Akankah Christopher Nolan Menyutradarai Film "Puputan Margarana"?

Akankah Christopher Nolan Menyutradarai Film "Puputan Margarana"?
info gambar utama

Bagi yang sudah menonton 'Dunkirk' film yang disutradarai oleh Christopher Nolan yang sedang menjadi buah bibir dunia, tentu mafhum betapa film itu sangat berbeda dengan banyak film lain, termasuk film-film box office karya Nolan yang lain.

Film berlatar belakang evakuasi besar-besaran 330 ribu tentara sekutu yang dikepung Jerman (dan terdesak hingga ke tepi laut) dan diseberangkan ke Inggris tersebut, begitu dipuja di mana-mana.

Tak salah memang.

Christopher Nolan mampu membuat film dengan latar belakang sejarah yang sudah diketahui banyak orang dan tertulis detail di buku-buku sejarah ini, menjadi sebuah karya yang mengaduk-aduk emosi dari awal hingga akhir, dengan sinematografi yang sangat menawan, dan narasi dialog yang minimal.

Scene dalam Dunkirk | Movie Mom
info gambar

Pengambilan gambar, suara-suara dentuman bom yang memekakkan telinga, raungan pesawat Junkers Ju 87 (Stuka) yang menyayat hati sekaligus menciutkan nyali, hingga angle camera saat terlihat ratusan ribu manusia yang hampir putus asa yang berjejer menunggu diseberangkan pulang ke negerinya, tergambar dengan sempurna, pun emosi manusia yang tercermin dari wajah-wajah lelah dan kotor para anak anak muda tentara sekutu.

Tensi yang dinamis dibuat terus meninggi dari awal hingga akhir. Nolan secara jenius mampu membuat film epik ini menjadi sebuah simponi visual yang megah. Emosi penonton pun dibawa tanpa henti dari menit pertama, miris, harus, menangis, hingga bangga, lega..bercampur di sepanjang 106 menit.

Berjejer menunggu dijemput. Dunkirk | Screen rant
info gambar

Klimaksnya adalah ketika ratusan ribu tentara sekutu yang putus asa, lapar, dan kedingian tersebut melihat ke cakrawala, dan terlihat ratusan kapal-kapal sipil yang diawaki oleh warga sipil yang secara cepat berbondong-bondong menuju Dunkrik menjemput anak-anak, paman, ayah mereka, yang sudah kehabisan energi dan motivasi paska berperang berbulan-bulan di medan perang Prancis dan Belgia melawan tentara Nazi Jerman. Dan kalah.

Tanpa sadar, penonton dibawa memahami isi pikiran para penjemput, dan mereka yang dijemput. Mereka tentu tak saling kenal, setidaknya sebagian besar dari mereka tak saling kenal.

Kapal sipil, orang sipil. Dunkirik | Comingsoon.net
info gambar

Para penjemput adalah warga negara biasa Inggris, yang kebetulan punya kapal, dapat dikerahkan dengan cepat dan yang penting, punya keberanian menembus ombak Selat Inggris menuju medan perang yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka tahu, nyawa menjadi taruhan saat mereka bertekad mengarahkan kapal mereka menuju Dunkirk.

Yang dijemput, adalah anak-anak muda mulai umur 17 tahun ke atas, yang baru pertama kali merasakan kengerian perang, dan kebetulan yang dihadapi adalah superpower militer dunia, yakni Nazi Jerman yang sangat kuat, efektif, dan mengerikan. Mereka kalah di berbagai medan pertempuran, teman-teman mereka mati di medan perang, mereka (untuk sementara) gagal menjalankan kewajiban yang dibebankan di pundak mereka, yakni menyelamatkan Eropa dari invasi Nazi.

Saat mereka bertemu, tepuk tangan dan sorak sorai bangga para tentara sekutu membahana menyambut kedatangan para penjemput (sekali lagi, mereka adalah warga sipil).

Pun saat Spitfire (pesawat tempur kebanggan Inggris) melintas di udara, kita di bawa ikut lega, bahwa AU Inggris sudah datang..untuk memberikan perlawanan dan membantu evakuasi.

Keharuan itu dimulai di sini.

Teh teh hangat dan roti dihidangkan di atas kapal oleh warga sipil tersebut kepada para tentara yang kelaparan. Bahkan sebelum mereka menginjakkan kaki di daratan Inggris pun, para tentara sudah merasa 'Now i am home'. Saya tak bisa membayangkan perasaan kedua pihak. Ada kehangatan besar, kekuataan perasaan senasib, patriotisme dan kebanggaan menjadi bangsa Inggris. Pesan yang sangat kuat yang diberikan oleh Nolan dalam momen-momen ini.

Saya, yang tentu saja bukan orang Inggris, sampai mengeluarkan air mata melewati momen klimaks di film tersebut. Entah bagaimana perasaan orang Inggris saat menonton film Dunkirk, entah betapa dahsyatnya suntikan semangat berbangsa, bersama, bersatu, yang dilecutkan Dunkirk kepada bangsa Inggris Raya.

-----

Kira-kira, kapan bangsa ini, Indonesia tercinta, akan punya booster visual seperti film Dunkirk?

Percayalah, bangsa ini adalah bangsa pejuang. Kisah-kisah heroik penuh perjuangan takkan habis di gali dari seluruh penjuru negeri. Leluhur kita menyerahkan semuanya, termasuk nyawa-nyawa mereka untuk mengusir penjajah, dan menegakkan harga diri bangsa. Ada ribuan kisah-kisah epik dan heroik para pendahulu negeri ini yang, bisa jadi, lebih heroik dibandingkan Dunkirk.

Ada satu yang langsung terpikir dalam benak saya.

Sebuah perang penghabisan yang begitu heroik di Pulau Dewata. Yakni Puputan Margarana. Peristiwa ini terjadi pada 20 November 1946 di Banjar Kelaci, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.

Pagi yang tenang di hari itu seketika berubah menjadi pertempuran yang mematikan antara para pejuang Bali melawan tentara NICA Belanda. Kolonel I Gusti Ngurang Rai memimpin Ciung Wanara mempertahankan Desa Marga di Bali dari amukan brutal Belanda. Demi pemberangusan daerah tersebut, Belanda meminta semua militer di daerah Bali untuk datang membantu dan juga mengerahkan sejumlah pesawat tempur . Rupanya Belanda sadar betul, Ngurah Rai dan pasukannya adalah pasukan yang tangguh, kuat, gesit, dan tak kenal lelah.

I Gusti Ngurah Rai | Wikimedia
info gambar

Peperangan dahsyat pun dimulai secara brutal. Kawasan Marga yang indah permai berganti menjadi medan pertempuran mematikan.

I Gusti Ngurah Rai dan pasukan Ciung Wanara dengan persenjataan sederhana ini harus bertahan dan menyerang para penggempur yang lebih banyak jumlahnya.

I Gusti Ngurah Rai dan beberapa komandan pasukan Ciung Wanara | Beritabali.com
info gambar

Ketika hari beranjak malam, pertempuran itu antara pasukan Ngurah Rai dan Belanda tidak juga berhenti. Pasukan Belanda juga kian brutal dengan menggempur pasukan Ciung Wanara dengan meriam-meriam besar dan bom dari pesawat tempur.

Hingga akhirnya pasukan Ciung Wanara terdesak ke wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Dalam kondisi terdesak itu Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan sampai mati. Dalam pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh. Istilah Puputan berasal dari kata “puput” yang artinya “tanggal” / “putus” / “habis / “mati”. Puputan berarti perang sampai mati hingga orang terakhir, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta baik raja maupun rakyat, baik laki-laki maupun perempuan hingga anak-anak.

Akhirnya malam itu, 20 November 1946 Gusti Ngurah Rai gugur bersama pasukannya. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana.

Dengan membaca kisah singkatnya pun, selayaknya hati dan batin kita tergores, apalagi jika dijadikan film. Menurut Ingmar Bergman, salah satu sutradari paling berpengaruh di dunia perfilman; "“Film as dream, film as music. No art passes our conscience in the way film does, and goes directly to our feelings, deep down into the dark rooms of our souls.”

Tak bisa dipungkiri peran film dalam membentuk dan mempengaruhi masyarakat. Sepanjang sejarah, film telah dipakai untuk menginisiasi perubahan, membawa kesadaran publik pada isu--isu tertentu, selain tentu untuk sekedar memberikan hiburan. Film bisa memotivasi publik, dan meskipun banyak film adalah cerita fiksi, kita dapat dengan mudah terbawa emosi di dalamnya, dan menghubungkan kita dengan para pemain dan karakter yang dimainkannya, dan belajar memahami pesan dan moral yang bisa kita bawa di kehidupan sehari-hari.

Saya tak bisa membayangkan, jika haru biru perjuangan, pengorbanan, dan kepahlawanan dalam kisah nyata Puputan Margarana ditonton jutaan orang indonesia, diceritakan berhari-hari, dibahas diberbagai media beramai-ramai. Saya tak bisa membayangkan, jika Nolan yang menjadi sutradaranya.

Emosi jutaan orang yang mampu dibangunnya di Dunkirk, tentu lebih bisa dikembangkan dengan cerita yang lebih kompleks, tragic, dan penuh air mata, sekaligus membanggakan di Puputan Margarana.

Akankah Christopher Nolan, sang sutradara termahal dunia saat ini, mau menyutradarai Puputan Margarana?

Tentu tak ada salahnya berharap. Selamat berakhir pekan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini