan sukar dibaca. Manuskrip-manuskrip tersebut disimpan begitu saja oleh pemiliknya, tanpa ada perawatan yang layak. Sehingga kemungkinan rusak dan bahkan hilang sangat besar.

Manuskrip
info gambar

Manuskrip “Babat Besuki” milik Pak Hosnan, misalkan, kondisinya memprihatinkan. Manuskrip miliknya ditulis dalam semacam buku agenda saja. Bagian jilid buku itu banyak yang lepas dan banyak halaman yang tintanya luntur dan merembes ke halaman berikutnya. Salah satu manuskrip milik Pak Hosnan, ketua kelompok mamaca Suka Rahayu, pernah hilang setelah dipinjamkan ke seniman lain. Pak Hosnan akhirnya harus menuliskannya ulang. Beruntunglah, karena manuskrip tersebut bertahun-tahun dibawakan olehnya, ingatannya terhadap manuskrip itu masih cukup kuat. Kendati demikian, dia mengakui, manuskrip yang dia tulis ulang itu tidak sama persis dengan manuskrip sebelumnya, karena hanya bermodalkan ingatan.

Hasil lain dari penelitian kami adalah kumpulan cerita alih wahana beberapa lakon Mamaca. Mulanya, saya pikir kajian akademik serius akan lebih bernilai tinimbang kumpulan cerita-cerita. Tetapi, setelah lebih dekat memahami kondisi Mamaca hari ini, saya pikir kumpulan cerita juga tak kalah bernilai.

Umur para pelaku Mamaca yang sudah lanjut usia. Di antara yang kami temui, yang termuda adalah Pak Dada, yang masih berumur 40an akhir. Sementara sisanya berumur 60-70 tahunan. Di sisi lain, ketertarikan generasi pemuda sangat rendah terhadap seni ini. Oleh karenanya, dengan kumpulan cerita tersebut, harapannya Mamaca dapat tersampaikan kepada generasi muda dalam bentuk yang lebih dekat.

Memang, dengan cara ini, masih terbentang jarak yang jauh untuk mendekatkan Mamaca kepada kalangan anak muda. Sebab, kami juga sadar bahwa membaca adalah salah satu isu buat anak muda. Tapi, setidaknya dari sini kami sudah memapas sedikit jarak. Kami membayangkan hasil ini dapat menjadi pijakan untuk dialih wahanakan ke dalam bentuk karya lainnya yang lebih populer.

Pada akhirnya, setelah lebih dekat melihat eksistensi Mamaca, penilaian saya terhadap penilitian yang kami lakukan berubah. Pengarsipan dan alih wahana yang kami lakukan mungkin terdengar tidak seksi tinimbang kajian-kajian yang bisa membuat dahi mengkerut. Tetapi, ini semua bukan tentang itu. Ini menyoal apa yang sesuai dengan persoalan yang ada. Singkatnya, apa yang kami lakukan mungkin kecil, tapi sangat berarti sebagai pintu pembuka bagi upaya-upaya pelestarian Mamaca Situbondo selanjutnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AR
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini