Yang Berkuasa, Yang Menulis Sejarah di Bidang Ilmu Pengetahuan

Yang Berkuasa, Yang Menulis Sejarah di Bidang Ilmu Pengetahuan
info gambar utama

Dalam pengujung Perang Dunia II, ada pertempuran hebat yang menentukan berakhirnya PD II itu antara pasukan Nazi Jerman dan pasukan Uni Sovyet (yang sekarang menjadi Rusia), yaitu Pertempuran Stalingrad atau the Battle of Stalingrad pada tanggal 23 Agustus 1042 – 2 Februari 1943.

Pertempuran itu merupakan pertempuran yang paling besar di sejarah PD II, melibatkan 2,2 juta tentara, menelan korban 1,8-2 juta orang meninggal, dan berlangsung lebih dari lima bulan. Pertempuran yang masif itu merupakan pertempuran dalam berbagai front, darat, udara, sampai satu lawan satu di dalam kota Stalingrad (sekarang namanya Volgograd).

Pertempuran itulah yang menyebabkan kota Berlin jatuh setelah tentara Sovyet menyerbunya dan membuat Nazi Jerman menyerah.

Namun karena media global ini dikuasai negara-negara Barat (Amerika Serikat dan sekutunya), maka berita pertempuran Stalingrad itu menjadi berita kecil. Sebagai gantinya pertempuran–pertempuran yang dilakukan pihak barat melawan Nazi itu yang dibesar-besarkan.

Seperti pertempuran di pantai Normandy Prancis, pertempuran tank di Al-Alamein di Mesir, dan pendaratan pasukan AS di Iwojima Jepang, dsb. Sejarah Perang Dunia II akhirnya narasinya didominasi Barat.

BACA JUGA: Antara Pertempuran Stalingrad, dan Peran Besar Indonesia yang Tak Terkabarkan

Tentu tulisan ini tidak membahas tentang pertempuran-pertempuran masa lalu, namun ingin menunjukkan bahwa sejarah itu ditulis oleh pihak yang berkuasa (siapapun yang berkuasa); hal ini juga terjadi pada kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam sejak wafatnya Sayidina Rasulullah Muhammad, karena dunia Islam dikuasai (dijajah) oleh negara-negara Barat terutama dari Eropa, maka berita atau informasi tentang kemajuan Islam itu dikecilkan.

Berita tentang Islam sering menjadi bias. Padahal ilmu pengetahuan modern saat ini di berbagai bidang (sampai algoritme) itu banyak berasal dari pemikiran para ilmuwan Islam masa lalu.

Misalkan di dunia ilmu kimia, dunia pendidikan, dan penelitian di manapun termasuk di Indonesia ini, mengenal nama-nama ilmuwan barat seperti Louis Pasteur, George Washington Carver, Joseph Priestley, Antoine Lavoisier, John Dalton, dan Amadeo Avogadro yang menjadikan ilmu kimia sebagai ilmu modern.

Tapi apakah orang tahu siapa itu Muhammad Ibnu Zkariya al-Razi (Rhazes), Jabir Ibny Hayyan (Geber), atau Abu Yusuf Yaqub Ibnu Ishaq al-Kindi?

Seorang ilmuwan dari Amerika Serikat, Benjamin Huddle, Ph.D, pada pertemuan nasional ke 238 – American Chemical Society (yang memiliki anggota lebih dari 150.000) mengatakan pada para peserta pertemuan “Anda harus tahu mereka ini”, karena mereka adalah para imuwan ahli ilmu kimia dari dunia Islam di Timur Tengah pada abad 8 sampai 13.

Para ilmuwan Islam itulah yang mengembangkan ilmu pengetahuan, kedokteran dari Eropa bagian selatan melalui Afrika utara sampai ke Asia tengah dan India serta belahan dunia lainnya, dan ilmu mereka menjadi dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan kedokteran modern di Eropa.

BACA JUGA:Pemecah Rumus Helmholtz, Rumus Tersulit di Dunia Berasal dari Indonesia

Dikarenakan dominasi Barat terhadap negara-negara Islam, maka ilmu pengetahuan dari dunia Islam itu sengaja dilupakan atau dianggap sebagai ilmu abal-abal. Pak Benyamin Hudle tadi mengatakan,

We are rediscovering the fact that from 750 to 1258 A.D. the best science in the world was being done by Arabic-speaking peoples. In chemistry we use language from the Arabs, apparatus and techniques, many chemicals (especially perfumes), and many materials.

Salim TS al-Hassani, Profesor Emiritus di Universitas Manchester Inggris, dan Mohammad Abattouy, Profesor di bidang Sejarah dan Filasat Ilmu Pengetahuan pada Mohammed V University Rabat, Maroko, dan peneliti senior pada Foundation for Science, Technology and Civilisation, Manchester Inggris dalam artikelnya The Advent of Scientific Chemistry mengatakan bahwa kata alchemy yang dikenal di dunia Barat itu (dalam bahasa Prancis disebut “la chimie”) sebenarnya dari kata bahasa Arab "Kimmiya" (yang bermakna “kuantitas”) dan akhirnya menjadi al-Kimiya yang berarti ilmu kimia.

Ilmu kimia ini adalah ilmu yang berdasarkan pada penelitian dan percobaan-percobaan atau eksperimen yang merubah suatu zat menjadi zat lain lewat laboratorium. Hal itu kata kedua illmuwan ini adalah pekerjaan orang Islam; karena pembuktian suatu yang tidak/belum jelas atau meragukan adalah tradisi umat Islam sejak dulu misalkan dalam hal ilmu Hadis.

Suatu Hadis harus dicek secara cermat “Sanat-Rowinya”, asal usulnya, siapa yang yang membicarakan pertama, kalau ada penutur Hadis yang ternyata adalah orang yang diragukan integritasnya misalnya pembohong, maka Hadis itu tidak bisa dipercaya kebenarannya.

Pembuktian-pembuktian sebagai tradisi Islam ini dipakai oleh para ilmuwan Islam dalam menenmukan teori-teori ilmu kimia seperti yang dilakukan oleh Al-Razi yang dianggap sebagai “the father of modern chemistry”. Sementara itu pada zaman–zaman tersebut para ilmuwan dari Yunani membahas ilmu kimia berdasarkan perkiraan-perkiraan metafisik; bukan berdasarkan pembuktian lewat percobaan laboratorium.

BACA JUGA: Anak Bangsa Penemu Rumus Pencarian "Emas Hitam"

Ibnu Sina dan Ibnu Khaldun misalnya adalah ilmuwan yang diragukan dan ditolak penemuannya pada zaman dulu, misalnya penemuan merubah metal sederhana menjadi emas. Namun dengan tradisi Islam yang selalu mendasarkan penemuannya dengan fakta, ditopang dengan scientific evidence, mereka berhasil membuktikan penemuannya itu.

Sementara itu ilmuwan Barat, Jean Mathe dalam bukunya “The Civilization of Islam” menyimpulkan penemuan-penemuan gemilang ilmuwan Islam di bidang ilmu kimia, antara lain menemukan alkohol, asam sulphur (sulphuric acids), potassium, silver nitrate, dan banyak lagi.

Mereka juga menemukan teknik-teknik sublimasi, kristalisasi, dan distilasi. Tak kalah pentingnya temuan mereka juga di bidang kimia ini banyak dipakai di dunia industri tekstil maupun pertanian, parfum, bahkan ada ilmuwan Inggris yang mengatakan bahwa pembuatan sabun sampai parfum itu dilakukan ilmuwan Islam berdasarkan ritual wudhu, mensucikan diri sebelum sholat.

Jadi faktor mengutamakan kebersihan dalam ajaran Islam telah menghasilkan temuan-temuan ilmiah di industri sabun dan parfum.

Para ilmuwan Islam di bidang ilmu kimia ini seperti Jabir, Al-Razi dan Al-Majriti juga menulis ratusan buku ilmu pengetahuan, Jabir misalnya menulis “AlKhwass al-kabir” (The Great Book of Chemical Properties), Al-Miaj menulis tentang Chemical Combination; dia juga membuat timbangan yang persisinya tinggi menimbang zat yang sangat sangat kecil yang ibaratnya tidak bisa dilihat mata telanjang. Sementara Al-Razi menciptakan laboratorium dengan lebih dari 20 instrument yang sebagian besar digunakan dalam laboratorium modern zaman sekarang ini.

BACA JUGA: Ada Ilmuwan Indonesia di Gundam Global Challenge

Para ilmuwan di berbagai bidang di negera kita ini sejatinya banyak yang memliki keahlian yang diakui tidak hanya secara nasional tetapi juga diakui didunia internasional; namun “Nobody Knows” …karena media global bahkan nasional tidak banyak yang menghadirkan penemuan-peemuan brilian mereka ke publik.

Itu berarti bahwa tugas kita semua elemen bangsa ini yang memiliki tanggung jawab moral untuk mengangkat reputasi mereka. Apabila dunia tidak menulis sejarah kemajuan bangsa Indonesia, maka kitalah yang memiliki tanggung jawab untuk menulis sejarah kita sendiri.

Kalau tidak maka akan terjadi seperti pada penemuan-penemuan ilmiah di dunia Islam yang tidak dikenalkan oleh sejarah yang ditulis oleh pihak yang berkuasa.

*) Tulisann yang hampir sama juga dimuat di majalah UNUSA (Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini