Tenun Songke, Kearifan Lokal Khas Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur

Tenun Songke, Kearifan Lokal Khas Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur
info gambar utama

Indonesia memiliki kearifan lokal yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kearifan lokal tersebut diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain yang dilakukan lewat warisan budaya benda dan budaya tak benda.

Salah satu wujud dari kearifan lokal tersebut merupakan kain tenun. Banyak wilayah di Indonesia yang memiliki kain tenun sebagai kearifan lokal khas daerah. Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, merupakan satu dari sekian banyak yang melestarikan kain songke sebagai kearifan lokal berupa kerajinan yang terus diturunkan hingga saat ini.

Mengenal Kain Tenun Songke

Kain songke merupakan kain tenun tradisional yang berasal dari Kabupaten Manggarai Barat, Kecamatan Reok, yang terletak di sisi barat Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Kain yang dihasilkan oleh ini membuat kedudukan tenun songke dianggap penting oleh masyarakat.

Kisah Para Perajin Tenun Lurik dari Klaten yang Tak Memelas Digempur Zaman

Kain songke yang oleh masyarakat lokal dikenal dengan nama towe songke atau nae songke juga sering disebut sebagai lipa. Kain songke merupakan tenun asli khas Manggarai yang jika dipakai oleh laki-laki disebut tengge towe songke, sementara jika dipakai oleh perempuan disebut sebagai deng towe songke.

Penggunaan dan Fungsi Kain Tenun Songke

Secara adat, kain songke wajib digunakan oleh masyarakat di wilayah Manggarai dalam acara-acara penting seperti kenduri (penti), membuka ladang baru (rending), dan musyawarah (nempung). Kain tersebut juga dikenakan oleh para pertarung saat tarian caci, sebagai mas kawin (belis) dan digunakan sebagai selendang atau kain upacara penyambutan tamu (selempang tuba meka).

Tidak hanya itu, kain songke juga digunakan sebagai mata pencaharian untuk memenuhi kehidupan sehari-hari sebab memiliki nilai jual yang sangat tinggi.

Kain tenun tersebut menjadi kelengkapan setiap upacara adat sudah sejak zaman dahulu digunakan dalam kehidupan sehari-hari, seperti saat lejang (berkumpul) dan laat (menjenguk atau berkunjung). Sebabnya, kain songke dianggap memiliki nilai kesopanan atau di'ab'aweki (pembawaan diri yang baik).

Tidak hanya itu, kain ini juga digunakan sebagai alat perantara untuk mengusir roh jahat atau setan dalam proses penyembuhan orang sakit. Hal ini karena keyakinan bahwas songke yang terbuat dari tenunan benang berbahan dasar kapas yang mempunyai harum yang khas sehingga membantu dalam proses pengusiran setan.

Dalam perspektif pengamat adat, kain songke merupakan bagian dari ritus budaya atau upacara adat yang melindungi diri atau wengko weki dari panas dan dingin. Inilah mengapa, ketika rapat hingga larut malam, mereka yang membawa anak memanfaatkan kain itu sebagai kain untuk menggendong anak ketika hendak pulang ke rumah.

Dalam hal lainnya, Kain tenun tersebut juga digunakan oleh masyarakat di wilayah Manggarai ketika sedang menjalankan ibadah ke gereja. Para laki-laki memadupadankan kain Tenun Songke dengan atasan putih dan bawahan tengge songke. Sementara itu, untuk perempuan menggunakan deng songke yang dipadukan dengan kebaya atau brokat.

Dari segi busana untuk tarian daerah, kain tenun songke digunakan dalam tarian caci, congka sae, rungkuk alu, dan sanda. Sementara dari segi pariwisata dan ekonomi, kain Tenun Songke dimanfaatkan sebagai souvenir atau oleh-oleh yang dibeli oleh para wisatawan.

Kain Tenun Ikat Iban Pua Kumbu dan Kaitannya dengan Kedudukan Wanita Iban

Ragam Motif Kain Tenun Songke

Kain tenun songke memiliki motif dan corak yang beraneka ragam. Warna hitam digunakan sebagai warna dasar yang kemudian diwarnai oleh ragam corak dan motif. Tidak sembarang corak dapat digunakan, sebab kain ini sebagai bentuk penghormatan terhadap kebudayaan memiliki simbol yang memiliki arti dan filosofi tersendiri.

Adapun beberapa motif tersebut ialah:

  1. Motif Su'i. Motif Su'i yang diwarnai corak garis-garis ini diartikan sebagai bahwa kehidupan masyarakat Manggarai dibatasi oleh peraturan dan hukum adat yang tidak boleh dilanggar.
  2. Motif Mata Manuk. Motif Mata Manuk ini memiliki kaitan yang erat dengan Tuhan sebagai maha melihat yang mengetahui segala perbuatan yang dilakukan oleh hambanya. Mata Manuk juga disimbolkan sebagai sarana persembahan kepada sang pencipta saat teing hang (pemberian makan leluhur), wuat wa'i (pengumpulan dana pendidikan), penti (pesta adat sykuran atas hasil panen), kelas (upacara penghormatan bagi orang yang sudah meninggal), dan segala ritus adat yang ada di wilayah Manggarai.
  3. Motif Wela Ngkaweng. Wela diartikan sebagai bunga, sementara ngakweng merupakan jenis tanaman herbal yang dijadikan sebagai obat khusus untuk hewan ternak. Motif Wela Ngkaweng ini memiliki makna simbolik sebagai bentuk perwujudan kehidupan manusia yang tidak lepas dari alam semesta sepanjang manusia itu hidup.
  4. Motif Wela Runu. Motif Wela Runu digambarkan sebagai motif jenis bunga runu berukuran kecil yang mengandung arti bahwa setiap kehidupan yang dijalani oleh manusia memiliki pasti memiliki manfaat dan keindahannya tersendiri.
  5. Motif Ranggong atau laba-laba. Bagi masyarakat Manggarai, laba-laba dianggap sebagai hewan yang ulet dan pekerja keras. Laba-laba juga dinilai memiliki kejujuran yang membuatnya disenangi dan dimuliakan oleh disekitar.
  6. Motif Natala. Motif Natala diartikan sebagai bintang yang memiliki makna bahwa ketika menjalani kehidupan, masyarakat khususnya di wilayah Manggarai diharapkan dapat memiliki harapan setinggi bintang di langit.

Pelestarian Kain Tenun Songke oleh Masyarakat di Wilayah Manggarai

Tradisi tenun sebagai warisan budaya serta pengetahuan telah tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat tradisional di wilayah Manggarai. Tenun yang awalnya dibuat untuk mengisi waktu luang setelah bercocok tanam dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, kini telah berkembang guna menciptakan daya cipta dan kreasi yang tinggi.

Penggabungan antara adat, kreativitas, dan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat ketika hendak mengolah kain tenun sebagai warisan budaya menjadi landasan dasar dalam proses melestarikan dan mempertahankan kain ini sebagai lambang dari kehidupan masyarakat di wilayah Manggarai.

Unsur dan nilai-nilai sosial, geografi, serta budaya yang terkandung di dalam kain tenun songke sebagai warisan budaya dari nenek moyang harus terus dikembangkan, dilestarikan, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian, tidak punah digerus oleh perkembangan zaman.

Mengenal Tenun Lurik, Merawat dan Menyebarkan Kampanye Wastra Nusantara

Referensi:

  • Hofman, Oktavianus et al. (2022) Peran Masyarakat Dalam Mengembangkan Kain Songke Untuk Meningkatkan Kondisi Sosial Ekonomi Di Desa Ruis Kabupaten Manggarai. Dinamika Sosial: Jurnal Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. e-ISSN: 2828-4763
    Vol. 1, No. 1 (2022): 32-38.
    https://urj.uin-malang.ac.id/index.php/dsjpips.
  • Suparna, Putu et al. (2023). Makna Simbolik Kain Tenun Songke Desa Batu Cermin Manggarai Barat Flores. Jurnal Sinestesia, Vol. 13, No. 1. https://www.sinestesia.pustaka.my.id/journal/article/view/355/164.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PZ
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini