Makna dan Prosesi Mandi Safar, Tradisi Penolak Bala di Masyarakat Melayu

Makna dan Prosesi Mandi Safar, Tradisi Penolak Bala di Masyarakat Melayu
info gambar utama

Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia melaksanakan tradisi mandi safar pada bulan Safar, atau bulan kedua pada kalender Hijriyah.

Tradisi mandi safar umumnya dilakukan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, atau sebagian masyarakat menyebutnya dengan Rebo Wekasan.

Ritual rutin yang diselenggarakan setiap tahun itu biasanya dihadiri dan diikuti oleh ratusan bahkan ribuan warga masyarakat yang datang dari desa-desa sekitar maupun daerah lainnya.

Sejarah Mandi Safar

Dikutip dari bengkalis.go.id, salah satu pengurus Lembaga Adat Melayu di Pulau Rupat Utara, upacara mandi safar dimulai sejak tahun 1950. Tradisi ini dibawa dari pesisir di Malaysia.

Masyarakat Rupat Utara membaur dengan masyarakat Malaysia karena mereka berasal dari satu etnis, yakni Melayu. Tradisi mandi safar sebetulnya telah dilakukan sejak 1920-an, tetapi pelaksanaannya di rumah masing-masing.

Makna mandi safar

Masyarakat percaya bahwa tradisi mandi safar dapat mencegah dan menghilangkan segala macam kesialan, wabah penyakit, serta musibah yang akan datang, khususnya pada bulan Safar.

Hal itu didasarkan pada kepercayaan masyarakat pada Allah SWT yang akan menurunkan ujian atau cobaan kepada umat manusia di bulan Safar, tepatnya pada hari Rabu atau minggu terakhir bulan Safar.

Baca juga Mandi Safar, Tradisi Penolak Bala dari Kota Sampit

Prosesi mandi safar

Tradisi mandi safar dimulai di pagi hari. Setelah Subuh. Masyarakat menyiapkan sehelai daun atau selembar kertas persegi (rajah) yang kemudian diserahkan kepada tetua kampung yang mereka anggap punya ilmu agama mumpuni.

Rajah bertuliskan ayat-ayat menggunakan benda keras seperti lidi yang dibuat menyerupai pensil dengan ujung dilancipkan, atau tinta yang mudah luntur.

Prosesi mandi safar dimulai dengan zikir bersama, lalu dilanjutkan arak-arakan menuju sumber mata air yang dianggap suci. Di Rupat Utara, arak-arakan dilakukan menuju sumur tua yang dipercaya tidak pernah kering meskipun kemarau panjang.

Tetua adat akan menyiramkan air dari tempat suci itu ke tubuhnya menggunakan centong dari tempurung kelapa. Setelah selesai, warga dipersilahkan mengambil air yang telah didoakan tersebut. Mereka mengusapnya ke wajah, rambut, hingga membawanya pulang dengan botol.

Bcaa juga Dari Mandi Uap hingga Pisau Bambu: Mengenal Tradisi Puputan Khas Cirebon

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firdarainy Nuril Izzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firdarainy Nuril Izzah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini