Menggaungkan World Water Forum 2024, Kenali Kelompok Lokal Penjaga Mata Air

Menggaungkan World Water Forum 2024, Kenali Kelompok Lokal Penjaga Mata Air
info gambar utama

Mata air disebut-sebut sebagai awal peradaban. Namun, ketersediaan air bersih yang semakin hari semakin sulit dan dirasakan hampir seluruh penjuru dunia menjadi masalah yang sangat krusial. Hal inilah yang menjadi latar belakang diadakannya konferensi tingkat dunia, yaitu World Water Forum 2024.

Bukan hanya di forum-forum besar atau karena keriuhan ini, berbagai kelompok di Nusantara pun hingga tahun ini juga sudah turut andil untuk melestarikan air dan menjaga bumi.

Sebelum berangkat pada forum-forum yang besar, mari mengenali kelompok-kelompok lokal yang telah berdedikasi dan patut diberikan apresiasi sebagai pelestari.

Indonesia Bawa Semangat Perdamaian dalam Diplomasi Air di 10th World Water Forum

Resan Gunungkidul

"Gegandhengan-rerentengan gugur-gunung sambat-sinambatan" menjaga dan melestarikan "resan" (pohon penjaga), sumber-air (kali, sendang-sumber, beji, sumur, telaga dan keluarganya), gunung-goa, satwa, serta unsur kebumian dan ilmu pengetahuan Gunungkidul lainnya."

Visi ini tampak pada halaman pertama websiteresangunungkidul.com. Kelompok Resan Gunungkidul, merupakan komunitas yang sudah cukup populer keberadaanya. Berbagai media telah memberitakan daya dan hasil nyata para pegiatnya, khususnya di Gunungkidul.

Kelompok ini terdiri dari pemuda yang berkumpul dan berjejaring yang memiliki kesamaan visi, yaitu konservasi sumber mata air. Nama resan sendiri diambil dari bahasa Jawa Kawi reksa (menjaga) dan wreksa (pohon besar). Pemaknaannya ditujukan untuk pohon-pohon besar yang hidup ratusan tahun dan berfungsi untuk meningkatkan resapan air dalam tanah, serta memiliki sistem perakaran untuk menjaga kontinuitas aliran mata air.

Dalam makna yang mendalam, resan adalah penjaga adab dan ilmu leluhur. Sedangkan menurut kepercayaan setempat, resan ketika dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya manusia akan hidup dalam kemakmuran. Adapun pendekatan secara adat, historis, spiritual, dan budaya lekat dengan kelompok Resan Gunungkidul.

Resan Gunungkidul, Jaga Mata Air dengan Melestarikan Pohon

Kebon Tamantirto

Kebon Tamantirto adalah wilayah konservasi mata air dan sungai, yang diinisiasi sepasang suami istri, yakni Dimas dan Rina. Keluarga ini memiliki pandangan bahwa mata air ialah ibu dari planet Bumi. Untuk fokusnya sendiri, Kebon Tamantirto memperjuangkan tidak adanya privatisasi air tanah untuk produksi AMDK (Air Minum Dalam Kemasan).

Pada awalnya, dulunya tanah yang mereka merupakan merupakan "lahan tidur". Maksudnya adalah pasangan ini menemukan dua mata air yang masih mengalir. Namun, terbengkalai dan tertutup sampah secara menahun. Karena itulah, mereka merawat dan membuatnya menjadi ruang terbuka hijau yang produktif dan tentunya tetap bermuara pada kelestarian mata air.

Dari sini, masyarakat sakhirnya sadar dan saling bahu-membahu menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya. Mereka merintis program ‘Resik Kali’ dengan kegiatan membersihkan dan menanam tanaman di sekitar sungai. Aktivitas tersebut telah dilakukan di Sungai Bedog dan 13 sungai lainnya di Yogyakarta.

Bukan hanya untuk orang dewasa, Kebun Tamartito juga mengajak anak-anak untuk menebar ikan di sungai. Masyarakat mempunyai harapan bahwa air jangan sampai menjadi rebutan dan menyebabkan konflik.

Di sisi lain, kini keluarga Dimas dan Rina selama 4 tahun sudah tidak memasak dan membeli air. Sebab, mereka mengonsumsi air langsung minum. Menurut Dimas pada wawancara di YouTube Oleh Mandat, ia mengatakan, “Kami percaya dengan sumur kami dan tidak percaya dengan (sumur-sumur) yang di luar. Kami percaya pada sumur kami.”

Kelompok Kepuh

Pada tahun 2000an, di Desa Panglungan, Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, mata air di sana sempat semakin menyusut, disusul terjadinya konflik pasca hutan di daerahnya habis dijarah oleh oknum. Ketika itu, pohon durian dan kemiri ditebang hingga habis. Padahal, upaya penanaman terus dilakukan, meskipun penebangan juga terus merajalela.

Hingga akhirnya pada tahun 2010, Wagisan bersama masyarakat setempat membentuk Kelompok Kepuh (Kelompok Pelindung Hutan Pelestari Mata Air). Kegiatan Kelompok Kepuh di antaranya adalah melakukan konservasi, pendidikan lingkungan, dan ekowisata.

Sebagai informasi, di daerah Wonosalam ini, setidaknya ada sekitar 120 mata air yang tersebar di kecamatan Wonosalam yang semuanya mengaliri Sungai Brantas. Padahal, di Jawa Timur, Sungai Brantas merupakan sungai yang cukup besar sehingga keberadaannya sangat krusial.

Pemaparan di atas hanyalah beberapa dari sekian kelompok-kelompok pelestari yang berdedikasi di lingkungannya sendiri. Hal-hal semacam ini memang harus dimulai dari diri kita sendiri dan melalui hal kecil yang bisa dilakukan secepatnya. Yuk, kita turut serta berkontribusi menciptakan dunia yang lestari!

Sumber:

  • https://resangunungkidul.com.
  • https://youtu.be/4F656wm8oMQ?si=yYHsPgXgDthBNcnr
  • https://youtu.be/EOUh0IdIugY?si=CKGegU87GAH9aS9B

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RP
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini