Dari Mandi Uap hingga Pisau Bambu: Mengenal Tradisi Puputan Khas Cirebon

Dari Mandi Uap hingga Pisau Bambu: Mengenal Tradisi Puputan Khas Cirebon
info gambar utama

#LombaArtikelIPKN2023

#PekanKebudayaanNasional2023

#IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Apa yang terlintas dalam benak Kawan GNFI ketika mendengar kata “Cirebon”? Pasti julukannya sebagai “Kota Udang”, jalur Pantura-nya yang macet saat mudik, atau kulinernya yang diakui kelezatannya seperti Empal Gentong, Nasi Jamblang, Tahu Gejrot, dan lainnya. Selain terkenal di bidang kuliner, Cirebon juga dikenal dengan berbagai tarian tradisional, sebut saja Tari Topeng yang bernuansa merah dan Tari Sintren yang disebut-sebut sebagai tarian magis. Wilayah yang menjadi perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah ini juga masih memiliki kesultanan dengan sejarah yang unik, yakni Kesultanan Cirebon, bahkan punya bahasa sendiri, lho! Tetapi apakah Kawan GNFI tahu bahwa ada tradisi unik dari kota ini ketika menyambut kelahiran seorang bayi? Namanya adalah tradisi Puputan. Kita bahas lebih lanjut, yuk!

Latar Belakang Tradisi Puputan

Tradisi puputan adalah salah satu ritual slametan pasca kelahiran khas Cirebon, yang diiringi dengan tradisi lain seperti Bebersih, Mudun Lemah, dan Nyapih. Kata “puput” berasal dari kata “putus”, yakni merujuk kepada putusnya tali pusar bayi sehabis dilahirkan ketika sudah kering. Tradisi ini pun ada di beberapa daerah Jawa lainnya, namun Puputan Cirebon memiliki proses tersendiri.

Busro dalam jurnalnya terkait slametan kelahiran yang dilakukan oleh warga Desa Kedungsana, Cirebon, menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada asal-usul yang jelas bagaimana awalnya tradisi ini dilakukan. Acara slametan ini sudah dilakukan turun temurun dan tidak diketahui siapa yang pertama memulainya. Slametan ini dianggap sebagai kegiatan yang bermanfaat untuk mencegah segala sesuatu yang tidak diinginkan, terutama untuk sang bayi. Slametan Puputan biasanya dilakukan oleh Paraji atau dukun beranak. Lalu, bagaimana proses tradisi Puputan dilaksanakan?

Prosesi Tradisi Puputan

Tradisi Puputan sejatinya tidak memiliki urutan yang pasti dalam pelaksanaannya, karena inti utama dari tradisi ini adalah bersyukur atas kelahiran bayi. Setelah tali pusar dipotong menggunakan pisau buatan yang terbuat dari kulit bambu dan dilapisi kunir (yang biasanya disebut silad pring), bayi kemudian dimandikan dan dibersihkan dari lendir-lendir menggunakan minyak goreng, kemudian dibasuh menggunakan air hangat. Proses Puputan juga terdiri dari penguburan tali pusar dan ari-ari bayi, yang nantinya kuburan tersebut ditanami berbagai tanaman, seperti Pandan, Beringin, dan daun Andong Kuning.

Salah satu ritual yang unik dari Puputan adalah mandi uap. Dilansir dari Kabar Cirebon, mandi uap bertujuan agar sang ibu yang baru melahirkan kembali sehat, segar, serta tidak mudah sakit usai melahirkan. Mandi uap pun membuat ibu menjadi rileks dan tidak sakit kepala. Sebelum mandi uap, biasanya sang ibu dipijat terlebih dahulu oleh paraji. Bahan untuk mandi uap diantaranya garang, daun kemuning, daun kosambi, daun kilayu, rempah-rempah dan bunga tujuh rupa. Semua itu dicampur dalam satu ember bersih, kemudian dimasukkan ke air mendidih. Uap hasil ramuan bahan tersebut dimasukkan dari bagian bawah si ibu ditutupi yang kain dari kepala hingga kaki. Bukan hanya ibu, uap ramuan juga dikibaskan kepada sang bayi, namun tidak boleh terlalu lama.

Mandi Uap | Noer Panji/ciayumajakuning.id
info gambar

Acara slametan Puputan kemudian dilengkapi dengan berbagai suguhan atau sajen dari orang tua sang bayi, biasanya yang disajikan adalah kue apem, tahu, rumba, limpung, sambal goreng, nasi, ikan asin dan air. Makanan yang disuguhkan adalah makanan spesifik yang dipercaya dapat mencegah hal-hal yang tidak baik. Setelah makanan disuguhkan, slametan Puputan kemudian dilanjutkan dengan acara pengajian dan pemberian nama anak, jika mampu maka dapat sekalian melaksanakan Aqiqah. Di tengah-tengah lingkaran pengajian diletakkan tupeng, ayam dan air bunga tujuh rupa. Bahkan, ada juga yang melakukan saweran di akhir acara. Meskipun begitu, ada juga masyarakat yang melakukan Puputan dengan sederhana sesuai kemampuan mereka.

Eksistensi Tradisi Puputan Masa Kini

Tradisi Puputan adalah kebiasaan turun temurun masyarakat Cirebon, namun pelaksanaan tradisi ini mengalami penurunan. Menurut Busro dalam penelitiannya langsung ke Desa Kedungsana, Cirebon, rangkaian tradisi menyambut kelahiran bayi sudah tidak lagi digemari. Didorong oleh perubahan zaman, beberapa properti slametan sudah tidak lagi dapat dibuat, contohnya saja seperti besek yang dibuat dari anyaman daun kelapa, kini sudah tidak ada lagi orang yang dapat membuatnya kecuali orang-orang tua. Penggunaannya juga digantikan dengan wadah plastik yang dianggap lebih efisien. Pisau bambu silad pring pun digantikan oleh pisau modern.

Pelaksanaan macam-macam ritual slametan kelahiran yang biasanya dilakukan sejak masa kehamilan hingga masa pasca melahirkan sekarang hampir punah. Meskipun penurunan minat tradisi Puputan didasarkan oleh banyak faktor, salah satu proses Puputan seperti mandi uap ternyata terbukti khasiatnya oleh banyak riset medis. Rhomadona menulis dalam penelitiannya kepada 20 responden dengan perbandingan variabel berbeda bahwa mandi uap dengan bahan herbal dapat meningkatkan produksi ASI secara signifikan yang sangat bermanfaat untuk ibu dan bayi.

Meskipun begitu, esensi dari slametan Puputan sendiri adalah bersyukur dan berdoa untuk kelangsungan hidup sang bayi agar memiliki kehidupan yang baik, aman dan sentosa, yang sampai saat masih dilakukan masyarakat Cirebon dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Puputan adalah salah satu bagian dari hidup masyarakat Cirebon yang tetap tidak bisa dipisahkan.

Nah, Kawan GNFI, bagaimana tanggapan kalian tentang tradisi Puputan ini? Menarik sekali, ya! Kalau dari daerahmu, seperti apa tradisi dalam menyambut kelahiran bayi?

Referensi:

Busro, & Qodim, H. (2018, Desember). Perubahan Budaya dalam Ritual Slametan Kelahiran di Cirebon, Indonesia. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 14(02), 127-147. DOI: 10.23971/jsam.v14i2.699

Fani. (2021). Menengok Tradisi Puputan Bayi di Argasunya. kabarcirebon.com.

Rhomadona, S. W., & Primihastuti, D. (2022, December). The Effect of Herbal Steam Bath to Increasing Breast Milk Production In Postparum Mother. International Journal of Advanced Health Science and Technology, 2(6), 420-425.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini