Sejarah Kain Tenun Sambas

Sejarah Kain Tenun Sambas
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata bertenun adalah bekerja membuat barang-barang tenun. Tenun merupakan teknik dalam pembuatan kain yang dibuat dengan prinsip yang sederhana, yaitu dengan menggabungkan benang secara memanjang dan melintang (Anonim, 2022). Dengan kata lain aktivitas bertenun merupakan proses bersilangnya antara benang lungsi dan benang pakan secara bergantian. Benang lungsi atau masyarakat Melayu Sambas mengenalnya dengan sebutan longsen atau dage adalah benang yang ditenun secara memanjang, sedangkan benang pakan merupakan benang yang ditenun secara melintang (Daniswari, 2022). Keberadaan kain tenun tradisional di Indonesia diperkirakan berkembang sejak masa Neolitikum (Prasejarah). Dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah pre historis, seperti tenunan, alat untuk memintal, dan bahan yang terlihat jelas adanya tenunan pada kain yang terbuat dari kapas. Kain tenun ini tidak hanya sekedar sumber sandang bagi masyarakat, tapi salah satu warisan budaya yang sarat makna dan nilai.

Kegiatan bertenun dan menyongket dapat dijumpai pada beberapa daerah atau wilayah di Indonesia seperti Sumatera (Palembang, Lampung, Jambi, Padang, Medan, dan Aceh) Bali, Nusa Tenggara (Lombok), Sulawesi (Boton dan Donggala), Jawa (Banten), dan Kalimantan (Sambas dan Pagatan). Salah satu daerah yang sampai dengan saat ini masih mempertahankan atau melestarikan budaya bertenun dan menyongket ini adalah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Berbicara tentang perjalanan sejarah atau asal muasal munculnya kebudayaan bertenun di Kabupaten Sambas memang cukup sulit menemukan kepastian kebenarannya, karena cenderung bersifat mulut ke mulut.

Berdasarkan penelusuran terkait sejarah kain tenun Sambas terdapat beberapa sumber yang dapat dijadikan patokan atau acuan untuk mengetahui kapan budaya bertenun dan menyongket ini ada di kehidupan masyarakat Sambas. Mengutip dari (Sirojuddin, 2022), kebudayaan bertenun oleh masyarakat Sambas telah ada sejak 300 tahun yang lalu ketika Sultan Muhammad Tsjafiuddin I mendirikan Kesultanan Sambas pada tahun 1675. Pada saat itu kegiatan bertenun dilakukan oleh perempuan-perempuan yang ada di wilayah Kesultanan Sambas. Hasil kain tenun tersebut digunakan sebagai pelengkap dalam pelaksanaan ritual-ritual adat seperti pernikahan. Bukti kain tenun sudah dikenal pada masa kerajaan Sambas adalah adanya peninggalan kain tenun antik dan berusia ratusan tahun yang tersimpan di Istana Alwatzikhoebillah Sambas (Dediansyah, 2022).

Menurut Sumber lainnya menyatakan bahwa budaya tenun Sambas bermula pada masa pemerintahan Raden Bima (Sultan Sambas ke-2), yang memerintah tahun 1668-1708 yang bergelar Sultan Muhammad Tajuddin menggantikan ayahandanya yakni Raden Sulaiman bin Raja Tengah. Pada saat itu Kesultanan Brunei memberi hadiah berupa seperangkat alat tenun kepada Raja Sambas dengan maksud memberi ilmu kepada masyarakat Sambas tentang bagaimana membuat kain tenun atau bertenun (Vudhwuosce, 2021). Hal ini menyebabkan semakin mendorong berkembangnya budaya bertenun di masyarakat Sambas. Penenun kain tenun songket Sambas tersebar di beberapa wilayah di daerah Sambas yakin di Desa Tumok, dusun Sumberang Desa Sumber Harapan, Desa jirak, dan Desa Tengguli.

Pada masa itu kain tenun Samabs hanya di pakai oleh kaum atau keturunan bangsawan istana, akan tetapi masa perkembangannya kain ini dikenakan pula oleh pemuka agama dan orang-orang kaya. Pada era sekarang seluruh lapisan masyarakat Sambas juga telah menggunakan kain tenun Sambas sebagai pakaian dalam berbagai kegiatan atau pun perayaan. Hal ini disebabkan kain tenun Sambas tidak lagi hanya sebatas diproduksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pribadi, namun juga telah masuk dalam tanah perdagangan.

Berbeda saat awal kemunculannya yang begitu ekslusif karena hanya dikenakan oleh kaum bangsawan kerajaan bahkan ketika pemakainya mulai mengalami perkembangan, masih terdapat beberapa ketentuan yang menjadi pembeda antara kerabat kerajaan dengan warga dari luar kerabat kerajaan. Perbedaan tersebut salah satunya dalam pemilihan warna dimana kain tenun Sambas yang berwarna kuning hanya diperbolehkan digunakan oleh kerabat kerajaan, sdangkan masyarakat awan tidak boleh diperbolehkan mengenakan kain tenun berwarna kuning. Seperti yang kita ketahui warna kuning menjadi warna keagungan dari Kesultanan Sambas.

Masa kejayaan kain tenun Sambas melewati fase naik turun dalam catatan sejarahnya. Ketika masa penjajahan Belanda, kejayaan kain tenun Sambas masih gemilang, hal ini disebabkan dalam masa penjajahan Belanda, pihak Belanda tidak mengekang masyarakat Sambas untuk melakukan berbagai jenis aktivitas termasuk kegiatan bertenun ini. Pada masa ini hampir di setiap rumah dapat ditemukan kegiatan bertenun. Hal ini disebabkan pada saat zaman dulu kala kaum perempuan memiliki keterbatasan untuk dapat beraktivitas diluar rumah, berbeda jauh dengan kaum laki-laki yang dapat dengan mudah berkegiatan di luar rumah, sehingga kegiatan bertenun menjadi pilihan kaum perempuan untuk tetap berkarya atau hanya sekedar mengisi waktu luang yang bisa dilakukan di dalam rumah.

Lain halnya ketika ketika masa penjajahan Jepang, dimana kain tenun Sambas mengalami kemunduran karena sikap penjajah Jepang yang kejam. Segala macam tindakan kejahatan yang penjajah Jepang lakukan memberikan rasa takut dan trauma yang luar biasa kepada penduduk Sambas saat itu. Dampak dari semua, kaum perempuan yang tadinya aktif dalam bertenun menjadi terhambat karena merasa sudah tidak aman lagi untuk melakukan berbagai macam aktivitas termasuk bertenun.

Permintaan kain tenun Sambas dari masa ke masa semakin meningkat khususnya kain tenun Sambas dalam wujud kain sabok yang dipesan oleh pihak Malaysia (Serawak). Jumlah permintaan yang semakin banyak menyebabkan jumlah penenun di wilayah Sambas semakin bertambah. Proses berjalannya waktu, permintaan kain tenun Sambas terus mengalami penurunan diserta dengan mulai berkembangnya kegiatan bertenun di Brunei Darussalam dan Malaysia itu sendiri menambah muram nya produksi dan pemasaran kain tenun yang ada di wilayah Sambas. Penyebab penurunan aktivitas ini karena banyak di antara para penenun Sambas yang memilih pindah atau bekerja sebagai Penenun di Negara Brunei Darussalam, dikarenakan harga upah dan harga jual kain yang cukup tinggi.

Kemunduran produksi kain tenun Sambas ini tidak menyebabkan kain tenun Sambas atau kegiatan bertenun hilang serta merta di bumi melayu Sambas. Memasuki tahun 2000-an, Kejayaan kain tenun Sambas kembali bangkit dari masa-masa kelamnya. Hal ini tentunya didukung dari berbagai pihak seperti pemerintah daerah dan pengrajin tenun itu sendiri. Berbagai jenis pelatihan diberikan kepada para penenun Sambas, menyediakan wadah produksi dan terus berupaya melakukan promosi agar jangkauan pemasaran lebih luas, adalah beberapa upaya yang telah dilaksanakan oleh berbagai pihak untuk mengembalikan kejayaan kain tenun Sambas.

(Sumber referensi : https://typoonline.com/kbbi/bertenun)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini