Penggunaan Pewarna Alami Tekstil sebagai Upaya Penyelamatan Lingkungan

Penggunaan Pewarna Alami Tekstil sebagai Upaya Penyelamatan Lingkungan
info gambar utama

Memahami lebih dalam proses produksi pakaian akan mempengaruhi perilaku kita dalam berbelanja. Melalui pemahaman tersebut, kita bisa lebih cermat memilih produk yang akan dibeli, termasuk dengan mempertimbangkan pilihan produk yang ramah lingkungan.

Salah satu proses awal pembuatan pakaian adalah proses pewarnaan tekstil. Dalam proses tersebut, pemanfaatan tumbuhan sebagai pewarna alami, menjadi inovasi yang banyak digunakan saat ini. Lebih lanjut, inovasi demikian turut menjadi bagian dari gerakan sustainable fashion. Hal ini terutama berkaitan dengan penggunaan pewarna alami dari tumbuhan sebagai pengganti bahan sintetis yang berdampak positif dalam mengurangi pencemaran air oleh bahan kimia.

Baca Juga: Tren Sustainable Fashion, Alternatif Industri Fashion Ramah Lingkungan

Ada banyak jenis tumbuhan yang dapat digunakan dalam pewarnaan tekstil, salah satu yang populer dalah tanaman indigo atau tanaman nila. Di Indonesia sendiri, tanaman biru indigo alami berasal dari tumbuhan tarum (Indigofera tinctoria L) yang dapat tumbuh hingga 1,5 meter dan pertama kali dibudidayakan di Wonogiri, Jawa Tengah. Umumnya, pewarna dari tanaman nila banyak digunakan pada batik dengan ciri khas warna biru yang bercampur ungu.

Selain Indigofera tinctoria, dalam dunia tekstil ada beberapa tanaman yang biasa dipakai sebagai sumber pewarna alami indigo. Misalnya Polygonum tinctorium, Strobilanthes cusi, Isatis indigotica, Marsdenia tinctoria, juga Memecylm edule. Saat ini banyak merek lokal di Indonesia yang menggunakan pewarna indigo untuk produknya. Selain pertimbangan isu lingkungan, penggunaan warna ini juga membuat desain lebih menarik karena mengusung gaya etnik kontemporer.

Gaya etnik kontemporer juga memberikan nilai tambah dan daya tarik bagi sebuah merek lokal. Keunikan nilai tradisi seperti batik yang dipadukan dengan desain terbaru yang sedang diminati pasar, membuat produk terlihat berbeda dan memikat.

Dengan itu, batik dengan pewarna dari tanaman indigo yang bernuansa biru nila ini sukses menghadirkan inspirasi bagi desainer dalam negeri pada setiap karyanya. Banyak desainer yang kemudian menerapkan teknik pewarnaan ikat celup indigo pada tekstil yang digunakan, hingga memadukan gaya urban dengan campuran kain batik indigo.

Hal ini juga merupakan sebuah gerakan ramah lingkungan dalam proses pewarnaan batik, yang merupakan warisan budaya Indonesia yang sudah dilestarikan sejak lama. Selain itu, batik indigo yang menggunakan pewarna alami dari tumbuhan nila ini sukses menarik minat wisatawan luar negeri, di mana mereka menjadikannya sebagai buah tangan dari Indonesia.

Selain itu, dalam sebuah penelitian oleh Nunik Sri Ariyanti, Neng Sri Hayati, dan Hadi Sunarso dari Institut Pertanian Bogor, ditemukan potensi enam jenis tumbuhan lain yang terpilih sebagai pewarna alami berdasarkan spektrum dan stabilitas warna yang dihasilkan pada perlakuan jenis mordan (penguat warna) dan jenis kain yang berbeda.

Baca Juga: Produk Tekstil Batik dan Tenun Buatan RI Siap Merambah Pasar di Afrika Selatan

Bahan tumbuhan yang digunakan yaitu daun dari enam spesies tumbuhan yang termasuk ke dalam tiga famili yaitu kayu putih (Eucalyptus sp.) dan pucuk merah (Syzygium oleana) dari famili Myrtaceae, kayu manis (Cinnamomum burnamii) dan alpukat (Persea americana) dari famili Lauraceae, lanang (Oroxylum indicum), dan jakaranda (Jacaranda mimosifoli) dari famili Bignoniaceae. Kabar baiknya, dengan dilakukan penelitian ini maka lahir beberapa pilihan yang dapat menjadi pewarna tekstil.

Tumbuhan lain yang berpotensi ini juga memberikan opsi warna baru selain biru. Warna yang dihasilkan tumbuhan-tumbuhan tersebut bernuansa earth tone yang sedang naik daun belakangan ini, seperti warna khaki, hijau olive, merah maroon, gold, hingga terracotta.

Penelitian Dewi Astari dari Departemen Pendidikan Tata Busana Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2019, juga menemukan potensi penggunaan kulit pohon Pelawan (Tristaniopsis merguensis Griff). Pohon ini umumnya banyak ditemukan pada hutan lindung di daerah Namang, Bangka Belitung.

Pewarna ini dapat diterapkan pada tiga bahan tekstil, yaitu katun, sutera, dan satin. Pembangkit warna yang digunakan mencakup bahan-bahan alami, seperti tawas, tunjung, dan kapur tohor. Menariknya, penggunaan kulit pohon pelawan juga menghasilkan ragam warna sesuai pembangkit warna yang dipilih. Contohnya, pencampuran ekstrak kulit pohon Pelawan dengan tawas pada katun akan menghasilkan warna salmon pink, pada sutera menghasilkan warna cokelat muda, serta warna olive pada bahan satin.

Dengan banyaknya penelitian akan potensi bahan alami dari tumbuhan untuk pewarnaan tekstil, pengusaha dalam negeri diharapkan dapat menjadikannya pilihan dalam proses produksi pakaian. Keberagaman warna yang dihasilkan tentu saja memberikan opsi yang tidak terbatas bagi para desainer lokal dalam berkreasi. Sangat menarik, bukan?

Baca Juga: Kilauan Serat dan Benang: Lintasan Menanjak Tekstil Asia Tenggara

Referensi:

https://dispertan.bantenprov.go.id/berita/mengenal-tanaman-indigofera

https://www.mongabay.co.id/2023/08/03/tarum-pewarna-indigo-alami-sejak-dulu-kala-dari-indonesia/

https://journal.ipb.ac.id/index.php/sumberdayahayati/article/view/43808/24840

https://english.uny.ac.id/article/research-pelawan-wood-skin-natural-textile-dyes

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CF
GI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini