Mengenal Enggang Gading, Maskot Provinsi Kalimantan Barat yang Punya Nilai Filosofis

Mengenal Enggang Gading, Maskot Provinsi Kalimantan Barat yang Punya Nilai Filosofis
info gambar utama

Jika Pulau Jawa memiliki elang Jawa, Pulau Papua terkenal dengan burung cendrawasih, Kalimantan juga tak mau kalah dengan burung khas yang ada di wilayah mereka. Pulau yang juga dikenal dengan sebutan Borneo ini memiliki salah satu burung terbesar di dunia yang bernama burung enggang gading. Satwa yang satu ini bahkan disebut-sebut bisa tumbuh sampai setinggi manusia dewasa.

Dari total 62 spesies burung enggang di dunia, 13 spesies di antaranya dapat ditemukan di Indonesia. Namun saat ini, semuanya berada dalam status yang dilindungi oleh pemerintah karena populasinya yang semakin berkurang. Salah satunya adalah burung enggang gading yang bisa ditemukan di hutan Kalimantan Barat.

Burung yang memiliki nama latin Rhinoplax vigil ini juga biasa disebut dengan nama rangkong gading oleh masyarakat Suku Dayak. Enggang gading bahkan telah dipilih sebagai maskot Kalimantan Barat melalui surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri dan Surat Keputusan Gubernur Kalbar mengenai penetapan identitas flora dan fauna yang dikeluarkan pada tahun 1990.

Burung Enggang dan Mitos Masyarakat Dayak

Ciri, Habitat, dan Makanan Burung Enggang Gading

Rangkong gading merupakan spesies burung enggang yang terbesar di Asia dengan panjang tubuh berkisar antara 65—170cm dan berat sekitar 290—4200gr. Burung ini sangat mudah dikenali, selain karena badannya yang besar, mereka juga memiliki paruh yang melengkung dan panjang.

Di atas paruhnya, terdapat pula balung atau casque yang tidak dimiliki oleh burung lain dan berfungsi sebagai ruang dengung suara. Perbedaan enggang gading dengan spesies enggang lainnya adalah balungnya yang lebih keras dan padat.

Enggang gading memiliki warna dasar bulu berwarna hitam dengan bagian perut, ekor, dan kaki berwarna putih. Ketika masih muda, paruh enggang gading berwarna putih juga. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, paruh dan balung akan berubah menjadi oranye atau merah.

Rangkong jantan biasanya memiliki warna yang lebih cerah jika dibandingkan betinanya. Selain struktur tubuhnya yang khas, enggang juga memiliki suara yang keras dan melengking sehingga bisa terdengar hingga berkilo-kilo meter jauhnya.

Rangkong termasuk hewan omnivora karena mereka biasa mengkonsumsi buah-buahan, maupun hewan kecil seperti tikus, serangga, dan reptil. Mereka bisa hidup di alam hingga usia 35—40 tahun. Satwa ini juga dikenal sebagai makhluk yang setia, karena setiap individu hanya akan memilki satu pasangan.

Berbeda dengan rangkong cula yang bisa hidup di hutan sekunder, enggang gading terbiasa tinggal di hutan primer yang berisi pohon-pohon sangat besar dan jauh dari manusia. Mereka biasa membuat sarang di lubang pohon yang berada di ketinggian 20—50 meter dari permukaan tanah. Lubang ini biasanya terbentuk dari bekas patahan batang atau sisa lubang dari hewan lain yang kemudian mengalami proses pelapukan.

Burung Beo Nias, Benarkah Hanya Ditemukan di Pulau Nias?

Filosofi Enggang Gading menurut Masyarakat Suku Dayak

Burung enggang pada umumnya dihormati oleh masyarakat Suku Dayak, tetapi enggang gading yang memiliki tubuh paling besar di antara spesies rangkong lainnya dianggap memiliki filosofi yang tinggi bagi suku ini. Mereka mengganggap hewan ini sebagai Panglima Burung yang berkaitan kental dengan budaya dan adat istiadat penduduk lokal.

Memiliki badan yang besar, rangkong melambangkan kegagahan suku tersebut. Sayapnya yang lebar dan besar melambangkan sosok pemimpin yang selalu melindungi rakyatnya. Sedangkan ekor rangkong yang panjang dan menjuntai, melambangkan kemakmuran bagi Suku Dayak.

Namun selain karena fisiknya, burung ini juga dianggap memiliki karakter yang baik dan sangat menginspirasi bagi kehidupan sehari-hari. Seperti sifat loyal dan tanggung jawab, diambil dari kebiasaan enggang yang hanya setia pada satu pasangan.

Enggang juga tidak pernah mengambil mangsa yang berada di tanah, sehingga dianggap menggambarkan kesucian dan ketidakserakahan. Suara enggang yang keras dan melengking pun melambangkan ketegasan dan keberanian dalam menjalani kehidupan.

Oleh karena itulah, masyarakat Dayak menganggap enggang merupakan hewan yang sakral, tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Di lingkungan suku Dayak, biasanya terdapat banyak artefak dan kesenian berbentuk burung yang mereka anggap memiliki makna filosofis ini.

Sayangnya sejak akhir tahun 2015, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengklasifikasikan enggang gading sebagai salah satu satwa dengan status status critical endangered atau terancam punah, yang merupakan satu tahap menuju kepunahan.

Hal ini disebabkan oleh perburuan liar yang mengincar balung enggang untuk dijadikan aksesoris, dan juga perdagangan illegal dengan tujuan untuk dipelihara. Ditambah lagi kemampuan perkembangbiakan rangkong gading yang lambat dan tingkat kesetiaan dengan satu pasangan, serta hutan yang semakin sedikit membuat satwa ini perlahan kehilangan habitatnya.

64 Ekor Burung yang Terancam Punah Dilepasliarkan Demi Jaga Ekosistem Kota Jakarta

Sumber:

  • https://rangkong.org/ciri-ciri-umum/morfologi/#content
  • https://rangkong.org/ciri-ciri-umum/ancaman/#content
  • https://rangkong.org/ciri-ciri-umum/pakan/#content
  • https://rangkong.org/berita/enggang-gading-si-burung-besar-maskot-kalimantan-barat
  • https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/665/mengenal-burung-enggang-sebagai-salah-satu-filosofi-kehidupan-suku-dayak
  • https://www.rri.co.id/features/496691/burung-enggang-yang-legendaris-dikeramatkan-suku-dayak

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AL
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini