Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 4]

Kakao Fermentasi Jembrana Menembus Pasar Dunia [Bagian 4]
info gambar utama

Secara kuantitas, Indonesia merupakan negara produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Namun, dari segi kualitas justru kalah jauh dibanding dua negara di urutan paling atas, Pantai Gading dan Ghana. Salah satu penyebabnya karena pengolahan pascapanen kakao Indonesia masih asal-asalan.

Petani kakao di Kabupaten Jembrana, Bali bagian barat melakukan pengolahan pascapanen sedikit berbeda melalui teknik fermentasi. Hasilnya, mereka mampu mendapatkan biji kakao berkualitas yang dijual ke pasar-pasar internasional maupun domestik.

Kenapa kakao fermentasi dianggap lebih berkualitas dibanding non-fermentasi? Bagaimana petani kakao di Jembrana melakukannya? Laporan berikut membahasnya dalam empat artikel terpisah.

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari empat tulisan. Tulisan pertama bisa dibaca disini. Tulisan kedua bisa dibaca disini. Dan tulisan ketiga bisa dibaca disini.

Kakao fermentasi dari Jembrana, Bali, dianggap memiliki aroma khas buah madu dan bunga | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Kendali mutu dan regenerasi menjadi kunci lain keberhasilan petani kakao Jembrana menghasilkan kakao fermentasi bermutu tinggi. Kendali mutu tersebut terutama pada biji kakao fermentasi kering siap jual. Mereka melakukannya hanya melalui satu pintu yaitu koperasi untuk mendapatkan mutu yang sama.

Pengurus Koperasi Kerta Semaya Samaniya (Koperasi KSS) menyebutnya pemasaran satu pintu, satu mutu.

Secara garis besar rantai penjualan kakao fermentasi di Jembrana lebih pendek dibandingkan petani Indonesia pada umumnya. Biasanya, urutan rantai pemasaran kakao adalah dari petani individu ke pengepul tingkat desa lalu ke pengepul tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, baru ke perusahaan atau bahkan pengepul tingkat provinsi terlebih dulu sebelum pembeli terakhir.

Petani kakao di Jembrana memotong rantai pemasaran sehingga dari petani langsung ke koperasi lalu eksportir atau bahkan perusahaan cokelat. Fermentasi dilakukan di tingkat petani ataupun unit pengolahan hasil (UPH), termasuk koperasi.

Petani kakao fermentasi Jembrana langsung menjual ke pembeli akhir, sehingga mendapatkan harga jual yang tinggi | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Selain menjual ke pembeli terakhir, koperasi juga melakukan penyortiran, pengemasan ulang, pemberian label, sampai penjualan ke pembeli. “Dengan demikian kami bisa mengendalikan kualitas kakao yang kami jual,” kata I Ketut Agus Suardikayasa, penanggungjawab kendali mutu internal Koperasi KSS.

Surdikayasa mengatakan Koperasi KSS juga menerapkan sistem kendali internal atau internal control system (ICS) secara rutin. “Kami ke lapangan untuk menjelaskan ke petani mengenai standar yang bagus kakao fermentasi,” katanya.

Standar mutu tersebut mulai dari panen, fermentasi, sampai penjemuran. Saat panen, misalnya, buah kakao harus sudah masak sempurna dan dalam kondisi bagus. Buah yang rusak dan terserang hama harus dibuang.

Proses fermentasi juga harus menggunakan alat yang baik. Tidak boleh, misalnya, menggunakan karung bekas bahan kimia atau bungkus lainnya. “Fermentasi tidak boleh pakai kotak dari besi karena bisa merusak. Kami pakai daun pisang dan kotak kayu,” Suardikayasa melanjutkan. Begitu pula saat menjemur. Tidak boleh, misalnya, menjual dengan terpal sembarangan di pinggir jalan.

Produk kakao fermentasi Jembrana dikontrol dengan ketat agar memenuhi syarat oleh pembeli atau ekspor, seperti penggunaan karung tersendiri, bukan karung bekas | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Untuk standar biji kakao kering, kadar airnya harus 7,5 persen dan tidak jamuran. Untuk itulah ada staf khusus yang bertugas melakukan penyortiran secara manual di kantor Koperasi KSS. Biji-biji rusak akan dipisahkan. Begitu pula yang ukurannya terlalu kecil.

Pengendalian mutu itu dilakukan bahkan saat barang dikirim, seperti ketika memasukkan 5 ton biji kakao fermentasi ke kontainer pada awal September lalu. Ada petugas yang memastikan jumlah dan penempatan kakao sudah benar.

“Dampaknya bisa panjang kalau tidak dikontrol dengan baik,” kata Suardikayasa.

Pendapat Lebih Tinggi

Faktor lain yang membuat petani berkomitmen adalah transparansi terkait harga kakao maupun kinerja koperasi. Untuk menentukan harga pembelian dari petani, mereka melakukannya bersama. Begitu pula terkait kinerja koperasi, anggota mendapatkan laporan secara berkala baik secara langsung saat rapat akhir tahun maupun dari ketua kelompok tani atau kelian subak abian masing-masing.

Karena penentuan harga yang terbuka, petani juga bisa membandingkan harga dari koperasi dengan harga pasaran. Dalam praktiknya, harga dari koperasi hampir selalu lebih tinggi dibandingkan harga dari pasaran.

Staf koperasi KSS Jembrana, Bali penyortiran biji kakao fermentasi untuk memastikan kualitasnya | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

I Gede Eka Aryasa, anggota Subak Abian Pala Kerti, Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo mengaku bisa mendapatkan harga kakao basah Rp38.000/kg ketika harga di pasaran hanya Rp20.000/kg. “Saya sangat merasakan adanya perubahan dari sisi pemasaran maupun harga,” ujar Eka.

Dengan harga jual lebih tinggi, petani pun memperoleh pendapatan lebih tinggi. Eka mengaku saat masih menjual kakao secara asalan dia dulunya mendapatkan Rp30 juta selama setahun dari 1,5 ton kakao produksinya. Kini dia bisa mendapatkan dua kali lipat, Rp60 juta. “Saya bisa menggunakan pendapatan itu untuk membiayai anak sekolah, membangun rumah, membeli kebun, dan lain-lain,” ujarnya.

Dengan pendapatan lebih tinggi, petani pun memiliki ikatan lebih kuat dengan koperasi.

Menarik Anak Muda

Di sisi lain, dengan taraf hidup lebih baik seiring meningkatnya pendapatan, petani juga menjadi pekerjaan yang kembali menarik bagi anak-anak muda di Jembrana. Setidaknya begitu bagi petani muda seperti Eka (38 tahun) dan I Komang Sindu Yoga (27 tahun).

Sebelum kembali bertani, Eka sempat merantau dan bekerja di Denpasar. Namun, kini dia justru memilih fokus mengelola 5 hektar kebun kakao miliknya. Seperti petani umumnya di kebun itu juga ada tanaman lain, seperti vanili, kelapa, dan durian.

“Ada semangat baru bahwa petani juga bisa seperti profesi lain,” ujarnya.

Sindu Yoga salah satu petani muda di Jembrana mengaku memiliki masa depan lebih cerah melalui pertanian kakao | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Begitu pula dengan Sindu Yoga, petani muda lainnya. Dia mulai mengerjakan kebun kakao sejak 2013 lalu karena melihat hasilnya yang mulai bagus. Dari semula hanya mendapatkan 5 kuintal biji kakao kering per hektar tiap tahun, kini dia bisa mendapatkan sampai 10 kuintal. Harga juga lebih tinggi.

Selain budi daya, Sindu juga mengaku lebih termotivasi karena melihat Koperasi KSS yang sering menjadi tempat kunjungan bagi petani dari daerah-daerah lain di Indonesia dan bahkan luar negeri.

Sindu tidak lulus SMA. Namun, setelah sering bergaul dengan petani lain termasuk pengunjung Koperasi KSS dari luar negeri, dia termotivasi mengikuti program Kejar Paket C dan kursus Bahasa Inggris.

Dia mengatakan termotivasi belajar bahasa Inggris karena pemasaran kakao kami hingga luar negeri dan seringkali menerima buyer bule ke koperasi dan kebun kami di Jembrana. “Saya bersemangat karena tertantang untuk dapat menjelaskan kebun dan produk biji kakao yang saya tanam sendiri ke mereka dalam bahasa Inggris,” katanya.

Dalam beberapa kali pertemuan dengan pengunjung dari luar negeri, Sindu sudah rajin berbincang dengan mereka. Begitu pula September ini ketika Koperasi KSS menerima mahasiswa magang dari Jerman.

“Dengan perubahan ini saya merasa hidup lebih terarah dan masa depan juga memiliki kepastian karena sudah ada pegangan yaitu kebun yang terpelihara dan berkelanjutan,” tambahnya.

Petani kakao fermentasi Jembrana bangga dan sejahtera dengan produk pertanian mereka | Foto: Anton Muhajir/Mongabay Indonesia
info gambar

Tantangan

Meskipun demikian, perjalanan petani kakao Jembrana memproduksi kakao fermentasi bermutu tinggi juga masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya, menurut Wiadnyana, adalah memperluas anggota koperasi. Saat ini, petani kakao di Jembrana yang bergabung di koperasi tak lebih dari 25 persen.

“Jumlahnya memang meningkat dari tahun ke tahun, tetapi makin banyak tentu makin bagus,” katanya.

Petani lain, I Gusti Putu Widnya, menambahkan koperasi juga menghadapi tantangan godaan pada anggota jika ada yang memberikan harga lebih tinggi dibandingkan koperasi. Untuk itu, menurut mantan Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Bali ini, petani tetap perlu bersama-sama.

“Kalau tidak bersama-sama, koperasi akan rusak karena anggota jalan sendiri-sendiri,” ujar petani yang dianggap senior oleh anggota koperasi ini.

Tantangan lainnya adalah bagaimana petani tetap mampu mempertahankan mutu kakao fermentasi saat ini. Jika mutunya tidak bagus, kata Wiadnyana, pasar otomatis akan lebih susah.

Toh, dengan modal pengalaman yang mereka miliki, Wiadnyana tetap optimis bahwa mereka tetap bisa memproduksi kakao fermentasi berkualitas sekaligus menjadikan Jembrana sebagai jendela kakao berkualitas Indonesia. “Biar orang tahu, Bali tidak hanya memiliki pantai, terasering sawah, dan sunset. Bali juga memiliki kakao fermentasi,” ujarnya.


Sumber: Diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini