Upaya Berkelanjutan Indonesia untuk Dialog Inklusif Myanmar: 'Pintu Tidak Ditutup'

Upaya Berkelanjutan Indonesia untuk Dialog Inklusif Myanmar: 'Pintu Tidak Ditutup'
info gambar utama

Pada hari Selasa (31/11/2023), selama Forum Media ASEAN yang ke-7, Indonesia mengakui bahwa upaya untuk mencapai dialog nasional yang inklusif di Myanmar masih jauh dari harapan, meskipun Indonesia telah berusaha keras untuk mendorong pembicaraan yang berkaitan dengan hal tersebut. Situasi ini telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun sejak militer Myanmar melakukan kudeta, yang mengakibatkan banyak warga sipil tewas.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa Indonesia telah secara aktif terlibat dalam usaha mediasi konflik untuk membantu meredakan krisis tersebut. Sejak Indonesia mengambil alih jabatan ketua ASEAN pada bulan Januari, lebih dari 180 pertemuan telah digelar dengan berbagai pihak di Myanmar, semuanya dengan tujuan akhir untuk memfasilitasi dialog nasional yang inklusif.

Indonesia juga elah berupaya menjalin kontak dengan berbagai pihak, termasuk pemerintahan dalam pengasingan Myanmar, Pemerintah Kesatuan Nasional (NUG), dan Dewan Administrasi Negara junta (SAC). Pertemuan-pertemuan ini telah diadakan dalam berbagai format, termasuk pertemuan virtual, diskusi tatap muka, dan komunikasi melalui telepon. Meskipun demikian, nampaknya Myanmar belum siap untuk menjalani dialog nasional yang inklusif. Seperti yang diungkapkan oleh Menlu Retno dalam Forum Media ASEAN 2023 di Jakarta, "Terutama untuk NUG dan SAC, ketika saya tawarkan, 'Apakah Anda ingin bertemu tanpa agenda dan tanpa syarat?', saya tidak mendengar tanggapan positif. Namun, ini tidak berarti pintu sudah tertutup."

Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi |ASEAN.org
info gambar

Menlu Retno mengungkapkan ketidakpastian mengenai waktu yang diperlukan untuk mencapai dialog nasional yang inklusif tetapi menegaskan betapa pentingnya menjalani proses yang diperlukan untuk mencapai tujuan ini. Indonesia masih memiliki dua bulan sebelum masa jabatan sebagai ketua ASEAN berakhir dan Laos mengambil alih posisi tersebut pada tahun 2024. Jakarta berencana untuk terus berhubungan dengan pihak-pihak terkait di Myanmar bahkan setelah masa kepemimpinan ASEAN selesai. Menlu Retno menyatakan, "Setidaknya hingga akhir masa kepemimpinan [kami], akan ada sejumlah pertemuan. Tetapi kami tidak akan berhenti setelah masa kepemimpinan berakhir," dan mencatat bahwa mereka telah berkomunikasi dengan Laos, yang akan menjadi ketua ASEAN berikutnya.

Dia menyoroti pentingnya pendekatan berinteraksi dengan pihak-pihak terkait secara individu dalam membangun kepercayaan di antara mereka, dengan menyatakan, "Tanpa kepercayaan, mereka tidak bisa bertemu dan berbicara."

Pada bulan September, ASEAN sepakat untuk membentuk troika ketua ASEAN—Indonesia, Laos, dan Malaysia—sebagai mekanisme konsultasi informal untuk mengatasi krisis di Myanmar. Troika ini terdiri dari ketua ASEAN saat ini, sebelumnya, dan yang akan datang. Malaysia dijadwalkan untuk mengambil alih jabatan ketua ASEAN yang berputar pada tahun 2025. ASEAN juga memutuskan untuk mematuhi "konsensus lima poin" sebagai kerangka utama dalam mengatasi krisis, yaitu rencana perdamaian yang disepakati oleh blok tersebut pada tahun 2021, yang menyerukan dialog konstruktif di antara semua pihak yang terlibat.

Di tengah upaya diplomatis ini, salah satu organisasi hak asasi manusia, yakni Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (the Assistance Association for Political Prisoners), melaporkan bahwa sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021, junta dan kelompok pro-militer bertanggung jawab atas kematian 4.162 orang, termasuk aktivis pro-demokrasi dan warga sipil.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Diandra Paramitha lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Diandra Paramitha.

Terima kasih telah membaca sampai di sini