Silat Besi dan Silat Beksi, Distorsi Penyebutan yang Bisa Berakibat Fatal

Silat Besi dan Silat Beksi, Distorsi Penyebutan yang Bisa Berakibat Fatal
info gambar utama

Ketika seorang Master Ceremony, seorang pejabat, atau yang berkesempatan bicara dalam ruang publik, kadangkala akan menjumpai situasi di mana lidahnya salah dalam penyebutan nama seseorang, sebuah tempat, atau nama apapun. Hal itu biasa dan dapat dimaklumi, tetapi untuk kali ini perlu diberi perhatian dan pemahaman.

Apalagi ketika menyebutkan nama Warisan Budaya Takbenda (WBTb), nama kota, atau nama lainnya. Siapa yang mau memaafkan dan memaklumi? Kalau sudah menyangkut warisan budaya dan kedaerahan, tentu akan menyangkut makna dan proses panjang sejarah yang tak boleh ditawar. Terlebih, sampai menimbulkan distorsi sejarah di masyarakat, bisa fatal!

Dua mata seni budaya dan satu kota yang akan dibahas dalam tulisan ini berasal dari pinggiran Jakarta. Keduanya rasanya cukup sering salah disebutkan dalam beberapa seremonial atau hajatan budaya. Silat Besi dan Silat Beksi bukanlah Silat Bekasi.

Mungkin ada silat dari Kota atau Kabupaten Bekasi, tetapi bukan Silat Bekasi namanya. Pokok ini lebih mengacu pada aliran dalam silat atau orang Betawi umumnya menyebut Maen Pukulan. Kelihatan serupa, tetapi tak sama.

Barangkali, itikad baik sang penyebut ketika membaca tulisan menyangkanya typo, padahal sesungguhnya itu bukan salah ketik dan harus dibacakan sebagaimana yang tertulis. Kelihatan sepele memang. Namun, ketika yang diucapkan itu salah, bagi audiens yang tak mengetahuinya akan menganggapnya sebagai kebenaran. Hal inilah yang perlu dijelaskan, dibaca kembali, dan dipahami secara saksama.

Dikutip dari laman instagram resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang, penetapan Silat Besi menjadi WBTb pada tahun 2022 lalu oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek RI) resmi menjadi kekayaan khazanah budaya Kota Tangerang.

Penamaannya pada sertifikat penetapan pun tertulis "Silat Besi Tangerang". Jelas, hal ini tentu berbeda pada penetapan "Silat Beksi" yang telah ditetapkan lebih dahulu menjadi WBTb pada tahun 2015 silam.

Pada waktu itu, penulisan pada sertifikat ialah "Silat Bekasi". Untungnya hal itu kemudian disadari dan dibetulkan oleh pemerintah dengan segera. Lalu apa yang membedakan? Tentu pembahasan soal budaya tidak terlepas dari sejarah dan tradisi. Bukan karena Silat Beksi ditetapkan lebih dahulu sehingga periode sejarahnya lebih awal. Justru sebaliknya, Silat Besi adalah akar sejarah Silat Beksi.

Mendorong Pencak Silat sebagai Cabor di Olimpiade 2036

Wawancara dengan Turmuji, pria keturunan generasi keempat dari Ki Jidan atau Tajidan menuturkan jika Ki Jidan ialah tokoh awal kemunculan Silat Beksi sebagaimana dewasa ini lebih familiar di masyarakat.

"Nama awalnya bukan Beksi, tapi Besi. Itu ada artinya, Besi adalah Bekep Sigep, simpel. Besi inilah yang diajarkan Ki Jidan kepada Lie Tjeng Hok meski usianya ketika mengajarkan sudah cukup senja," kata Turmuji pria berusia 60 tahun beberapa waktu lalu di kediamannya Gang Dukun, Dadap, Kabupaten Tangerang.

Menurutnya lagi, Silat Besi ini berbeda dengan pengertiannya yang dikembangkan Lie Tjeng Hok dan keluarga penerusnya. Namun, yang jelas makna "Besi" adalah bagaimana silat atau jurus menjadi media persaudaraan dan keakraban. Dengan demikian, ini akan berujung pada "Berbaktilah Engkau Kepada Sesama Insan" yang dipopulerkan dari Kampung Petukangan - Kebayoran.

Kalau dilihat dalam buku Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi karya G.j. Nawi tahun 2016, Silat Besi yang dimaksudkan pada Guru Lie Tjeng Hok lebih dekat pada dialek Tionghoa yakni Bhe Si yang dalam bahasa Hokkian berarti kuda-kuda.

Lie Tjeng Hok lahir pada tahun 1851, ia adalah generasi ketiga yang menetap di Kampung Dadap di mana kakeknya dahulu, Lie A Djam sebagai pemulanya yang hijrah dari Fukian, Tiongkok Selatan. Diketahui pula kalau Lie Tjeng Hok tidak hanya belajar pada Ki Jidan, tetapi juga ke Ki Miah atau Maimah. Selain itu, Lie Tjeng Hok juga disebutkan kalau ia belajar silat dari kakeknya melalui mimpi.

Lie Dji Tong, cucu dari Lie Tjeng Hok dalam sesi wawancara yang tayang di Youtube sejak 17 Maret 2016 dengan judul Sejarah Silat Be Sih mengakui jika dari ketiga guru itulah, Lie Tjeng Hok mengkreasikan jurus (penyebutan silat saat itu), belum disebut Besi atau Beksi.

Lie Dji Tong menambahkan penamaan Besi/Bhe Si yang diartikan kuda-kuda dan empat penjuru itu kemudian dipopulerkan oleh wartawan yang banyak meliput pada masa kakeknya.

Pencak Silat Makin Diminati, 11 Peserta Perguruan di Suriah Dapat Sabuk Biru

Perkembangan Besi rupanya makin meluas ketika satu-satunya murid pribumi Lie Tjeng Hok yaitu Marhali/Murhali turut andil mengajarkan Silat Besi, di mana sebelumnya hanya diajarkan pada keturunan Tionghoa saja.

Murhali atau yang dikenal Ki Marhali juga seorang warga Dadap yang pada perempat awal abad 20 atau 1920-an bertemu dengan Godjalih atau dikenal H. Jalih, seorang pemain rebana panggilan yang juga mahir dalam ilmu bela diri dari Kampung Petukangan.

Godjalih penasaran dengan silat yang dimiliki oleh Ki Marhali sehingga ia bernyali untuk mengadu keahliannya. Ketika wawancara langsung dengan Baba Dasik, murid Godjalih, ia menyatakan Godjalih kalah dalam adu keahlian jurus oleh Ki Marhali. "Begitu dia kalah, dia pulang ke rumah dan langsung meminta izin sama bapaknya, H. Gatong untuk belajar jurus ke Ki Marhali," kata Dasik beberapa waktu lalu.

Buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi karya H. Irwan Sjafi'ie dan Yahya Andi Saputra, 2002 menyebutkan kalau Godjalih juga belajar langsung kepada Lie Tjeng Hok. Kemahiran Godjalih dalam jurus di bawa pulang ke kampung halamannya di Petukangan.

Godjalih banyak dicoba oleh sahabatnya dan jago-jago dari luar kampungnya. Namun, semua itu bisa diatasinya. Dari situlah, ia memiliki banyak murid dan dikenal. Adapun murid yang menonjol dari Petukangan antara lain Ki Hasbullah, Ki Simin, dan Ki Muhammad Noer. Belakangan dikenal juga murid lainnya, bernama Minggu.

Periode di Kampung Petukangan cukup menentukan karena rumusan silat dari Godjalih diberi tambahan terutama peran dari Ki Hasbullah, Simin, dan Muhammad Noer yang kemudian dinamakan Beksi. Penuturan Baba Nafis ketika di wawancara, itu terjadi pada tahun 1966/67 pasca huru-hara ideologi dan gerakan komunisme.

"Waktu itu berembuk rapat guru-guru untuk ikut serta dalam turnamen pencak silat se-Jawa Barat. Petukangan masuk Jawa Barat waktu itu, kemudian rapat itu dicetuskan nama Beksi yang artinya Berbaktilah Engkau Kepada Sesama Insan," kata Nafis, salah satu peserta turnamen tersebut.

Silat Lipet Cipete, Menelisik Warisan Budaya yang Terselip di Tengah Kota

Beranjak dari keterangan di atas, dapat dipahami mengapa WBTb yang ditetapkan berbeda. Sejarah, tradisi yang terkandung dalam Silat Besi dan Silat Beksi memiliki kekhasannya masing-masing. Jika tradisi Silat Besi ada ritual Selamatan ketika tamat belajar, maka pada Silat Beksi ritual ngerosul ketika akan dilaksanakan proses belajar jurus Beksi.

Sejatinya, gerakan jurus keduanya tidak jauh berbeda karena masih dalam satu pongkol atau guru yang sama. Ada irisan sejarah dan tradisi yang bukan dikatakan berbeda, tetapi sebagai kekayaan khazanah budaya masyarakat Betawi. Jadi, jangan salah sebut lagi, ya!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini