Silat Lipet Cipete, Menelisik Warisan Budaya yang Terselip di Tengah Kota

Silat Lipet Cipete, Menelisik Warisan Budaya yang Terselip di Tengah Kota
info gambar utama

Maen pukul atau silat dalam tradisi budaya Betawi memiliki banyak ragam. Gusman J. Nawi menuliskan dalam bukunya, "Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi", aliran silat Betawi baru berjumlah 317, yang disebutkan dalam bukunya. Kemudian, masih ada silat-silat lain yang belum terdokumentasikan.

Silat Lipet Cipete menjadi salah satu yang belum dibahas dalam bukunya tersebut. Berlokasi di Jalan H. Tholib, Kelurahan Cipete Utara, Jakarta Selatan, kami menyambangi sebuah perguruan Silat Lipet Cipete yang terinformasi dari seorang sahabat.

"Maenan kita kan maenan ngumpet sebenernya. Agak susah mau dikembangin karena ada benturan-benturan pemahamanlah, biasa. Dulu namanya Haikun, cuma kalo ditanya Haikunnya mana? Nggak ada, yang ada ketemunya Lipet, Kata Bang Iman, Cucu H. Tholib, warga asli Cipete Utara sekaligus anggota Silat Lipet."

Cipete Utara seolah biasa saja kelihatannya, tetapi menjadi tempat bersejarah di hati masyarakat. Ia meninggalkan memori lama yang selalu hidup kembali di pikiran warganya. Walau agak kabur, asal muasal nama Cipete dapat dianalisis bahwa Cipete berasal dari kata Ci dan Pete.

Indonesia di Persimpangan: Menghadapi Tantangan Game Spekulasi Online yang Meningkat

Ci menunjukkan air, kali, sungai, dan Pete adalah pohon pete. Berdasarkan informasi turun-temurun, Silat Cipete ini paling tidak sudah ada sejak 1880-an. Dipelopori dari H. Raiman ke H. Mohamad Naim, lalu ke Lurah Majid. Selanjutnya diwariskan kepada H. Rohmani dan Babeh Sanusi, yang baru pada tahun 2021 lalu tutup usia.

"Beliau meninggal, kitalah yang berusaha melestarikan. Menurut guru, H. Raiman itu orang perantauan julukannya Ki Belayang. Suka kemana-kemana orangnya," kata Iman.

Selaras dengan pernyataan itu, Yasin, narasumber yang juga murid pertama Babeh Sanusi, ketika ditemui di padepokannya menuturkan jika dari gurunya dahulu ada tapak tilas Cipete. Dari sini, bisa dilihat ia datang dari Cirebon, yang mungkin juga singgah ke Ciawi, atau ke Cimande, lalu singgah ke Cipete dan di sinilah dia mengajar.

"Soalnya kan, orang-orang dulu kalau jalan jauh-jauh. Tapi kalo dari mimpi saya si dia dari Cirebon walaupun ditelusurin makamnya belom ketemu, itu bisa diliat dari ajaran amalan-amalannya yang identik Cirebon," sebut Yasin, pria asli Cipete kelahiran tahun 1970.

Penamaan Silat Lipet Cipete berasal dari kata Lipet yang diambil dari gerakan pembukaan pada silatnya. Adapun nama Cipete mengidentifikasi bahwa Silat Lipet ini berasal dari Kampung Cipete. Pada masa lalu, orang belajar silat susah sekali karena harus kucing-kucingan (bermain rahasia) dengan kaum penjajah supaya tidak dianggap mengganggu ketertiban rust en orde.

"Dulu kalau belajarnya pada sambil bawa pacul di kebon-kebon, jadi kalo ada penjajah mantau liat, pada pura-pura macul deh, langsung," terang Iman dengan aksen daerahnya yang khas.

Sebelumnya, Silat Lipet dikenal dengan nam Haikun. Namun, sebutan ini kemudian ditinggalkan dan dipilihlah nama Lipet yang diambil dari gerakan jurus pembukanya.

Pandangan berbeda tentang Haikun diutarakan oleh Yasin. Ia berpendapat bahwa Haikun, Lipet, dan lainnya pernah tergabung dalam satu wadah organisasi, tetapi hanya Lipet yang lestari.

"Haikun itu kan pasangan, makanya kalau ditanya Haikunnya mana? Nggak ada, maka diambilah Lipet. Kalo maenan kita maenan rapet, nunggu lawan nyerang, sifatnya ngonci," imbuhnya.

Ibarat seorang pelajar ingin memulai sekolah, ia harus mendaftar dan menuntaskan yang dipersayaratkan. Begitupun dalam Silat Lipet, terdapat syarat yang dinamakan uang batu. Perlu waktu kurang lebih satu tahun dalam proses belajar silat ini, itupun khusus bagi murid yang betul-betul secara serius dalam mempelajarinya.

Northern Illinois University Akan Bangun Kampus Pascasarjana di IKN

"Uang batu itu istilahnya penajam. Masa kita belajar gak ada apresiasi sama guru, ya supaya lancar latihannya. Bentuknya uang bukan barang. Tapi kalau murid nggak mampu itu nggak apa-apa, yang penting diomongin, jadi ikhlas," tambah Yasin, silih berganti menjawab.

Memang tidak begitu banyak jurus dalam Silat Lipet, tetapi perlu ketekunan dan konsisten dalam menguasai gerakan jurusnya. Jumlah gerakan jurus dalam Silat Lipet Cipete terdapat enam antara lain Pertama Jurus Kin 1, Kin 2, Lapis 3, Kin 3, Kin 4, baru setelah itu pengurutan.

"Ngurut ini sebagai tanda ibarat orang sekolah ujiannya lulus. Kalau yang namanya Kin itu hanya kembangan, pongkolnya itu ada di jurus, makanya jurus kudu dimatengin bener-bener. Kalau dasarnya bener kesononya gampang," terang Iman.

Prosesi ngurut menjadi sisi menarik dari Silat Cipete yang biasa dilakukan pada bulan maulid Nabi Muhammad.

"Bulan mulud, hari kelahiran nabi, jadi kita ngikutin ajaran-ajaran Islam. Tinggal kita nyari tanggal antara malam ganjil malam kesepuluh sampai malam kelima belas, itu bulan sedang bagus-bagusnya. lewat dari itu bukan nggak boleh dan nggak bisa, karena kan kita nyari yang paling bagusnya. makanya kita jauh hari nyari tanggal biar pas," lanjutnya lagi.

Prosesi pengurutan langsung dilakukan oleh guru kepada murid dengan membalurkan rempah-rempah yang sudah menjadi satu dalam sebuah wadah yang berbahan dasar minyak kayu putih. Baru setelah pengurutan selesai dilanjutkan dengan ruwahan, tahlilan, maulid, dan makan bersama.

"Bahan-bahan buat ngurut itu rempah-rempah ada kayu manis, kayu putih, ya pahit-pahitan lah semuanya, macam-macam jadi satu dijemur, ditumbuk ampe alus. Ada juga kembang-kembangnya tujuh rupa, dan intinya kembang kantil," sebut Yasin.

Belum selesai sampai di situ, ternyata menurut Yasin, ketika dirinya belajar dengan Babeh Sanusi, terdapat puasa beserta amalan shalawat yang harus dikerjakan.

"Ada puasa juga setelah ngurut, biasanya muasain amalan-amalan, yang pertama seminggu, yang selanjutnya senin kamis, dan emang larinya ke selawat semua jadi nggak nyimpang-nyimpang ke yang lain," terangnya. Sebagai informasi, Yasin murid generasi pertama Babeh Sanusi.

Bocoran Strategi Timnas Indonesia untuk Piala Asia 2023: Serangan Balik Jadi Senjata

Silat dan agama bagi orang Betawi memang ibarat golok dengan sarung. Oleh karenanya, keduanya tidak dapat dipisahkan supaya tak menjadi bahaya tetapi justru menjadi berguna pada tempatnya.

"Dulu, saya belajar di tempat gelap, di dalam rumah, lampu dimatiin. Makanya kita punya saudara, tidak tahu kalau dia punya mainan. itu dulu awal tahun 1980-an, IPSI udah berkembang, tapi kami belajar masih ngumpet," kenang Yasin.

Iman dan Yasin selalu terngiang-ngiang pesan guru dan pendahulunya bahwa Silat Lipet Cipete harus diteruskan, harus dilestarikan, agar generasi baru yang tumbuh sadar akan nilai budaya dan sarat paham dengan pesan moral yang selalu disampaikan ketika pengajaran silat.

"Pesan guru ya, jangan tinggalin solat. Percuma lu amalan-amalan lu amalin tapi kalo lu buat maksiat, ilang semua terus punya hati yang ikhlas bukan buat jago-jagoan. Anak laki kan langkahnya panjang, nggak mungkin terus-terusan tinggal di kampung sendiri, pasti keluar makanya dibekali pakai silat ini begitu kata Babeh Sanusi," kata Iman dan Yasin silih berganti menerangkan dengan logat daerahnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini