Generasi Beauty 4.0, Memupuk Budaya Insecure

Generasi Beauty 4.0, Memupuk Budaya Insecure
info gambar utama

"Kayanya kalo kamu putih cantik deh," "Kurusan sedikit lagi pasti cantik," "Kamu cantik, tapi kalo rambutnya lurus lebih enak dipandang.”

Ketiga ungkapan tersebut merupakan contoh sedikit dari komentar yang sering dilontarkan kepada perempuan di media sosial. Ketikan basa – basi bernada perintah tersebut nyatanya telah membentuk sebuah beauty standard di dalam media sosial. Tidak dimungkiri komentar datang tidak hanya dari pria saja, melainkan kaum perempuan itu sendiri.

Beauty 4.0, sebutan sebuah peristiwa di mana perkembangan teknologi digital, yaitu media sosial, telah memengaruhi perkembangan standar kecantikan masyarakat melalui komentar–komentar netizen di X, Facebook, TikTok, Instagram, dan lainnya.

Komentar–komentar tersebut secara tidak langsung menancapkan dalam pemikiran, bahwasanya hal itu penting untuk dilakukan demi mendapatkan apresiasi, pengakuan, dan eksistensi di media sosial.

Kemudian, komentar juga bisa memengaruhi keadaan mental seseorang. Inilah yang disebut sebagai insecure, di mana seseorang merasa tidak aman, cemas, dan takut secara berlebihan, yang dapat terjadi dalam berbagai situasi. Sebab perisitiwa insecure erat kaitannya dengan penampilan fisik seseorang.

Penelitian dari Tania & Ramadhan (2020) mengatakan bahwa Instagram adalah salah satu tempat di mana netizen menilai seseorang melalui komentar, hal ini bisa memicu perasaan insecure karena merujuk pada penghinaan dan perasaan dihakimi yang mungkin dirasakan seseorang.

Umumnya, pengguna internet dalam memberikan komentar tidak memiliki landasan yang kuat, karena sering kali mereka hanya melihat tampilan fisik seseorang. Jika tidak menyukai apa yang mereka lihat, mereka cenderung memberikan komentar yang tidak sopan, hal ini tentu dapat merugikan orang lain.

Oleh karena itu, tindakan komentar dari netizen dapat memicu perasaan kurang percaya diri pada seseorang. Orang yang merasa insecure cenderung menunjukkan perilaku menarik diri dari lingkungan sekitarnya, mungkin enggan berbicara di depan umum, menghindari interaksi sosial, dan lebih sedikit terlibat dalam kegiatan atau dalam kelompok.

Akibatnya, perasaan insecure ini dapat menyebabkan gangguan mental seperti kecemasan berlebih, gangguan makan, depresi, dan masalah terkait citra tubuh. Selain itu, komentar-komentar negatif tersebut memunculkan dan mendorong perempuan untuk bersaing demi mencapai standar kecantikan.

Menggali Kecantikan ala Korea Selatan: Seperti Apa Standar Kecantikan di Korea Selatan?

Dalam usahanya, mereka menggunakan berbagai produk kecantikan ekstrem dan mencari solusi instan, bahkan dengan mengubah bentuk tubuh atau wajah. Namun, proses ini seringkali menyakitkan, termasuk melalui operasi plastik atau reaksi buruk terhadap produk skincare yang tidak cocok.

Sayangnya, produsen kecantikan yang tidak bertanggung jawab sering memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan produk instan tanpa memerhatikan kesehatan, keamanan, atau kehalalan. Ini membentuk siklus yang buruk di mana standar kecantikan yang tidak realistis, produk berbahaya, dan media yang terus mempromosikannya saling memperkuat. Akibatnya, perempuan terjebak dalam siklus yang merugikan ini.

Ternyata, standar kecantikan ini telah menjadi fokus perhatian kaum feminis sejak tahun 1990-an. Meskipun gerakan feminis telah berhasil memperoleh hak-hak hukum, reproduksi, dan pendidikan yang lebih tinggi, perempuan masih terikat pada tekanan citra penampilan, termasuk aspek tubuh, wajah, rambut, dan pakaian

Menurut Naomi Wolf dalam bukunya "The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women", mitos kecantikan sebenarnya tidaklah berasal dari sifat alami atau estetika yang ditentukan oleh Tuhan, melainkan dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional, politik, ekonomi, dan kontrol seksual.

Akhirnya, standar kecantikan akan terus berkembang selama netizen tidak memerhatikan cara mereka berkomentar terhadap penampilan orang lain di media sosial. Ini akan terus memicu perasaan insecure pada seseorang, dan cenderung memaksakan diri untuk memenuhi harapan orang lain terhadap penampilan fisiknya karena sulit menerima kekurangan mereka sendiri.

Solusinya ialah jika seseorang mengalami komentar negatif tentang penampilan mereka di media sosial dan merasa insecure, langkah pertama yang bisa diambil adalah memblokir komentar tersebut dan mengurangi interaksi di platform media sosial sebanyak mungkin.

Sering Merasa Insecure Dengan Diri Sendiri? Berikut Cara Mengatasinya

Referensi

  • Azizah, S.N. (2020) Pengaruh Dukungan Atasan, Internal Locus of Control dan Optimisme terhadap Job Insecurity, Valid Jurnal Ilmiah.
  • Greenberg, N. et al. (2020) ‘Managing mental health challenges faced by healthcare workers during covid-19 pandemic’, The BMJ. BMJ Publishing Group. Available at: https://doi.org/10.1136/bmj.m1211.
  • Juniman, P.T. (2019) Dilema Beauty 4.0, Saat Standar Cantik ada di tangan Netizen’. CNN Indonesia. Tersedia di https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190216095625-277-369797/dilema-beauty-40-saat-standar-cantik-ada-di-tangan-netizen.
  • Rahmah, R.A. (2020) ‘Perasaan Insecure Pada Masa Covid-19 Mengakibatkan Maraknya Orang Menjual Produk Kecantikan’, SocArXiv [Preprint].
  • Tania, S.R. and Ramadhan, F.V. (2020) ‘Analisis Deskriptif Komentar Warganet di Sosial Media Instagram yang Membuat Orang Merasa Insecure’, Academia Edu [Preprint].
  • Wolf, N. (1991) The Beauty Myth: How Images of Beauty are Used Against Women. London: Vintage Books.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini