Bangun Rumah 'Madhep Kali', Cara Warga Yogyakarta Bersahabat dengan Sungai

Bangun Rumah 'Madhep Kali', Cara Warga Yogyakarta Bersahabat dengan Sungai
info gambar utama

Di banyak daerah terutama yang memiliki curah hujan tinggi, sungai menjadi ancaman terutama ketika datang musim penghujan: serangan banjir, banyak nyamuk, kubangan lumpur yang tiba-tiba bisa saja meluap menjadi alasan mengapa banyak orang enggan tinggal di daerah pinggir aliran sungai. Atau jika memang terpaksa tinggal di kawasan itu, kebanyakan dari masyarakat akan memilih untuk membangun rumah yang membelakangi sungai. Aliran air alami ini rupanya sudah menjadi momok menakutkan.

Padahal jika menilik kondisi geografis Indonesia, seharusnya sungai bukan merupakan hal asing. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan dengan jumlah sungai yang cukup banyak hingga mencapai 330, dengan 10 sungai yang panjang alirannya lebih dari 300-1000 Kilometer. Hal tersebut sepatutnya menjadi satu hal yang patut disyukuri. Jumlah air dengan volume banyak semestinya mampu menutupi kekurangan air pada musim kemarau. Namun banyaknya sungai yang tercemar membuat hal tersebut menjadi sulit untuk direalisasikan.

Penyebab tercemarnya sungai Indonesia sendiri bermacam-macam, namun menurut penelitian yang dilakukan oleh nationalgeographic.co.id, sumber utama pencemaran sungai di Indonesia sebagian besar berasal dari limbah domestik atau limbah rumah tangga.

ilustrasi limbah domestik, foto oleh suaramerdeka.com
info gambar

“Selama ini kebanyakan masyarakat salah mengira bahwa sumber utama pencemar sungai adalah limbah industri, padahal bukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sungai-sungai yang dijadikan titik pantau, limbah domestik yang paling berperan sebagai pencemar air sungai,” kata Budi, Kasubdit Inventarisasi dan Alokasi Beban Pencemaran Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK.

Membangun rumah 'Madhep Kali'

Permukiman yang berada di sepanjang aliran sungai selama ini identik dengan kawasan pemukiman kumuh. Area rumah yang membelakangi sungai dapat menjadi salah satu alasan banyaknya limbah rumah tangga yang mencemari sungai-sungai di Indonesia. Karena terletak di belakang rumah, pada akhirnya masyarakat menganggap bahwa sungai merupakan tempat pembuangan, bukan sahabat yang sepantasnya dilindungi. Akhirnya, banyak limbah domestik yang dibuang ke sungai seperti tinja, bekas air cucian dapur dan kamar mandi, sampai sampah rumah tangga.

Menetralisasi pencemaran sungai dan bencana banjir periodik memang bukan soal mudah, namun Yogyakarta punyasolusi apik untuk memulainya, yakni dari hal yang ‘kelihatannya’ sepele: mengubah rumah yang tadinya membelakangi sungai, menjadi sebaliknya. Sungai yang biasanya dibelakangi oleh pintu dapur, saat ini sedang diusahakan untuk berhadapan dengan pintu utama.

salah satu sisi Kali Code, foto oleh kanaljogja.com
info gambar

Salah satu usaha yang diusahakan oleh Pemda DIY dalam menangani persoalan kawasan kumuh ini diluncurkan melalui program penataan ‘Mundur Munggah Madhep Kali’ atau M3K atau yang dibahasa Indonesiakan berarti ‘Naik Turun Menghadap Kali’. Melalui konsep ini, permukiman rumah susun yang dibangun menjadikan sungai sebagai halaman depan dan mendorong penghuninya agar selalu merawat sungai dengan baik.

Selama ini Yogyakarta termasyhur karena khasanah kebudayaan yang kaya dan budaya gotong royong masyarakatnya yang erat. Hal tersebut rupanya dapat menjadi salah satu kekuatan dalam penataan kawasan kumuh di pinggiran aliran sungai, contohnya di Kampung Jogoyudan yang merupakan salah satu kampung di kawasan aliran Kali Code.

Dilansir dari KRJogja.com, Jogoyudan berhasil mentransformasi program penataan kawasan kumuh menjadi loncatan dalam membangun kampung yang berevisi jangka panjang lewat program Penataan Lingkungan Berbasis Komunitas (PLBK). Gerakan ini diawali dengan penyusunan Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTLP) sebagai basis perencanaan masyarakat (community action plan), masyarakat dilibatkan secara aktif dalam setiap tahapan perencanaan.

persiapan menuju Kampung Wisata Jogoyudan, foto oleh radar jogja.co.id
info gambar

Dengan melibatkan masyarakat sebagai komponen utama, Kampung Jogoyudan mampu memperluas jalan akses yang tadinya hanya satu meter menjadi tiga meter. Sehingga permukiman penduduk yang tadinya berada di sepadan sungai, dapat ditata menjadi tak lagi terlalu berdempetan dengan sungai. Menariknya lagi, beberapa warga bahkan merelakan rumahnya dipotong karena sepadan sungai tanpa ganti rugi.

Kampung Jogoyudan Yogyakarta saat ini sudah memantapkan diri sebagai kampung wisata dengan keunggulan ekologi Code sebagai daya tarik, kampung tangguh bencana, kampung ramah anak, kampung kreatif dan kampung bagi UMKM. Hal tersebut merupakan bukti bahwa dengan kearifan lokal serta keterlibatan langsung warganya, daerah aliran sungai dapat menjadi permukiman yang menarik baik secara lingkungan dan ekonomi.

Lewat semangat kearifan lokalnya, warga Yogyakarta berhasil mengupayakan diri untuk kembali menjalin persahabatan dengan sungai sehingga ia bukan lagi dianggap sebagai momok menakutkan, melainkan sahabat yang harus diperhatikan.


Sumber : diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini