Mengungkap Akar Konflik Rohingya: Mengapa Etnis ini Begitu Dibenci di Myanmar?

Mengungkap Akar Konflik Rohingya: Mengapa Etnis ini Begitu Dibenci di Myanmar?
info gambar utama

Pernahkah Kawan mengunjungi negara Myanmar?

Myanmar merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang kaya akan keberagaman budaya dan etnis.

Namun di balik keberagamannya, negara ini juga menyimpan sejarah kelam yang tragis terkait dengan konflik antar-etnis.

Salah satu etnis yang paling terkena dampak dari konflik ini adalah Rohingya, sebuah kelompok minoritas Muslim yang mendiami negara bagian Rakhine di barat laut Myanmar.

Rohingya mengalami diskriminasi oleh pemerintah Myanmar karena tidak diakui sebagai warga negara. Mereka sering dianiaya, dikucilkan, dan diusir ke kamp-kamp pengungsian.

Konflik kekerasan yang memicu perlawanan sipil, termasuk perlawanan dari etnis Rohingya, membuat mereka memilih keluar dari Myanmar.

Rohingya pun terpaksa mencari suaka ke negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hingga Februari 2023, tercatat ada sekitar 1.000 pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia.

Jumlah tersebut terus bertambah, termasuk dengan kedatangan ratusan orang Rohingya ke Aceh pada bulan November 2023.

Baca Juga: Rohingya Bukan yang Pertama, Manusia Perahu Lain Pernah Dirawat Indonesia

Sejarah yang Rumit dan Kolonialisme

Sejarah Rohingya di Myanmar memiliki akar yang kompleks dan beraneka ragam. Selama masa kolonialisme, Inggris membawa pekerja migran dari Bengal, India untuk bekerja di perkebunan dan sektor perdagangan.

Setelah kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948, muncul ketidaksetujuan atas status Rohingya. Pemerintah Myanmar menolak untuk mengakui mereka sebagai kelompok etnis dan menganggap mereka sebagai imigran ilegal.

Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 dan Diskriminasi Sistematis

Pada tahun 1982, Pemerintah Myanmar mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang secara signifikan membatasi hak kewarganegaraan bagi Rohingya.

Undang-undang tersebut menetapkan bahwa hanya kelompok etnis yang dapat membuktikan kehadiran mereka sebelum tahun 1823 yang berhak mendapatkan kewarganegaraan.

Hal ini secara efektif membuat Rohingya menjadi kelompok tanpa kewarganegaraan dan hak-hak dasar yang melekat pada status kewarganegaraan.

Persaingan Sumber Daya dan Kedaulatan Identitas Buddhis

Ketegangan antara mayoritas Buddhis Myanmar dan Rohingya juga dipicu oleh persaingan sumber daya. Provinsi Rakhine, tempat tinggal mayoritas Rohingya, memiliki sumber daya alam yang kaya, termasuk perkebunan dan lahan pertanian yang subur.

Persaingan ini diperparah oleh faktor identitas agama, dengan beberapa kelompok Buddhis memandang Rohingya sebagai ancaman terhadap kedaulatan identitas Buddhis di Myanmar.

Peran Militer dan Operasi Pembersihan Etnis

Konflik memasuki tahap yang lebih tinggi pada tahun 2017 ketika militer Myanmar merespons serangan militan Rohingya dengan serangan besar-besaran yang menargetkan warga sipil.

Serangan ini diikuti oleh operasi pembersihan etnis yang menyebabkan ribuan kematian dan ratusan ribu Rohingya mengungsi ke negara tetangga seperti Bangladesh.

Dunia internasional mengutuk keras tindakan militer Myanmar sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Situasi ini jelas melanggar hak asasi manusia dan menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang tertindas.

Media Terbatas dan Kontrol Informasi

Isolasi wilayah konflik, terutama di Rakhine, dan kontrol ketat pemerintah terhadap informasi mempersulit pemahaman dunia internasional terhadap apa yang terjadi secara sebenarnya.

Akses terbatas terhadap wilayah konflik membuat sulit untuk memeriksa klaim dan melacak perkembangan situasi dengan akurat. Kontrol pemerintah terhadap media juga menimbulkan tantangan serius bagi penyiaran berita yang independen.

Baca Juga: Upaya Berkelanjutan Indonesia untuk Dialog Inklusif Myanmar: 'Pintu Tidak Ditutup'

Peran Komunitas Internasional dan Tantangan Resolusi Konflik

Tanggapan komunitas internasional terhadap konflik Rohingya telah bervariasi. Sanksi ekonomi dan tekanan diplomatik telah diberlakukan oleh beberapa negara, sementara yang lain telah menawarkan bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya.

Namun, tantangan penyelesaian konflik tetap besar karena konflik ini melibatkan faktor-faktor yang sangat kompleks dan terkait erat dengan sejarah panjang negara tersebut.

Dalam upaya mengatasi konflik Rohingya di Myanmar, langkah-langkah yang holistik dan berkelanjutan diperlukan.

Usaha ini harus melibatkan reformasi kebijakan yang menghapus diskriminasi, dialog antar-etnis yang mempromosikan pemahaman saling, dan keterlibatan aktif komunitas internasional dalam memastikan hak asasi manusia dihormati.

Selain itu, pengungsi Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga juga memerlukan dukungan dan solusi jangka panjang untuk pemulihan dan pembangunan kembali hidup mereka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini